rekan fatien,
ini sedikit tulisan mengenai kekuatiran saya tentang
pelaksanaan otoda, semoga dapat menjadi bahan
perenungan
salam
bambang
Pengelolaan
Lingkungan Alam dan lingkungan Sosial Budaya
Di Era OTDA
Komitmen otonomi daerah yang ditandai berlakunya
undang-undang no 22 tahun 1999 yang mengatur tentang
prinsip-prinsip otonomi daerah. Keluarnya UU no 22
tahun 1999 yang disusul dengan PP no 25 tahun 2000,
pada hakekatnya merupakan respon terhadap
ketidakberhasilan pemerintah yang sentralistik yang
ditengarahi dengan munculnya kesenjangan antar daerah,
ketidaktepatan sasaran pembangunan yang pada akhirnya
memunculkan ketidakadilan yang berakhir dengan konflik
baik vertikal maupun horisontal.
Disebutkan dalam UU no 22 tahun 1999, kewenangan
daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang
kecuali politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, moneter dan fiskal. Berkaitan dengan visi
lingkungan hidup dan isu penerapan otonomi daerah,
kecenderungan yang terterjadi adalah bahwa sumber daya
alam diperlakukan sebagai asset untuk menopang
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini memunculkan
pemahaman yang menyesatkan tentang otonomi daerah. Hal
ini kalau tidak disikapi secara arif, penerapan OTDA
akan berbenturan dengan konsep pengelolaan lingkungan
yang menuntut beyond the administrative boundary
karena ciri-ciri ekologisnya.
Telah terjadi pemahaman umum bahwa hanya daerah yang
kaya sumber daya alam yang mampu melaksanakan progran
otonomi daerah. Pandangan menyesatkan secara ekologis
ini akan mendorong pemerintah daerah untuk
mengekploitasi sebanyak-banyaknya sumberdaya alam
tampa memperhitungkan daya dukung lingkungan hanya
demi meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Implikasinya dari sikap yang demikian bahwa Sumber
Daya Alam dan lingkungan sosial budaya yang ada di
dalamnya akan dimanfaatkan secara maksimal tanpa
mempertimbangkan dampak negatif yaitu kelestarian
lingkungan alam dan sosial budaya.
Kedudukan Masyarakat Adat di Era OTDA
Selama ini kebijaksanaan pembangunan memandang bahwa
Sumber Daya Alam adalah aset pembangunan. Pemaknaan
yang demikian memunculkan perlakuan negatif
terhadap lingkungan alam dan sosial. Akibatnya
lingkungan alam diekplorasi dan dieksploitasi secara
besar-besaran untuk modal pembangunan, sehinga tak
heran jika minyak dan gas menjadi penyumbang tertinggi
dalam APBN. Tanpa bermaksud mengingkari pentingnya
sumbangan sektor pertambangan dan industri kehutanan,
saya mencoba bersikap kritis, dengan memunculkan
pertanyaan, bahwa pembangunan cenderung berbenturan
dengan kepentingan masyarakat adat karena pemaknaan
negatif terhadap sumber daya alam. Tidak dipungkiri,
selama ini masyarakat adat lebih sering menjadi sosok
yang dirugikan dalam proses pembangunan. Pembangunan
justru menjadi alat untuk mengusir masyarakat adat
dari wilayah adatnya.
Permasalahan mendasar yang dihadapi masyarakat Adat di
Indonesia adalah hilang atau rusaknya tanah adat,
karena dipakai sebagai lokasi pertambangan atau
industri. Akibatnya bukan saja keamanan dari kebutuhan
subsisten akan tergangu, tetapi juga tergangu secara
budaya.
Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba memberi
tekanan pada tergangunya kebutuhan subsisten karena
kebijaksanaan pembangunan yang terlalu eksploitatif.
Pengertian aktivitas subsisten dipakai untuk
mengkatagorikan perilaku ekonomi dari suatu
persekutuan hidup tertentu dalam memenuhi kebutuhan
dasar atau primery needs menurut tingkat minimal
komsumsi individu atau keluarga.
Aktivitas subsisten masyarakat adat terkait erat
dengan keberadaan sumber daya alam. Dalam pengertian
ini, aktivitas subsisten tidak hanya terbatas pada
permasalahan ekonomi dan teknologi saja, tetapi juga
dengan unsur kebudayaan lain, seperti dengan sistem
sosial, religi, dan gender. Jika kebudayaan diartikan
sebagai keseluruhan pemikiran, cara dan aturan yang
digunakan manusia untuk memahami lingkungan dan
menjadikannya pedoman untuk berbuat bagi kelangsungan
hidupnya, maka aktivitas subsisten dapat dipandang
sebagai perwujudan upaya manusia untuk memahami
lingkungan dan memanfaatkan untuk kemudahan-kemudahan
memenuhi kebutuhan hidupnya, khususnya kebutuhan akan
makanan.
Lingkungan alam dan lingkungan sosial di masyarakat
Riau mengalami perubahan besar, terutama setelah
hadirnya usaha tambang dan industri kayu di Riau, yang
menggunakan sebagian besar tanah ulayat masyarakat
adat yang ada di Riau. Kondisi ini diperburuk dengan
hancurnya lembaga adat karena adanya intervensi luar
melalui program-program pembangunan nasional yang
menghendaki penyeragaman sistem ekonomi dan sosial
semakin mempersulit masyarakat adat dalam pemenuhan
kebutuhan subsisten. Tekanan global akibat pertumbuhan
penduduk dan kehendak politik yang menginginkan
penyeragaman sistem ekonomi, misalnya digunakannya
sebagai landasan pengembangan model kehidupan
masyarakat yang terkendali, yaitu: hidup menetap lewat
pemukiman-pemukiman mengelompok, ekonomi subsisten
diarahkan kepada ekonomi uang dengan penekanan pada
surplus, ketergantunngan bahan makanan kepada hasil
yang diberikan alam diminimalisasi dengan teknologi
produktif dan pengembangan spesies-spesies tanaman dan
hewan unggulan, sistem distribusi makanan menggunakan
saluran organisasi sosial-ekonomi pasar yang komplek,
pranata sosial setempat tidak lagi independent, tapi
sudah mengacu kepada pranata-pranata sosial yang lebih
luas dan terpusat, seperti model pemerintahan desa,
koperasi desa, LKMD, karang taruna dan sebagainya..
Dalam kerangka Otonomi Daerah, harus ada mekanisme
kontrol yang melindungi dan merevitalisasi kearifan
lingkungan dan kearifan budaya. Dengan kata lain
sesuai dengan maknanya, OTDA harus mengembalikan
fungsi mekanisme kontrol dari mayarakat adat, seperti
adat sasi yang berlaku di kepulauan Maluku maupun di
Irian Jaya, Subak di Bali, Karuhan di masyarakat
Kampung Naga Tasik Malaya. Sebagai contoh adat sasi
yang diberlakukan baik di Maluku maupun di Irian
berfungsi untuk mengkontrol ekploitasi terhadap
lingkungan
--- Amalia Firman <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> Fatien,
>
> Barangkali anda bisa coba NRM (Natural Resources
> Management). Saya kira
> mereka punya banyak data dan informasi mengenai
> hal-hal yang anda perlukan.
> No. Telp. NRM (021)720-9596.
>
> Amalia
> -----Original Message-----
> From: Karunia Fajarrini
> [mailto:[EMAIL PROTECTED]]
> Sent: Wednesday, January 17, 2001 10:31 AM
> To: [EMAIL PROTECTED]
> Subject: [envorum] desentralisasi , otoda dan sumber
> daya perikanan laut
>
>
> Rekan-rekan envorum,
> Adakah yang bisa memberi informasi (dan
> mendiskusikannya) tentang pengaruh
> implementasi otoda terhadap pengelolaan sumber daya
> perikanan laut di
> daerah-daerah, issue-issue terkait,
> peraturan-peraturan terkait (baik yang
> saling mendukung maupun bertentangan), baik di
> tingkat pusat maupun
> kabupaten dan propinsi.
> Di manakah saya bisa mendapatkan informasi semacam
> itu?
> Salam,
> Fatien K.F.S
>
>
>
>
---------------------------------------------------------------------
> Mulai langganan: kirim e-mail ke
> [EMAIL PROTECTED]
> Stop langganan: kirim e-mail ke
> [EMAIL PROTECTED]
> Archive ada di
> http://www.mail-archive.com/envorum@ypb.or.id
>
__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Get email at your own domain with Yahoo! Mail.
http://personal.mail.yahoo.com/
---------------------------------------------------------------------
Mulai langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED]
Stop langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED]
Archive ada di http://www.mail-archive.com/envorum@ypb.or.id