http://kompas.com/kompas-cetak/0104/06/IPTEK/pene38.htm
>Jumat, 6 April 2001

Antonius Suwanto 
Penemu Bakteri Kromosom Ganda 

* Berpotensi Produksi Herbisida Alami dan Pemacu Pertumbuhan
BIOLOG satu ini memang sedang banyak rezekinya. Tanggal 8 Maret lalu, Dr Antonius 
Suwanto memperoleh penghargaan Cipta Lestari Kehati dari Yayasan Kehati 
(Keanekaragaman Hayati) sebagai peneliti tentang potensi keragaman hayati mikroba di 
Indonesia, khususnya ekstremofil atau mikro-organisme yang hidup di habitat ekstrem. 
Di antaranya adalah yang ditemukan di Bledug Kuwu di Grobogan, Jawa Tengah, yang 
pernah dikisahkan dalam Laporan Iptek Kompas, 9 Desember 2000. Suwanto, mikrobiolog 
Institut Pertanian Bogor (IPB) ini memperoleh hadiah trofi Kehati dan uang tunai 
sebesar Rp 50 juta.Sebelumnya, akhir Januari lalu, ia dinyatakan sebagai salah satu 
dari dua pemenang Hadiah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Toray yang ke-7 dari Indonesia 
Toray Science Foundation (ITSF) untuk penelitiannya tentang genetika molekuler bakteri 
Rhodobacter sphaeroides. Suwanto dianugerahi hadiah uang Rp 40 juta. 
"Saya tidak pernah tahu kalau ada kompetisi untuk kedua hadiah tadi. Untuk Kehati 
Award, saya diberi tahu oleh Dr Pratiwi Sudarmono karena saya anggota Perhimpunan 
Mikrobiologi Indonesia. Sedang untuk Toray Award, saya diminta oleh Rektor IPB untuk 
ikut," tuturnya. 
Rhodobacter sphaeroides adalah bakteri fotosintetik anoksigenik yang banyak ditemukan 
di lahan persawahan. Ia mampu mengikat nitrogen dari udara dan mengubahnya menjadi 
amoniak, sehingga secara alami dapat memupuk sawah. Justru pemberian pupuk buatan yang 
mengandung unsur nitrogen akan membuat bakteri ini tidak aktif. 
Menurut Suwanto, Rhodobacter sphaeroides dapat tumbuh secara aerobik maupun anaerobik, 
dalam keadaan ada cahaya maupun gelap. Keragaman metabolisme kelompok bakteri ini amat 
luar biasa telah menjadikan R sphaeroides dan bakteri kerabatnya sebagai sistem model 
yang sangat baik untuk mempelajari fenomena biologi dan biofisika yang kompleks. 
Keragaman metabolisme ini juga memberikan potensi untuk berbagai aplikasi dalam bidang 
pertanian, industri, dan lingkungan. Sebagai contoh, penambatan karbon dioksida dan 
nitrogen, produksi hidrogen, produksi plastik biologis, detoksifikasi logam berat, dan 
produksi enzim-enzim komersial merupakan penelitian yang menggunakan bakteri 
fotosintetik seperti R sphaeroides. 
***
SELAMA lebih dari sepuluh tahun terakhir, Suwanto telah mempelajari aspek genetik dan 
ekologi bakteri fotosintetik anoksigenik, khususnya pada R sphaeroides. Risetnya 
diawali ketika ia menyelesaikan program magister dan doktor di University of Illinois 
di Urbana-Champaign. Ketika itu, kebetulan Universitas Columbia di New York baru saja 
menemukan alat dan teknik Pulsed-Field Gel Electrophoresis (PFGE) untuk mengonstruksi 
peta fisik genom dan transfer kromosom melalui konjugasi bakteri. 
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa genom R sphaeroides galur 2.4.1 tersusun dari 
dua macam kromosom sirkuler yang unik, dengan ukuran masing-masing 3.100 kilo pasang 
basa (kb) dan 910 kb, serta lima macam plasmid endogen. Suwanto mempublikasikan hasil 
risetnya itu dalam bentuk empat makalah dengan indeks sitasi tinggi pada Journal 
Bacteriology tahun 1989 dan 1992. 
"Publikasi itu merupakan paparan ilmiah pertama yang menunjukkan bahwa suatu sel 
bakteri dapat membawa lebih dari satu macam kromosom dan mampu mengubah pandangan 
sains yang selama ini menjadi 'dogma' dalam genetika bakteri. Penemuan saya itu pada 
mulanya ditanggapi dengan skeptis oleh kebanyakan pakar genetika bakteri," tuturnya. 
Dikatakan, pada tahun-tahun berikutnya mulai dilaporkan adanya bakteri yang membawa 
lebih dari satu macam kromosom oleh sejumlah peneliti, yang akhirnya menggantikan 
dogma kromosom tunggal pada genom bakteri. Sampai saat ini, sudah ada sedikitnya enam 
genus bakteri berbeda yang memiliki lebih dari satu macam kromosom. 
"Penemuan ini telah mengubah pandangan kita mengenai organisasi genom bakteri dan 
pengaturan ekspresi gennya, serta memberikan persepsi baru dalam usaha untuk 
mengetahui asal-usul terjadinya ploidy (lebih dari satu macam alel atau kromosom yang 
homolog) pada organisme eukariot, seperti tanaman, hewan dan manusia," katanya. 
Dibanding dengan bakteri yang populer seperti Escheria coli yang mempunyai kromosom 
tunggal dengan ukuran 4.700 kb, ukuran panjang kedua kromosom R sphaeroides lebih 
pendek, hanya 4.000 kb atau 4.000 pasangan A-G dan C-T. Manusia memiliki sekitar 4 
milyar kb. "Genom R sphaeroides jika dituliskan dengan ukuran huruf arial 12, akan 
mengisi buku telepon setebal 4-5 cm," tutur Suwanto. 
Tentang dua kromosom yang berhasil direkonstruksi bentuknya, Suwanto menggunakan empat 
jenis enzim untuk menggunting dan menyambung-nyambungnya lagi, yaitu enzim Ase1, Spe1, 
Dra1, dan Sna BI. Peta fisik dan genetik pada R sphaeroides dapat dimanfaatkan untuk 
merancang galur khusus untuk bioremediasi atau biokontrol yang sangat penting dalam 
program pertanian yang berkelanjutan dengan masukan rendah. Produk yang dihasilkan 
antara lain adalah bahan bioremediasi untuk menanggulangi atau mengurangi pencemaran 
di tambak udang, serta untuk pengembangan biokontrol penyakit tanaman. 
"Seluruh bakteri anoksigenik, termasuk R sphaeroides dapat mereduksi oksianion logam 
tanah jarang yang beracun seperti arsenat, kromat, dan selinat menjadi logam dasarnya 
yang kemudian disimpan dalam selnya sehingga lingkungan menjadi kurang beracun," 
katanya. 
***
SELAMA tiga tahun terakhir, Suwanto mengarahkan penelitiannya untuk produksi R 
sphaeroides yang mampu menghasilkan asam delta-aminolevulinat (ALA) ekstraselular. ALA 
dalam dosis rendah dapat digunakan untuk pemacu pertumbuhan tanaman, sedang dalam 
dosis tinggi justru punya manfaat sebaliknya yaitu dapat digunakan untuk herbisida 
selektif yang ramah lingkungan. 
Menurut Suwanto, bakteri fotosintetik merupakan kelompok organisme penghasil ALA yang 
aktif untuk biosintesis klorofil. ALA adalah senyawa penentu dalam biosintesis 
tetrapirol pada semua sistem kehidupan, dan ketersediaannya di dalam sel diatur dengan 
sangat ketat. Tetrapirol adalah empat buah cincin pirol yang ada di dalam setiap 
makhluk hidup, misalnya di tubuh manusia adalah hemoglobin dan vitamin B12, sedang 
pada tanaman adalah klorofil. 
Dikatakan, ALA dalam dunia kedokteran dipakai untuk membunuh sel-sel kanker, yaitu 
dikenal sebagai terapi fotodinamik. Cara kerjanya adalah tetrapirol mengoksidasi sel 
hingga mati. Sedang jika ALA disemprotkan ke daun tanaman, dan daun kena cahaya maka 
ALA akan membuat daun terbakar dan mati. Namun, ini hanya selektif untuk tanaman 
dikotil. Karena itu untuk sawah dengan tanaman padi, jika disemprotkan maka padi tidak 
akan mati, namun yang mati adalah gulma dikotil. 
"Saat ini ALA masih terlalu mahal untuk dipakai dalam pertanian, dan baru terbatas 
pemakaiannya untuk kedokteran. Kecuali kalau nanti ALA dapat diproduksi secara murah 
dan melimpah dengan mengonstruksi galur rekombinan yang membawa gen untuk ALA synthase 
di bawah pengaturan promotor yang dapat diinduksi (inducible promoter), ALA menjadi 
layak dijadikan herbisida alami. Kalau galur bakteri seperti ini sudah dapat 
diciptakan, petani dapat membuat herbisida alami sendiri, karena dapat dibiakkan 
seperti ragi dan penggunaannya tidak perlu dimurnikan," tutur Suwanto. 
Galur R sphaeroides hasil rekayasa genetika untuk mempelajari produksi ALA secara 
massal ini telah berhasil dikonstruksi oleh Suwanto dan hasilnya telah dipublikasikan 
dalam Journal of Applied Microbiology and Biotechnology tahun 1999. 
"Hasil penelitian ini akan menjadi acuan penting dalam produksi ALA untuk bioherbisida 
yang ramah lingkungan, atau dalam konsentrasi kecil sebagai faktor pemacu tumbuh 
tanaman melalui peningkatan laju biosintesis klorofil," kata Suwanto. 
ALA sebagai pemacu pertumbuhan tanaman kini sedang ia ajukan patennya. Suwanto mengaku 
telah berhasil membuktikan ALA R sphaeroides sangat signifikan memacu kebutuhan 
klorofil sehingga pertumbuhan tanaman ikut terpacu. Jika nanti Suwanto berhasil meraih 
paten dan temuannya mempunyai nilai komersial, maka akan bertambah lagi rezekinya. 
Dengan hasil temuannya dan berbagai hadiah yang diperolehnya, Suwanto menunjukkan 
bahwa ilmu dasar seperti biologi bukan lagi ilmu yang kering rezeki. (Irwan Julianto) 

Kirim email ke