http://kompas.com/kompas-cetak/0105/01/DAERAH/padu20.htm
>Selasa, 1 Mei 2001

Paduan Suara "Duit Kurang" 

Kompas/r adhi ksp  
PENGANTAR REDAKSI

BAYANGAN indah tentang otonomi daerah tak menja-di kenyataan. Pelayanan publik dan 
infrastruktur yang semula dibayangkan akan bertambah baik justru jauh dari kenyataan, 
bahkan keluhan masyarakat semakin nyaring terdengar. Dalam kaitan ini, sejumlah 
wartawan Kompas melaporkan tentang kondisi daerahnya seiring dengan pelaksanaan 
otonomi yang disajikan di halaman 20 dan 21.



--------------------------------------------------------------------------------

KALAU semua provinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia ini dikumpulkan, mereka bisa 
membentuk kelompok paduan suara yang pantas diberi nama Paduan Suara "Duit 
Kurang".Sebab hanya itu yang mereka "nyanyikan" hari-hari ini di tengah krisis ekonomi 
dan di tengah penerapan otonomi daerah. "Lagu" mereka tidak ada kaitannya dengan soal 
cinta atau kisah muda-mudi yang berpacaran, walaupun nadanya sedih dan mengeluh.

Kecuali barangkali Pemda DKI Jakarta dengan lima kotanya yang tidak terdengar banyak 
mengeluh. Maklum, ekonomi Indonesia artinya adalah ekonomi Jakarta dan 70-80 persen 
uang beredar di Jakarta.

  
Kompas/frans sarong  
  
Keluhan semua provinsi, kabupaten dan kota di luar Jakarta sama. Mereka kurang mampu 
menggali sumber-sumber pendapatan daerah sehingga pendapatan asli daerah pun kecil. 
Subsidi dari pemerintah pusat dalam bentuk dana alokasi umum (DAU) juga dirasa kurang, 
padahal kebutuhan daerah begitu banyak.

Salah satu di antaranya adalah Provinsi Nusa Tenggara Ti-mur (NTT), yang dianggap 
salah satu provinsi termiskin di Indonesia. Berbagai pihak di Kupang melihat Anggaran 
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) NTT tahun 2001 ini tidak banyak pengaruhnya 
terhadap perubahan infrastruktur di provinsi kepulauan itu. Alasannya, alokasi dana 
yang sepenuhnya berasal dari DAU sangat terbatas, hanya Rp 6,850 milyar. Padahal 
kondisi infrastruktur di provinsi ini masih sangat memprihatinkan.

Keterangan dari Biro Humas dan Biro Keuangan Setda NTT di Kupang, Kamis (19/4), 
menyebutkan, APBD NTT tahun 2001 seluruhnya senilai Rp 177.984.500.000. Itu berarti 
hampir seluruhnya merupakan subsidi dari pusat karena DAU untuk NTT tahun ini sebesar 
Rp 150,930 milyar. Tingginya ketergantungan NTT dari DAU itu karena kontribusi dari 
pendapatan asli daerah (PAD) hanya Rp 19,8 milyar.

Dari keseluruhan APBD NTT senilai Rp 177,984 milyar lebih itu, sekitar 75 persen atau 
Rp 135.941.500.000 di antaranya terserap untuk biaya rutin. Tersisa hanya Rp 42,043 
milyar untuk biaya pembangunan.

Sedang DAU yang diterima Pemerintah Provinsi Kalsel tahun 2001 adalah sekitar Rp 113,4 
milyar. Namun, setelah dihitung ternyata tidak cukup untuk membayar gaji PNS terutama 
yang terlikuidasi dari beberapa kantor wilayah dan instansi lain dengan jumlah PNS-nya 
sekitar 7.000 orang. Menurut perhitungan, DAU seharusnya sedikitnya Rp 166 milyar.

Khawatir akan menjadi keresahan di kalangan PNS, Gubernur Kalimantan Selatan Sjachriel 
Darham mengutus beberapa pejabat di Sekretariat Daerah Kalsel untuk menemui pejabat 
pemerintah pusat seperti Departemen Keuangan dan Bappenas di Jakarta, agar DAU 
disesuaikan dengan perhitungan sebenarnya.

Ternyata pemerintah pusat cukup tanggap, DAU memang tidak ditambah tetapi jika 
kemudian ada kekurangan untuk membayar gaji PNS, pemerintah pusat akan segera 
mengirimkan kekurangannya tersebut. 

Ke Mendagri

Tahun 2001 ini Kalsel menganggarkan dalam APBD Rp 276,9 milyar. Dari jumlah itu 
belanja rutin ditetapkan Rp 166,9 milyar sementara belanja pembangunan Rp 110 milyar. 
Namun, dana terbatas itu diupayakan untuk sektor-sektor yang strategis dan mendesak 
seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, sumber daya air, dan irigasi. 

Berkait dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah serta UU Nomor 25 
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah membawa implikasi pada 
perubahan alokasi anggaran dalam APBD sehingga banyak rancangan pembangunan belum bisa 
direalisasikan mengingat terbatasnya anggaran tersebut.

Sementara itu, Pemerintah Kota Banjarmasin sempat mengirim surat ke Mendagri dan 
Otonomi Daerah minta agar DAU ditambah atau DAU secara khusus. Sebab, DAU yang 
diterima Rp 127,9 milyar belum mampu mendanai belanja pegawai dan nonpegawai yang 
dianggarkan sekitar Rp 139 milyar. "Kekurangan sekitar Rp 11 milyar ini jelas kami tak 
mampu menutupinya," kata Wali Kota Sofyan Arpan.

Sampai kini memang belum ada jawaban Mendagri soal itu. "Tetapi, informasi yang saya 
dengar pemerintah pusat sudah menjamin bahwa belanja pegawai dan nonpegawai akan 
diprioritaskan. Artinya, jika DAU yang diberikan kurang pemerintah pusat akan 
menutupinya. Gaji pegawai menyangkut hajat hidup orang banyak dan harus dipenuhi," 
kata wali kota.

Meski belanja pegawai ada jaminan, anggaran pembangunan pun menjadi masalah. Untuk 
pengangkutan sampah, misalnya, acapkali terlambat. Armada angkutan tercatat 50 buah, 
namun yang bisa digunakan sekitar 20 buah, sisanya dalam keadaan rusak, sementara dana 
pemeliharaan sangat terbatas. Jangan heran jika tumpukan sampah menggunung hingga 
pukul 12.00 siang di beberapa tempat seperti depan Pusat Perbelanjaan Antasari, Pasar 
Kuripan, Pasar Lama, dan di pertigaan Jalan Nagasari.

Pemerintah Kota Banjarmasin pun belum membenahi Terminal Induk Km-6 yang seperti 
kubangan kerbau bila hujan turun. Juga jalan raya ke Kompleks Bumi Pemurus Permai 
sepanjang dua km penuh dengan lubang karena aspalnya terkoyak sejak lama. Demikian 
juga Jalan Kayutangi menuju Kelurahan Kuin Selatan dan Kuin Utara. Wali kota 
menyatakan, semua itu sudah dianggarkan namun karena dananya terbatas pelaksanaan 
pemeliharaannya terlambat dari rencana semula. 

Peliknya pendidikan

Sektor yang pelik di Kalimantan Barat adalah pendidikan. Sektor yang dianggap penting, 
tetapi selalu tersisihkan dalam alokasi dana itu, kini mengalami masalah luar biasa. 
Kekurangan 11.125 tenaga guru untuk semua jenjang pendidikan formal. Terbanyak dialami 
sekolah dasar (SD), yakni 7.579 guru.

Memprihatinkan lagi, sedikitnya 2.916 dari 3.889 gedung SD yang rusak. Sekitar 75 
persen di antaranya rusak parah. Kenyataan ini mengakibatkan penanganan pendidikan 
dasar di provinsi itu dirasakan semakin pelik dan rumit. 

Apalagi, sebagai konsekwensi dari otonomi daerah, mulai ta-hun anggaran 2001, APBD 
Kalbar tidak lagi mengalokasikan dana bagi pembangunan pendidikan dasar. Semua biaya 
yang dibutuhkan bagi kelancaran pendidikan dasar dibebankan kepada APBD kabupaten/ 
kota. Sementara itu, alokasi dana APBD kabupaten/kota se-Kalbar pun rata-rata berkisar 
10-15 persen.

"Ini yang sangat memprihatinkan. Apabila kebijakan pada sektor pendidikan tidak 
mengalami perbaikan yang mendasar, maka otonomi daerah hanya memberi manfaat bagi 
segelintir orang, khususnya di kota. Sedangkan masyarakat di pedesaan dan pedalaman 
Kalbar akan tetap tertinggal, terbelakang, dan terpuruk dalam berbagai bidang 
kehidupan seperti yang dialami selama ini," kata Drs Tugiman KS, Pelaksana Tugas 
Kepala Dinas Pendidikan Nasional Kalbar. 

Terhenti

Sejumlah proyek pembangunan di Sulawesi Selatan (Sulsel) dipastikan akan terhenti dan 
tertunda, menyusul defisit anggaran pada APBN yang akan berpengaruh pada APBD Sulsel. 
Selain itu, bila DAU dari pusat terlambat, pembayaran gaji juga terancam tertunda atau 
malah tidak terbayar. Ini disebabkan Pemda Sulsel tidak mampu menutupi pembayaran gaji 
pegawai. Bahkan, saat ini keperluan untuk membayar gaji pegawai di Sulsel diperkirakan 
tinggal beberapa bulan lagi, kata Asisten Ketataprajaan Pemda Sulsel Syamsul Alam 
Bulu. "Yang jelas banyak proyek pembangunan, baik besar maupun kecil, yang akan 
terhenti," katanya.

Alam mencontohkan, beberapa proyek yang kemungkinan besar terhenti atau tertunda di 
antaranya pembangunan dan perbaikan jalan, jembatan dan sejenisnya. Selain itu, 
belanja pendidikan terutama pembangunan dan renovasi berbagai sarana pendidikan serta 
proyek-proyek sosial kemasyarakatan. 

"Dengan defisit anggaran yang terjadi saat ini mau tidak mau kita harus bisa menerima 
bahwa hampir tidak ada pembangunan atau proyek-proyek besar yang bisa dikerjakan. 
Untuk itu pemda minta pengertian masyarakat agar mau bersabar menerima keadaan ini 
untuk sementara waktu hingga kondisi betul-betul pulih," ujarnya.

Dikatakan Alam Bulu, bukan berarti pemda betul-betul sudah tidak punya dana. "Kita 
memang ada PAD sampai Rp 100 milyar. Tetapi itu sebagian besar digunakan untuk 
item-item pengeluaran yang memang sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Misalnya, 
belanja operasional atau pemeliharaan dan belanja pembangunan di luar proyek-proyek 
seperti jalan atau jembatan dan sarana lainnya," jelas Alam Bulu.

Sebelumnya, Koalisi Ornop Sulawesi Selatan (KOS) yang terdiri atas 19 organisasi 
mendesak pemda dan anggota DPRD Sulsel mengkaji ulang APBD Sulsel. Bahkan, saat masih 
ber-bentuk RAPBD pun kritikan sudah terus dilancarkan. Saat itu Pemda Sulsel 
mengajukan RAPBD sebesar Rp 394,8 milyar, di mana anggaran rutin dan pembangunan 
berbanding 77,48 dan 22,52 persen. Anggaran pembangunan hanya Rp 88,9 milyar dan 
anggaran rutin mencapai Rp 305,9 milyar.

Setelah diprotes, DPRD akhirnya merevisi. Anggaran pembangunan yang sebelumnya hanya 
Rp 88,9 milyar dinaikkan 44 persen menjadi Rp 128,1 milyar. Sementara anggaran rutin 
yang sebelumnya Rp 305,9 milyar diturunkan 29,26 persen menjadi Rp 276,6 milyar. Untuk 
ini PAD Sulsel yang semula ditargetkan Rp 108,8 milyar, dinaikkan jadi Rp 118,7 
milyar. Kendati demikian, anggaran belanja rutin tetap masih lebih besar dibanding 
anggaran pembangunan. (ans/bal/jan/ren) 


---------------------------------------------------------------------
Mulai langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED]
Stop langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED]
Archive ada di http://www.mail-archive.com/envorum@ypb.or.id

Kirim email ke