http://www.kompas.com/kompas-cetak/0107/30/OPINI/agen30.htm
>Senin, 30 Juli 2001

Agenda Pasca-RUU Yayasan
* Nikolas Simanjuntak
  
BERBAGAI berita tentang pengesahan paripurna DPR atas Rancangan Undang-Undang (RUU) 
Yayasan, tampak belum cukup banyak hal signifikan yang dapat ditangkap. Pemerintah 
melalui Menkeh dan HAM berharap pelaksanaan UU Yayasan kelak akan dapat diawasi juga 
oleh masyarakat. Sementara Fraksi PDI Perjuangan menyampaikan masih diperlukan banyak 
hal untuk diatur selanjutnya di dalam peraturan organik menyusul pemberlakukan UU ini 
kelak. Tulisan ini bermaksud memaparkan beberapa hal signifikan atas pengamatan dan 
analisis penulis dari perkembangan di masyarakat maupun selama pembahasannya di 
lingkaran DPR. Wacana yang timbul dari sini diharapkan sebagai agenda yang tidak kalah 
penting pasca-RUU ini. Di satu segi, lahirnya UU Yayasan ini untuk segera 
diberlakukan, kiranya patut disambut baik. Banyak pihak telah bekerja keras melalui 
rangkaian proses panjang yang melelahkan. Produk hukum ini juga cukup signifikan 
sebagai representasi karya kaum reformis. Namun, di balik sambutan itu sungguh 
terbersit rasa waswas terhadap tindak lanjut pelaksanaan UU ini. Kiranya benar, banyak 
hal lagi masih belum cukup tertampung untuk diintegrasikan ke dalam formulasi berbagai 
kaidah di dalam RUU ini. Padahal, seyogianya berbagai konsepsi yang masih tertinggal 
itu, dapat menjadikan kegiatan yayasan di bawah UU ini kelak akan jauh lebih ideal 
dalam era Indonesia Baru, yang berbeda dengan masa Orde Baru. 
Di antara berbagai kekhawatiran yang belum cukup tertampung dalam UU ini, secara 
singkat dapat dikatakan, misalnya, menyangkut kerangka konsep UU ini, sebagaimana 
disinggung dalam berbagai pemberitaan. Distingsi antara Stichting atau Stiftung dengan 
badan usaha korporasi, seharusnya menegaskan entitas yayasan sebagai subyek hukum 
nirlaba. 

Seperti diketahui, entitas yayasan dilahirkan sebagai subyek berupa badan, karena 
timbulnya dari harta kekayaan yang telah disisihkan. Pihak yang menyisihkan harta 
kekayaan itu, tentu saja orang yang sudah memiliki harta banyak, sehingga maksud 
pemisahan harta itu pastilah bertujuan bukan lagi untuk mencari harta. Itulah 
substansi nirlaba, non-profit oriented, yang dijadikan sebagai maksud dan tujuan suatu 
yayasan didirikan. Sedangkan korporasi, tentu saja bertujuan mencari keuntungan 
sebagai harta kekayaan. 

Di dalam RUU ini, substansi semangat yayasan sebenarnya dimaksudkan sebagai nirlaba 
(Stichting/Stiftung). Akan tetapi, terhadap implementasi operasionalnya diberi kaidah 
pengaturan untuk dapat bergerak sebagai subyek korporasi "terbatas". Wacana dan 
perdebatan panjang sejak awal pembahasan RUU ini di DPR maupun di luar, tampak sangat 
alot berkutat di seputar substansi di atas itu. Singkatnya, ada dua arus konsepsi 
dalam wacana itu, yakni antara nirlaba dengan korporasi, antara kaum aktivis humanis 
dengan pedagang pragmatis, antara idealis dengan realis, antara reformis dengan 
kompromis dan seterusnya.

Kedua arus itu justru di DPR menyebar secara lintas fraksi, sehingga dapat dibayangkan 
pengorganisasian lalu lintas ide dan macam ragam argumentasi konsep, dilalui dalam 
suasana yang sangat melelahkan selama pembahasan RUU ini. Rancangan akhir RUU Yayasan 
ini seperti apa adanya, pada akhirnya memang merupakan formulasi maksimal yang mampu 
diakomodasikan sebagai hasil kompromi dari semua fraksi dengan pihak pemerintah. 

Transparansi dan akuntabilitas publik terhadap proses lahirnya produk hukum ini, 
kiranya patut menjadi catatan latar belakang untuk menentukan interpretasi yang tetap 
terhadap pelaksanaan UU ini kelak. Ketika suatu saat akan timbul perbedaan pendapat 
mengenai apakah yayasan boleh berdagang atau tidak, pastilah akan muncul lalu lintas 
argumentasi. Soalnya, kapan pun akan senantiasa dicari alasan untuk menyiasati suatu 
ketentuan UU yang tidak tegas. Bahkan sekalipun ketentuan hukum telah mengatur secara 
tegas dan eksplisit, toh masih tetap saja ada kemungkinan "berpokrol" dalam rangka 
mempertahankan kepentingan yang menguntungkan. 

Dalam konteks ini, memang patut dihargai segala usaha dan kerja keras yang telah 
ditempuh untuk melahirkan rancangan akhir RUU ini. Tetapi, bahwa hasilnya belum 
maksimal dan optimal sesuai dengan harapan yang dibebankan kepada para legislator, 
kiranya itu pun patut menjadi catatan publik berikut dengan sebab dan alasan yang 
terjadi. Sekaligus dengan catatan itu menjadi pesan yang berupa sisa harapan ideal, 
agar dapat diakomodasikan ke dalam berbagai peraturan organik yang masih akan 
dikeluarkan pemerintah untuk melaksanakan UU ini, maupun untuk diakomodasi ke dalam 
peraturan perundang-undangan lain yang relevan, yang masih akan sangat banyak lagi 
dilahirkan di kemudian hari. 

Kekayaan yang telah dipisahkan sehingga merupakan badan hukum sebagai subyek yayasan, 
di dalam UU ini dapat berarti bahwa "kekayaan" itu bukan hanya dalam bentuk harta 
benda atau uang, tetapi juga itikad baik dan komitmen moral untuk berdarma bakti 
kepada karya sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Atas dasar itu, dapat dimengerti 
bahwa UU ini masih harus mengakomodasi kemungkinan yayasan dapat melakukan "kegiatan 
usaha" [Pasal 3 (1)] dan "penyertaan pendirian badan usaha maksimal 25 persen" (Pasal 
7). Kerangka konsepsi inilah, yang akan sangat mengkhawatirkan di dalam implementasi 
UU ini kelak. 

Itikad baik dan komitmen moral tidak gampang untuk diukur dengan parameter. Masalah 
yang lebih parah lagi bilamana moral publik pun telah mengalami multi krisis 
dekadensi. Maka, di dalam praktiknya sebagaimana yang selama ini terjadi, justru pada 
saat seperti itulah yayasan yang dimungkinkan sebagai subyek korporasi, akan dengan 
sangat mudah diinstrumentalisasikan oleh "orang-orang tertentu" menjadi alat 
manipulasi kegiatan, untuk kepentingan dan keuntungan bagi pihak pengurus yayasan. 

Padahal, justru dengan manipulasi seperti itu senyatanya telah membuat esensi 
keberadaan yayasan menjadi jauh menyimpang dari substansi maksud dan tujuan 
sebenarnya. Law enforcement pun tidak akan mudah diterapkan untuk mengawasi dan 
merepresi praktik manipulatif seperti itu. Inilah yang antara lain merupakan 
kekhawatiran untuk dicatat sebagai perhatian seksama dalam melakukan pengawasan 
publik, sehingga perbaikan dan penyempurnaan yang terus menerus akan dapat dilakukan 
terhadap implementasi kegiatan yayasan di bawah UU ini. 

Dari segi lain, esensi dan substansi keberadaan UU ini dapat pula dipahami sebagai 
alat koreksi untuk perbaikan terhadap operasionalisasi yayasan di masa lalu. Substansi 
korektif itu tampak dari kesepakatan semua pihak yang terlibat di dalam proses 
pembahasan RUU ini sampai disahkan. Walau demikian, kesepakatan itu ternyata tidak 
gampang ditemukan formulasinya. Beberapa hal signifikan terhadap hal itu, tampak dari 
antara lain organ Yayasan yang secara imperatif diatur UU ini. Seluruh struktur 
kepengurusan yayasan di kemudian hari akan menjadi satu standar. Namun, masih harus 
dicermati lagi di dalam implementasinya, bahwa standar kepengurusan itu mengandaikan 
manejemen operasional yayasan akan semakin lebih baik, efektif, dan efisien dalam 
mencapai tujuan karya sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, bukan untuk tujuan selain 
daripada itu. 

UU ini juga memberika jangka waktu yang cukup untuk melakukan perbaikan (continuous 
improvement) terhadap yayasan-yayasan yang ada sebelumnya. Di sinilah perlunya 
peraturan organik yang konsisten dan sinkron. Lagi-lagi transparansi dan akuntabilitas 
publik harus terkandung di dalam peraturan organik itu kelak, sehingga dapat dibuat 
parameter kinerja yang operasional. Elaborasi dan distingsi terhadap standar kinerja 
manajerial, haruslah tegas ditentukan dalam bentuk kategorisasi yang definitif atas 
kegiatan atau karya sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. 

Antisipasi terhadap perkembangan yang manipulatif di kemudian hari akan mungkin timbul 
dengan argumentasi "akal-akalan," hanya karena tiadanya ketentuan berupa definisi yang 
terukur atas kategorisasi kegiatan itu. Misalnya, dengan penjelasan Pasal 8 tentang 
luasnya kategorisasi yang meliputi "kesenian" dan "olah raga". Maka, apakah kegiatan 
mendatangkan Michael Jackson ke Indonesia, atau impor peralatan golf courses dan 
peralatan senam kebugaran, juga merupakan kegiatan yayasan dengan pengenaan bea masuk 
impor nol persen? Apakah yayasan dapat memperoleh sertifikasi dari Kadin untuk menjadi 
leveransir dan pemborong proyek? Demikian seterusnya praktik yang sangat mungkin 
terjadi di kemudian hari dan meneruskan praktik yang telah terjadi selama ini. 

Seyogianya prinsip nirlaba yayasan telah tampak diupayakan untuk diakomodasikan ke 
dalam UU ini. Hal itu tampak dari ketentuan bahwa yayasan hanya dapat melakukan 
"kegiatan usaha" dan "penyertaan pendirian badan usaha" seperti disebutkan di atas 
itu. Namun, ketentuan ini pun akan sangat terbuka bagi praktik yang manipulatif. 
Substansi dari kaidah normatif ini, sebenarnya tidak lain maksudnya untuk menjaga 
kesinambungan dan keterlanjutan (sustainability) operasional manejemen yayasan. Yaitu 
hanya untuk menyelenggarakan maksud dan tujuan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. 
Implikasinya pasca RUU ini, adalah untuk menjaga jangan sampai substansi kaidah itu 
dibelokkan kepada tujuan selain daripada demi karya sosial, keagamaan, dan 
kemanusiaan. Oleh sebab itu, standar ukuran definitif tentang karya sosial, keagamaan, 
dan kemanusiaan, merupakan landasan prioritas setiap sasaran dan tujuan kegiatan usaha 
maupun penyertaan badan usaha yang dimaksudkan. 

Konsistensi prioritas nirlaba di dalam yayasan telah menjadi imperatif untuk tidak 
diingkari. Implementasi operasional manajerial yayasan seperti itu, oleh UU ini 
dipertegas dengan larangan (Pasal 5) untuk membagikan atau mengalihkan kekayaan yang 
diperoleh institusi yayasan, baik kepada organ (pembina, pengurus, dan pengawas) 
maupun kepada karyawan dan pihak lain. Penjagaan terhadap implementasi normatif itu 
dilakukan dengan sanksi pidana maupun denda (Pasal 70). Namun, masih tersisa persoalan 
di balik itu. Bagaimana sanksi pidana terhadap personalia organ yayasan maupun 
terhadap institusi korporasi yayasan itu sendiri, bilamana terdapat penyalah-gunaan 
kegiatan yayasan selain daripada kegiatan dalam karya sosial, keagamaan, dan 
kemanusiaan? UU ini mengandaikan saja, bahwa cukuplah penyalah-gunaan seperti itu 
ditegakkan oleh hukum pidana umum maupun pidana khusus. 

Esensi normatif nirlaba seperti di atas itu, pun tampak masih perlu disiasati lagi ke 
dalam peraturan organik. Di antaranya untuk menjaga kemungkinan "akal-akalan" 
manipulatif agar tidak disalah-gunakan dengan praktik kotor mengambil hasil yayasan 
dengan "cara-cara lain". 

Tetapi, sekaligus perlu pula siasat yang cerdas dan arif, agar jangan sampai tidak ada 
orang yang bersedia menjalankan institusi yayasan. Realitas masyarakat kita hingga 
saat ini menunjukkan, bahwa sesungguhnya para aktivis yayasan masih memerlukan biaya 
hidup, justru dari pengabdian dan karyanya di yayasan terutama untuk para aktivis full 
timer. Realitas masyarakat seperti ini adalah merupakan satu konsekuensi dari konteks 
lokal Indonesia, bahwa "kekayaan" immateril pun diakomodasikan di dalam UU ini. 

Soal yang masih tersisa di sini adalah untuk menyiasati, bagaimana pengabdian karya 
sosial, keagamaan, dan kemanusiaan dapat tetap dilaksanakan dengan standar kinerja 
profesional, oleh para personalia aktivis yang tidak diperbolehkan menerima hasil 
materil dari yayasan. Padahal, hanya sekadar untuk menghidupi kebutuhan materil diri 
dan keluarga si aktivis full timer itu? Konsep di dalam UU ini tentu saja tidak 
bermaksud untuk menjadi utopis dan absurd bagi para aktivis yayasan. Maka, lagi-lagi 
di sini masih menyisakan soal untuk dibenahi. 

Intervensi yuridis pemerintah dalam hal pendirian yayasan sebagai badan hukum adalah 
merupakan konsekuensi logis dari implikasi publik keberadaaan yayasan itu sendiri. 
Melalui perdebatan panjang dan alot di dalam maupun di luar DPR, telah dicapai rumusan 
maksimal pada Pasal 11 sebagai kompromi akomodatif untuk memotong rantai birokrasi, 
yang selama ini telah mempersulit pendirian yayasan. 

Pendirian yayasan di dalam UU ini cukup disahkan oleh menteri melalui kanwil di 
daerah. Kemudahan untuk mendirikan yayasan yang diberikan oleh UU ini, kiranya tidak 
lantas menjadi pemicu pendirian yayasan sebagai subyek korporasi yang akan 
dimanipulasi di kemudian hari. 

Dalam konsistensi prinsip terhadap substansi entitas subyek yayasan seperti 
dikemukakan di depan, maka masalah jangka waktu penyesuaian tidak patut lagi dijadikan 
sebagai persoalan prinsipil untuk menggagalkan berlakunya UU ini.

Di sini pun terdapat perdebatan yang alot, agar UU ini dapat dibuat menjadi salah satu 
instrumen untuk menggusur puluhan bahkan ratusan yayasan yang dianggap bermasalah 
dengan dugaan menjarah uang rakyat dan uang negara secara manipulatif. Sebaliknya, 
para pendukung yayasan yang merasa diserang menunjukkan tanda-tanda kalap untuk 
menggagalkan saja berlakunya UU ini. Lagi-lagi para legislator harus bekerja keras 
untuk berkompromi menjadi seperti apa adanya dalam UU ini. 

Berapa lamakah sebaiknya yayasan-yayasan masa lalu untuk memperbaiki diri 
(improvement) dengan menyesuaikan pada prinsip-prinsip normatif di dalam UU ini? 
Seyogianya alasan teknis itu dipahami tanpa maksud sebagai alat untuk menganulir 
prinsip umum substansi dan entitas yayasan pada pasal-pasal sebelumnya. Sebab, 
seyogianya yayasan-yayasan yang telah berdiri sebelum UU ini diberlakukan, tidak 
bermaksud untuk memperoleh privelese sebagai kekecualian hanya dengan alasan jangka 
waktu itu saja. 

Norma imperatif yang secara umum dipahami, adalah bahwa berlakunya suatu peraturan 
umum tidak boleh dibatasi hanya karena sekedar alasan dimensi ruang (locus) dan waktu 
(tempus). Sebab, suatu kondisi keberuntungan normatif yang diperoleh tidaklah mungkin 
hanya bergantung kepada anugerah sang waktu (kronos) semata. Melainkan berkat usaha 
dan upaya penyesuaian diri terhadap kondisi alami yang berubah-ubah. Prinsip umum yang 
berlaku sebagai pengecualian normatif, hanyalah mungkin jika didasarkan kepada 
partikularitas alami (natural particularity). 

Atas dasar itu, jangka waktu penyelarasan dengan kaidah UU ini oleh yayasan-yayasan 
yang ada sebelumnya, kiranya dapat berlaku secara umum (general). Yayasan-yayasan yang 
lama itu tidaklah dalam kondisi yang memenuhi syarat untuk diperlakukan sebagai 
kekecualian berdasarkan natural particularity. Keberadaan yayasan-yayasan yang lama 
itu hanyalah dimungkinkan untuk memperoleh kekecualian, bilamana berada dalam posisi 
hukum yang tak-tergantikan melulu karena kondisi alami. 

Beberapa hal yang antara lain diutarakan di atas itu, kiranya merupakan agenda susulan 
pasca RUU ini. Pengembangan berikutnya diharapkan dapat ditindak-lanjuti oleh puluhan 
ribu yayasan di seluruh Indonesia maupun semua pihak yang terkait. Ketika UU ini 
diberlakukan, kiranya segala perbaikan dan penyesuaian di sana sini dapat ditampung ke 
dalam berbagai peraturan organik. Tetapi juga untuk mempertautkannya dengan RUU lain 
yang sedang dibahas. Misalnya tentang posisi Yayasan agar jangan lagi ditempatkan 
sebagai obyek pajak. 


* Nikolas Simanjuntak, pengacara, analis perundang-undangan, tinggal di Jakarta. 


---------------------------------------------------------------------
Mulai langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED]
Stop langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED]
Archive ada di http://www.mail-archive.com/envorum@ypb.or.id

Kirim email ke