Iya nihh saya setuju kalo Yayasan perlu di tekankan
pada karya sosial karna selama ini banyak yang belum
mengerti apa yang harus dilakukan dlm Yayasan.
Dan sebaiknya menggunakan masyarakat sebagai kontro
pada YAyasan.



Yayasan Rindang



Sendy Adhika Noor


Jl. Khm Khalid gg.5 No.10
Samarinda
Kaltim
telp. 0541 756750
--- Djuni Pristiyanto <[EMAIL PROTECTED]>
wrote:
>
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0107/30/OPINI/agen30.htm
> >Senin, 30 Juli 2001
> 
> Agenda Pasca-RUU Yayasan
> * Nikolas Simanjuntak
>   
> BERBAGAI berita tentang pengesahan paripurna DPR
> atas Rancangan Undang-Undang (RUU) Yayasan, tampak
> belum cukup banyak hal signifikan yang dapat
> ditangkap. Pemerintah melalui Menkeh dan HAM
> berharap pelaksanaan UU Yayasan kelak akan dapat
> diawasi juga oleh masyarakat. Sementara Fraksi PDI
> Perjuangan menyampaikan masih diperlukan banyak hal
> untuk diatur selanjutnya di dalam peraturan organik
> menyusul pemberlakukan UU ini kelak. Tulisan ini
> bermaksud memaparkan beberapa hal signifikan atas
> pengamatan dan analisis penulis dari perkembangan di
> masyarakat maupun selama pembahasannya di lingkaran
> DPR. Wacana yang timbul dari sini diharapkan sebagai
> agenda yang tidak kalah penting pasca-RUU ini. Di
> satu segi, lahirnya UU Yayasan ini untuk segera
> diberlakukan, kiranya patut disambut baik. Banyak
> pihak telah bekerja keras melalui rangkaian proses
> panjang yang melelahkan. Produk hukum ini juga cukup
> signifikan sebagai representasi karya kaum reformis.
> Namun, di balik sambutan itu sungguh terbersit rasa
> waswas terhadap tindak lanjut pelaksanaan UU ini.
> Kiranya benar, banyak hal lagi masih belum cukup
> tertampung untuk diintegrasikan ke dalam formulasi
> berbagai kaidah di dalam RUU ini. Padahal,
> seyogianya berbagai konsepsi yang masih tertinggal
> itu, dapat menjadikan kegiatan yayasan di bawah UU
> ini kelak akan jauh lebih ideal dalam era Indonesia
> Baru, yang berbeda dengan masa Orde Baru. 
> Di antara berbagai kekhawatiran yang belum cukup
> tertampung dalam UU ini, secara singkat dapat
> dikatakan, misalnya, menyangkut kerangka konsep UU
> ini, sebagaimana disinggung dalam berbagai
> pemberitaan. Distingsi antara Stichting atau
> Stiftung dengan badan usaha korporasi, seharusnya
> menegaskan entitas yayasan sebagai subyek hukum
> nirlaba. 
> 
> Seperti diketahui, entitas yayasan dilahirkan
> sebagai subyek berupa badan, karena timbulnya dari
> harta kekayaan yang telah disisihkan. Pihak yang
> menyisihkan harta kekayaan itu, tentu saja orang
> yang sudah memiliki harta banyak, sehingga maksud
> pemisahan harta itu pastilah bertujuan bukan lagi
> untuk mencari harta. Itulah substansi nirlaba,
> non-profit oriented, yang dijadikan sebagai maksud
> dan tujuan suatu yayasan didirikan. Sedangkan
> korporasi, tentu saja bertujuan mencari keuntungan
> sebagai harta kekayaan. 
> 
> Di dalam RUU ini, substansi semangat yayasan
> sebenarnya dimaksudkan sebagai nirlaba
> (Stichting/Stiftung). Akan tetapi, terhadap
> implementasi operasionalnya diberi kaidah pengaturan
> untuk dapat bergerak sebagai subyek korporasi
> "terbatas". Wacana dan perdebatan panjang sejak awal
> pembahasan RUU ini di DPR maupun di luar, tampak
> sangat alot berkutat di seputar substansi di atas
> itu. Singkatnya, ada dua arus konsepsi dalam wacana
> itu, yakni antara nirlaba dengan korporasi, antara
> kaum aktivis humanis dengan pedagang pragmatis,
> antara idealis dengan realis, antara reformis dengan
> kompromis dan seterusnya.
> 
> Kedua arus itu justru di DPR menyebar secara lintas
> fraksi, sehingga dapat dibayangkan pengorganisasian
> lalu lintas ide dan macam ragam argumentasi konsep,
> dilalui dalam suasana yang sangat melelahkan selama
> pembahasan RUU ini. Rancangan akhir RUU Yayasan ini
> seperti apa adanya, pada akhirnya memang merupakan
> formulasi maksimal yang mampu diakomodasikan sebagai
> hasil kompromi dari semua fraksi dengan pihak
> pemerintah. 
> 
> Transparansi dan akuntabilitas publik terhadap
> proses lahirnya produk hukum ini, kiranya patut
> menjadi catatan latar belakang untuk menentukan
> interpretasi yang tetap terhadap pelaksanaan UU ini
> kelak. Ketika suatu saat akan timbul perbedaan
> pendapat mengenai apakah yayasan boleh berdagang
> atau tidak, pastilah akan muncul lalu lintas
> argumentasi. Soalnya, kapan pun akan senantiasa
> dicari alasan untuk menyiasati suatu ketentuan UU
> yang tidak tegas. Bahkan sekalipun ketentuan hukum
> telah mengatur secara tegas dan eksplisit, toh masih
> tetap saja ada kemungkinan "berpokrol" dalam rangka
> mempertahankan kepentingan yang menguntungkan. 
> 
> Dalam konteks ini, memang patut dihargai segala
> usaha dan kerja keras yang telah ditempuh untuk
> melahirkan rancangan akhir RUU ini. Tetapi, bahwa
> hasilnya belum maksimal dan optimal sesuai dengan
> harapan yang dibebankan kepada para legislator,
> kiranya itu pun patut menjadi catatan publik berikut
> dengan sebab dan alasan yang terjadi. Sekaligus
> dengan catatan itu menjadi pesan yang berupa sisa
> harapan ideal, agar dapat diakomodasikan ke dalam
> berbagai peraturan organik yang masih akan
> dikeluarkan pemerintah untuk melaksanakan UU ini,
> maupun untuk diakomodasi ke dalam peraturan
> perundang-undangan lain yang relevan, yang masih
> akan sangat banyak lagi dilahirkan di kemudian hari.
> 
> 
> Kekayaan yang telah dipisahkan sehingga merupakan
> badan hukum sebagai subyek yayasan, di dalam UU ini
> dapat berarti bahwa "kekayaan" itu bukan hanya dalam
> bentuk harta benda atau uang, tetapi juga itikad
> baik dan komitmen moral untuk berdarma bakti kepada
> karya sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Atas dasar
> itu, dapat dimengerti bahwa UU ini masih harus
> mengakomodasi kemungkinan yayasan dapat melakukan
> "kegiatan usaha" [Pasal 3 (1)] dan "penyertaan
> pendirian badan usaha maksimal 25 persen" (Pasal 7).
> Kerangka konsepsi inilah, yang akan sangat
> mengkhawatirkan di dalam implementasi UU ini kelak. 
> 
> Itikad baik dan komitmen moral tidak gampang untuk
> diukur dengan parameter. Masalah yang lebih parah
> lagi bilamana moral publik pun telah mengalami multi
> krisis dekadensi. Maka, di dalam praktiknya
> sebagaimana yang selama ini terjadi, justru pada
> saat seperti itulah yayasan yang dimungkinkan
> sebagai subyek korporasi, akan dengan sangat mudah
> diinstrumentalisasikan oleh "orang-orang tertentu"
> menjadi alat manipulasi kegiatan, untuk kepentingan
> dan keuntungan bagi pihak pengurus yayasan. 
> 
> Padahal, justru dengan manipulasi seperti itu
> senyatanya telah membuat esensi keberadaan yayasan
> menjadi jauh menyimpang dari substansi maksud dan
> tujuan sebenarnya. Law enforcement pun tidak akan
> mudah diterapkan untuk mengawasi dan merepresi
> praktik manipulatif seperti itu. Inilah yang antara
> lain merupakan kekhawatiran untuk dicatat sebagai
> perhatian seksama dalam melakukan pengawasan publik,
> sehingga perbaikan dan penyempurnaan yang terus
> menerus akan dapat dilakukan terhadap implementasi
> kegiatan yayasan di bawah UU ini. 
> 
> Dari segi lain, esensi dan substansi keberadaan UU
> ini dapat pula dipahami sebagai alat koreksi untuk
> perbaikan terhadap operasionalisasi yayasan di masa
> lalu. Substansi korektif itu tampak dari kesepakatan
> semua pihak yang terlibat di dalam proses pembahasan
> RUU ini sampai disahkan. Walau demikian, kesepakatan
> itu ternyata tidak gampang ditemukan formulasinya.
> Beberapa hal signifikan terhadap hal itu, tampak
> dari antara lain organ Yayasan yang secara imperatif
> diatur UU ini. Seluruh struktur kepengurusan yayasan
> di kemudian hari akan menjadi satu standar. Namun,
> masih harus dicermati lagi di dalam implementasinya,
> bahwa standar kepengurusan itu mengandaikan
> manejemen operasional yayasan akan semakin lebih
> baik, efektif, dan efisien dalam mencapai tujuan
> karya sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, bukan
> untuk tujuan selain daripada itu. 
> 
> UU ini juga memberika jangka waktu yang cukup untuk
> melakukan perbaikan (continuous improvement)
> terhadap yayasan-yayasan yang ada sebelumnya. Di
> sinilah perlunya peraturan organik yang konsisten
> dan sinkron. Lagi-lagi transparansi dan
> akuntabilitas publik harus terkandung di dalam
> peraturan organik itu kelak, sehingga dapat dibuat
> parameter kinerja yang operasional. Elaborasi dan
> distingsi terhadap standar kinerja manajerial,
> haruslah tegas ditentukan dalam bentuk kategorisasi
> yang definitif atas kegiatan atau karya sosial,
> keagamaan, dan kemanusiaan. 
> 
> Antisipasi terhadap perkembangan yang manipulatif di
> kemudian hari akan mungkin timbul dengan argumentasi
> "akal-akalan," hanya karena tiadanya ketentuan
> berupa definisi yang terukur atas kategorisasi
> kegiatan itu. Misalnya, dengan penjelasan Pasal 8
> tentang luasnya kategorisasi yang meliputi
> "kesenian" dan "olah raga". Maka, apakah kegiatan
> mendatangkan Michael Jackson ke Indonesia, atau
> impor peralatan golf courses dan peralatan senam
> kebugaran, juga merupakan kegiatan yayasan dengan
> pengenaan bea masuk impor nol persen? Apakah yayasan
> dapat memperoleh sertifikasi dari Kadin untuk
> menjadi leveransir dan pemborong proyek? Demikian
> seterusnya praktik yang sangat mungkin terjadi di
> kemudian hari dan meneruskan praktik yang telah
> terjadi selama ini. 
> 
> Seyogianya prinsip nirlaba yayasan telah tampak
> diupayakan untuk diakomodasikan ke dalam UU ini. Hal
> itu tampak dari ketentuan bahwa yayasan hanya dapat
> melakukan "kegiatan usaha" dan "penyertaan pendirian
> badan usaha" seperti disebutkan di atas itu. Namun,
> ketentuan ini pun akan sangat terbuka bagi praktik
> yang manipulatif. Substansi dari kaidah normatif
> ini, sebenarnya tidak lain maksudnya untuk menjaga
> kesinambungan 
=== message truncated ===


__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Make international calls for as low as $.04/minute with Yahoo! Messenger
http://phonecard.yahoo.com/

---------------------------------------------------------------------
Mulai langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED]
Stop langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED]
Archive ada di http://www.mail-archive.com/envorum@ypb.or.id

Kirim email ke