http://www.sinarharapan.co.id/berita/0108/22/opi01.html

Neonasionalisme Religius

Oleh M Yudhie R Haryono

Diskursus ideologi apakah yang terlihat pasca terpilihnya duet Megawati-Hamzah Haz di 
kursi Presiden dan Wakil Presiden? Inilah pertanyaan sekaligus keheranan yang 
mengemuka di perbincangan seputar ”ideologi negara-pemerintahan”. Kita tahu, Megawati 
adalah representasi dari nasionalis, sedangkan Hamzah Haz adalah religius (Islam). Dua 
ideologi yang dalam sejarah perpolitikan Indonesia kurang menunjukan saling percaya, 
terutama pasca pemilu 1988 yang lalu.

Sebagai ideologi, nasionalisme sesunguhnya sebuah term bahkan sejarah yang bau amis 
darah, blood and belonging (Michael Ignatieff, 1993). Ia berangkat dari kehalalan 
mengangkat senjata bahkan pembersihan etnis demi tegaknya sebuah negara. Teror dan 
horor negara menjadi menu wajib yang dikordinasikan oleh tentara terhadap gerakan 
”separatisme etnik” maupun ”separatisme religius”. Walaupun keduanya masih dalam 
sebatas wacana. Pengalaman rezim tiran Soeharto menjadi bukti, bahwa dengan celurit 
ektrim kanan atau kiri, pemerintah memotong anasir apa saja dari wacana ataupun 
gerakan separatisme.

Di lain hal, ideologi nasionalis juga memberikan sentuhan rasa kerinduan dan 
romantisisme teritorial yang selalu ingin dikenang dan dikunjungi. Sebagaimana kaum 
muslim melakukan ritual mudik di akhir bulan Romadon. Klaim teritorial menjadi kata 
putus untuk dipertahankan keberadaannya. Bagaimana mungkin kita hidup dalam negara 
”pasca Indonesia” adalah pertanyaan sekaligus kecemasan dan ketakutan yang tumbuh dari 
ideologi ini. Sehingga menjaganya—dengan segala cara—menjadi keharusan yang tidak 
boleh ditinggalkan barang sekejap. Dengan jargon ”menjalin kesatuan dan persatuan” 
atau persaudaraan dan kesatuan, efektifitas ideologi nasionalis menyapu bersih segala 
yang berbau independensi ataupun otonomi daerah. Lebih jauh proses penyeragaman 
(uniformitas) dan sentralisme menjadi aturan nasional yang harus dijalankan oleh 
setiap entitas. 

Di lain pihak, ideologi agama mengajak manusia pada kultus personal, merasa paling 
benar (truth claim) dan menggunakan politisasi agama dalam mempertahankannya. Bersifat 
elitis dengan memperalat mistisisme irasional dalam kekuasaanya. Dalam idiologi ini, 
derajat rasio sangat rendah, sebaliknya mitos menjadi pijakan. Padahal pemikiran 
mitologi memandang ke belakang, tidak ke depan. Ia mengajak pada ”awal yang sakral”, 
primordial, dan memfokuskan pada yang tetap. Ia memberikan apa yang sudah kita tahu, 
tetapi bukan hal dan berita baru. Dari sini, mitos kemudian bersenyawa dengan ideologi 
sekte, praktek ritual, dan pelestarian ”hal-hal lama” yang disucikan, old sacred 
(Karen Armstrong, 2000).

Atas alasan di atas, bangsa ini harus mulai menyadari dan keluar (beyond) dari tiga 
kehidupan ideologi; nasionalisme, ideologi agama serta ideologi suku (ethnos 
ideology). Ketiganya harus mulai diingat untuk ditinggalkan. Sebab ketiganya sama-sama 
melahirkan kultus yang kaku, rigid, mati, anti dialog dan menggunakan kekuatan 
bersenjata yang fundamentalistik. Padahal semua kultus dijauhi dan dikutuk oleh 
seluruh agama (agamawan), ilmu (ilmuwan) dan komunitas rasional. Sebab, seringkali 
tidak subtansi melainkan pinggiran serta menghasilkan pertumpahan darah (chaos) yang 
fandalistis. 

Lalu ideologi model apa yang harus dipilih dan memungkinkan di masa depan? Jawabannya; 
neonasionalisme religius. Indonesia harus menjadi bangsa yang modern dan dibangun 
berdasarkan nasionalisme baru yang agamis. Sebuah bangsa yang mendasarkan logika 
modern tetapi menghargai perdebatan ide yang digali dari berbagai nilai/identitas dan 
berujung pada nalar keadaban serta perdamaian. Sebuah bangsa dan negara yang 
mensubtansikan dirinya pada aras dan pelembagaan serta pembudidayaan ranah keadilan, 
kejujuran, keterbukaan, keuniversalan, pluralitas, familiar dan keaktifan massif 
terhadap keseluruhan elemen yang ada dalam masyarakat. Ideologi ini menjadi 
representasi terbesar dari warga negara Indonesia yang di buktikan dalam SI MPR juli 
2001.

Premis dasar dan ide paling penting dari ideologi neonasionalisme religius adalah 
penerimaan terhadap konsep kesamaan (equality) kemanusiaan universal yang berlaku di 
semua tempat dan waktu. Premis ini bergerak tanpa memandang warna kulit, gender dan 
keyakinan seseorang. Sebab dengan menerima kesamaan kemanusiaan universal, kita sedang 
membangun dan mentradisikan individu dan kemerdekaan jiwa, yang dengannya cita-cita 
kesetaraan, pemahaman atau penghargaan kepada orang lain tidak timpang dan tidak 
saling menjajah. Melainkan sebuah usaha untuk saling bekerjasama, saling menghormati, 
independen ataupun berbagi kebahagiaan-penderitaan. Dalam cahaya inilah Indonesia baru 
merupakan usaha sadar dalam pembentukan budaya yang anti rasial, anti kekerasan, anti 
kemiskinan, anti pemaksaan (overcian) dan anti hegemoni. 

Gagasan ini melengkapi bangunan the imagine of text (cita-cita membicarakan substansi 
teks) dan the imagine of politic (cita-cita politik) dengan membangun the imagine of 
culture (cita-cita kebudayaan). Sebagai rangkaian dari the imagine of collective, 
tugas rezim barulah yang harus merealisasikan cita-cita kebudayaan yang menggerakan 
masyarakat luas tentang pentingnya menjadi ”pelaku sejarah” yang arif. 

Lebih jauh kerja rezim Mega-Hamzah berikutnya adalah pembentukan ide (values ware) dan 
penyebaran informasi (info ware) harus dibarengi dengan membangun kerangka (techno 
ware), struktur (organ ware) dan SDM yang masif (humans ware). Oleh sebab itu langkah 
berikutnya adalah menguatkan kerangka, menegakkan struktur dan memberdayakan sumber 
daya manusia secara luas. Usaha ini harus dimulai lewat kesadaran diri yang 
dikampanyekan secara terus menerus dan elaboratif. Keberhasilan membangun nation 
building (upaya kebangsaan) harus dilanjutkan membangun state building (upaya 
kenegaraan). Hal ini penting untuk memupuk kehendak bersama dalam kerja-kerja 
prioritas dan menjadi bagian penting dari historical block yang harus disegerakan 
realisasinya untuk melahirkan masyarakat beradab. Tanpa itu, rezim Mega-Hamzah akan 
menjadi rezim orba jilid tiga. Suatu rezim yang akan ramai-ramai ditentang warganya.

Penulis adalah Analis Politik 
CPPS Paramadina, Direktur GVI (Gugus Visioner Indonesia) 


---------------------------------------------------------------------
Mulai langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED]
Stop langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED]
Archive ada di http://www.mail-archive.com/envorum@ypb.or.id

Kirim email ke