http://kompas.com/kompas-cetak/0108/23/DIKBUD/form09.htm
>Kamis, 23 Agustus 2001

Formalisasi Pesantren Telah Hancurkan Otoritas Masyarakat

Jakarta, Kompas
Formalisasi pendidikan yang terjadi di pesantren telah menghancurkan otoritas 
masyarakat, terutama kiai. Peran kiai kini tidak lagi menjadi sangat penting dalam 
kehidupan pesantren yang berubah menjadi lembaga pendidikan formal. Akibat lainnya, 
pesantren menjadi sekadar pemondokan dengan biaya pendidikan yang lebih mahal.

"Padahal, sistem pendidikan pesantren sekarang banyak dicontoh oleh lembaga pendidikan 
sekuler karena dianggap dapat meningkatkan mutu dan kualitas peserta didik," kata Drs 
H Masdar Farid Mas'ud MA, ahli pendidikan dari Nahdlatul Ulama (NU), dalam seminar 
yang berte-ma "Menggagas Paradigma Baru Pendidikan Islam di Indonesia", di Jakarta, 
Rabu (22/8). 

Seminar yang dibuka oleh Menteri Agama Said Agil Husin Al Munawar itu juga 
menghadirkan Boediono, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Depdiknas, 
sebagai pembicara.

Dicampuri negara

Perubahan menarik yang terjadi di pesantren adalah masuknya sumber pengetahuan lain 
selain kiai. Informasi ilmu pengetahuan bisa diperoleh dari berbagai macam sumber dan 
cara, dari sekadar obrolan dengan teman, buku, koran, majalah, sampai internet. Tidak 
heran kalau kemudian terjadi proses desakralisasi peran kiai sebagai penyampai ilmu di 
pesantren.

Menurut Masdar, ketika pesantren berubah menjadi formal, otoritas kiai dan masyarakat 
untuk melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas telah dicampuri peran negara. 
Pesantren kemudian terpaksa mengadopsi dan mengikuti sistem pendidikan formal dengan 
kurikulum pendidikan dan, bahkan, kalender akademik yang ditentukan oleh pemerintah.

"Kiai di pesantren tidak lagi berhak menentukan pelajaran apa yang akan diajarkan dan 
berapa waktu yang dipergunakan untuk itu. Bahkan, mereka tidak lagi memiliki 
kewenangan menentukan kapan waktu libur dan menentukan berapa biaya pendidikan yang 
diperlukan. Kiai kemudian berperan tidak lebih sebagai simbolis dan terbatas pada 
masalah ritual keagamaan," ujarnya.

Hancurnya otoritas kiai, menurut Masdar, mengakibatkan pesantren lebih berperan hanya 
sebagai pemondokan. Tidak ada lagi kehidupan seorang santri yang diawasi selama 24 jam 
oleh seorang pembina. Padahal, selain masalah agama, pola pembinaan personal ini yang 
menjadi ciri khas pesantren.

Menurut Masdar, pola pembinaan personal semacam ini semakin menghilang seiring pola 
pembelajaran di kelas dan penggunaan sarana belajar modern. Pesantren yang berubah 
harus mengikuti pola modern dan sistem manajemen modern yang sepenuhnya tidak lagi 
mampu dibiayai oleh masyarakat sendiri. Akibat lebih jauh, pesantren menjadi semakin 
sulit dijangkau masyarakat bawah. 

"Ironisnya, masyarakat pedesaan yang menjadi pendukung utamanya justru semakin 
terpuruk kondisi perekonomiannya. Tidak heran kalau pesantren menjadi jauh dengan 
masyarakat bawah. Padahal, ketika pesantren mandiri dan didukung masyarakat, kehidupan 
pesantren justru mampu melahirkan manusia yang bisa menjadi pemimpin," ujarnya.

Menurut Boediono, pesantren yang menjadi sekadar pemondokan saja merupakan salah satu 
dari tiga macam pesantren di masa depan. Dua macam pesantren lainnya adalah pesantren 
salafiah (tradisional) dan pesantren dengan manajemen modern yang manajemennya akan 
sangat beragam. 

"Keberagaman ini ditentukan dari seberapa besar kiai yang menjadi pemimpin pesantren 
bisa menerima perubahan. Saya yakin, setiap macam pesantren tetap memiliki komunitas 
pendukungnya masing-masing," ujarnya.

Boediono menilai, yang dibutuhkan pesantren dari pemerintah saat ini adalah pengakuan. 
Pengakuan itu harus tersirat dalam bentuk undang-undang. Menurut dia, pengakuan 
pemerintah pada pesantren seharusnya dapat dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang 
(RUU) Pendidikan Nasional yang baru. 

Ketika membuka seminar, Menteri Agama mengingatkan bahwa sebagai salah satu bentuk 
pendidikan Islam kini pesantren menghadapi tantangan berat. Tantangan itu adalah 
melahirkan manusia Indonesia yang berkualitas dan didukung dengan dasar pengetahuan 
agama yang baik. "Apalagi saat ini bangsa Indonesia sedang menghadapi berbagai krisis, 
termasuk krisis moral," ujarnya. (mam) 



---------------------------------------------------------------------
Mulai langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED]
Stop langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED]
Archive ada di http://www.mail-archive.com/envorum@ypb.or.id

Kirim email ke