Rekan-Rekan Yth,

Berikut kami kirimkan press release sehubungan dengan akan berlangsungnya
COP 7 pada tanggal 29 Oktober-9 November di Marakech, Marocco.

Salam Hijau, 

Pelangi


Untuk disiarkan segera:  23 Oktober 2001


Harus Ada Komitmen Negara Maju untuk Ratifikasi 
Protokol Kyoto


Hal penting yang harus mendapat perhatian khusus pada Konferensi Perubahan
Iklim mendatang di Maroko adalah munculnya komitmen negara-negara maju untuk
meratifikasi Protokol Kyoto. “Pertemuan di Maroko nanti harus menghasilkan
pasal yang dengan tegas menentukan batas waktu yang jelas untuk meratifikasi
Protokol Kyoto, yaitu sebelum peringatan 10 tahun KTT Rio di Johannesburg,
September 2002.” menurut Agus P. Sari, Presiden Direktur Pelangi, yang sudah
menghadiri proses negosiasi perubahan iklim sejak tahun 1990.

“Jika komitmen negara maju untuk ratifikasi tidak muncul pada konferensi
mendatang, maka Protokol Kyoto hanya akan menjadi sekumpulan peraturan
kosong”, ujar Agus P. Sari

Isu perubahan iklim bukanlah isu yang mudah dipahami oleh masyarakat di
negara berkembang, khususnya di Indonesia. “ Walaupun begitu pemahaman
masyarakat akan isu ini harus terus ditingkatkan karena dampak perubahan
iklim akan sangat dirasakan oleh Indonesia sebagai negara kepulauan dan
negara agraris, “ kata Agus P. Sari

Indonesia sebagai salah satu negara peratifikasi Konvensi Perubahan Iklim,
diharapkan akan segera meratifikasi Protokol Kyoto sebelum pertemuan KTT Rio
+10, September 2002.  Untuk itu pemerintah harus segera memikirkan
upaya-upaya yang harus dilakukan agar Indonesia bisa mengurangi emisi gas
rumah kacanya, misalnya dengan meningkatkan efisiensi penggunaan energi,
memasyarakatkan penggunaan renewable energy, meningkatkan manajemen hutan
serta mencegah terjadinya illegal logging dan kebakaran hutan.

Konferensi Para Pihak (Conference of the Parties) mengenai perubahan iklim
sesi ke-7, biasa disebut COP 7, akan segera dimulai pada tanggal 29 Oktober
hingga 9 November 2001 di Marakesh, Maroko. Pada COP 7 mendatang akan
dilanjutkan pembahasan mengenai beberapa isu penting yang belum disepakati
pada COP 6 lanjutan di Bonn pada bulan Juli lalu.

Pada COP 6 yang lalu dihasilkan beberapa kesepakatan yang kemudian dikenal
dengan Bonn Agreement. Kesepakatan-kesepakatan di dalam Bonn Agreement
meliputi beberapa isu penting antara lain: pendanaan di bawah Konvensi
Perubahan Iklim; pendanaan di bawah Protokol Kyoto; alih teknologi;
implementasi pasal 4.8 & 4.9 Konvensi dan pasal 2.3 & 3.14 Protokol Kyoto.
Namun masih ada tiga isu penting lainnya yang harus dinegosiasikan lebih
lanjut pada COP 7 mendatang, yaitu mengenai compliance (kepatuhan), tata
guna lahan & kehutanan (LULUCF), dan mekanisme yang berkaitan dengan
Protokol Kyoto pasal 6 (Joint Implementation), pasal 12 (Clean Development
Mechanism), dan pasal 17 (Emission Trading).

Pelangi mendesak pemerintah untuk segera membentuk Badan CDM Nasional
mengingat proyek CDM (Clean Development Mechanism) akan segera
direalisasikan segera setelah dibentuknya Badan CDM Internasional pada COP
7. CDM merupakan salah satu upaya negara maju untuk mengurangi emisi gas
rumah kaca dengan berinvestasi pada proyek yang sesuai dengan Protokol Kyoto
di negara berkembang.

Pelangi, seperti tahun-tahun sebelumnya, akan turut serta hadir dalam proses
negosiasi perubahan iklim COP 7 mendatang, di Maroko. Adapun perwakilan dari
Pelangi kali ini adalah Agus P. Sari yang menjabat sebagai Presiden Direktur
Pelangi.


Pelangi adalah sebuah lembaga penelitian kebijakan yang bersifat nirlaba,
non-pemerintah, dan independen.  Saat ini Pelangi memfokuskan kegiatannya
pada isu-isu energi, transportasi, perkotaan dan studi wilayah, pencemaran
udara, dan perubahan iklim.

Hasil-hasil COP 6 lanjutan, Juli 2001
Bonn Agreement

        ·       Pendanaan di bawah Konvensi Perubahan Iklim
        Annex I & II harus menyediakan pendanaan baru bagi negara
berkembang, yang sesuai dengan komitmen mereka di dalam konvensi tersebut,
melalui lembaga GEF (Global Enviromental Facilities), dana khusus untuk
perubahan iklim (special climate change fund), dan lembaga-lembaga donor
bilateral dan multilateral. Aktifitas pendanaan ini termasuk di dalamnya
untuk capacity building, adaptasi, alih teknologi, energi, transport,
industri, pertanian, kehutanan, manajemen limbah, dan juga aktifitas lainnya
untuk membantu negara berkembang mengembangkan perekonomiannya.
Negara-negara maju memberikan komitmennya secara sukarela untuk aktifitas
pendanaan ini sebesar kurang lebih US$ 600 juta, sejak tahun 2005.
        ·       Pendanaan di bawah Protokol Kyoto
        Ketentuan ini menunjukkan adanya pemberlakuan pembagian tanggung
jawab. Untuk itu disediakan dana adaptasi (adaptation fund) untuk membiayai
proyek-proyek adaptasi di tiap negara sesuai dengan Protokol.  Dana untuk
adaptasi ini akan diperoleh dari pembagian hasil dari proyek-proyek CDM
(sebesar 2 persen) dan sumber-sumber dana lainnya. Dana ini akan dikelola
oleh sebuah badan keuangan PBB untuk Konvensi Perubahan Iklim. 
        ·       Alih Teknologi
        Akan dibentuk Tim Ahli untuk Alih Teknologi, terdiri dari 20 orang:
3 orang dari tiap kawasan negara non Annex I; 1 orang dari Negara-negara
Kepulauan; 7 orang dari negara Annex I; dan 3 orang dari organisasi
internasional yang bersangkutan. Untuk pengimplementasian draft alih
teknologi ini akan didanai oleh GEF melalui dana khusus untuk perubahan
iklim (special climate change fund).
        ·       Pelaksanaan Konvensi Perubahan Iklim Pasal 4.8 & 4.9
        Pelaksanaan aktifitas-aktifitas tertentu yang harus dilakukan oleh
negara maju terhadap negera berkembang dan negara miskin sebagai respon
terhadap dampak perubahan iklim. Aktifitas ini akan disponsori
melaluibeberapa sumber dana seperti GEF, dana khusus untuk perubahan iklim,
dan sumber-sumber dana bilateral atau multilateral lainnya.
        ·       Protokol Kyoto Pasal 2.3 & 3.14
        Ketetapan ini memutuskan bahwa Annex I harus mengimplementasi
kebijakan sebagai upaya untuk meminimalkan dampak perubahan iklim terutama
di negara berkembang, baik dampak terhadap perdagangan internasional,
sosial, ekonomi dan lingkungan. Ketetapan ini juga memutuskan bahwa salah
satu bentuk implementasinya adalah penyediaan dana, asuransi, dan transfer
teknologi.
        ·       Mekanisme Fleksibel
        Ketentuan mengenai Mekanisme Fleksibel, terdiri dari 3 hal, yaitu
Implementasi Bersama (Joint Implementation - JI), Mekanisme Pembangunan
Bersih (Clean Development Mechanism,- CDM), dan Perdagangan Emisi (Emissions
Trading - ET).
        Mekanisme ini adalah merupakan salah satu cara bagi negara-negara
Annex I dalam upayanya menurunkan emisi gas rumah kaca di luar negeri.
Penggunaan mekanisme ini oleh negara-negara Annex I hanya bersifat tambahan
(supplemental) bagi kegiatan penurunan emisi GRK di dalam negeri mereka.
Kegiatan menurunkan emisi GRK di dalam negeri haruslah merupakan sebuah
tindakan yang signifikan atas usaha yang dilakukan oleh tiap negara Annex I
dalam rangka memenuhi ketetapan Protokol Kyoto.
        ·       Tata Guna Lahan dan Kehutanan (LULUCF)
        Ketentuan mengenai LULUCF mengusulkan bahwa definisi ‘hutan’,
‘aforestasi’, ‘reforestasi’, dan ‘deforestasi’ adalah berdasarkan perubahan
dalam tata guna lahan. Debet emisi GRK selama periode komitmen pertama yang
berasal dari hasil panen, aforestasi dan reforestasi sejak tahun 1990
jumlahnya tidak boleh lebih besar dari kredit emisi yang dihasilkan dari
daerah yg sama. Tiap negara boleh memilih untuk melaksanakan semua atau
beberapa kegiatan tambahan (additional activities)- manajemen hutan,
manajemen ladang, manajemen padang rumput dan revegetasi- dalam rangka
penurunan emisi gas rumah kaca dibawah ketentuan pasal 3.4 (mengenai
kegiatan tambahan) Protokol Kyoto.
        Ketentuan mengenai LULUCF sejauh ini mengijinkan LULUCF termasuk
dalam proyek CDM hanya terbatas pada kegiatan aforestasi (penghutanan
daerah yang sebelumnya bukan hutan) dan reforestasi (penghutanan kembali)
saja serta terbatas hingga pada jumlah kredit tertentu pada periode komitmen
pertama.
        ·       Kepatuhan (compliance)
        Untuk menangani masalah compliance, dibentuk Komite Kepatuhan
(Compliance Committee) yang meliputi facilitative branch dan enforcement
branch. Tujuan komite ini adalah untuk memperbaiki ketidakpatuhan, untuk
menjamin integritas lingkungan dan juga untuk memberikan insentif agar
mereka patuh.
        Fungsi facilitative branch adalah untuk memberikan saran dan
memfasilitasi demi terlaksananya kepatuhan, serta memberikan peringatan
pendahuluan untuk ketidakpatuhan.
        Sedangkan enforcement branch adalah badan yang akan menerapkan
konsekuensi bagi aktifitas ketidakpatuhan. tujuan memperbaiki ketidakpatuhan
adalah untuk menjamin integritas lingkungan dan juga untuk memberikan
insentif agar mereka patuh. Adapun beberapa sanksi dari ketidak patuhan
negara-negara Annex I dalam menjalankan komitmen mereka di dalam Protokol
Kyoto a.l : menambahkan 1.3 kali dari jumlah emisi negara bersangkutan pada
komitmen periode pertama, untuk diberlakukan sebagai jumlah emisi yang
ditetapkan untuk komitmen periode kedua; membuat sebuah rencana kepatuhan
(compliance action plan); mendapat skorsing untuk tidak melakukan
perdagangan emisi.



Contact persons:

Agus P. Sari, [EMAIL PROTECTED] , telp. di Pelangi, (021) 5735020/
5719360/ 5719361
HP: 0811834899

Kuki Soejachmoen, [EMAIL PROTECTED] , telp. di Pelangi, (021) 5735020/
5719360/ 5719361, HP: 0811882130

Harry Surjadi, [EMAIL PROTECTED] , telp. di Pelangi, (021) 5735020/
5719360/ 5719361, HP: 0811150232



---------------------------------------------------------------------
Mulai langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED]
Stop langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED]
Archive ada di http://www.mail-archive.com/envorum@ypb.or.id

Kirim email ke