http://www.sinarharapan.co.id/berita/0110/22/opi01.html
Terpinggirnya Ekonomi Kerakyatan Oleh: M. Alfan Alfian Di masa pemerintahan Presiden Megawati saat ini, terbersit sebuah ironisme atas nasib ekonomi kerakyatan. Sektor ekonomi kerakyatan yang menyerap banyak tenaga kerja, serta terbukti mampu bertahan di masa krisis, ternyata tidak memperoleh dukungan kebijakan pemerintah yang memadai. Padahal sektor ini tak bisa dibiarkan begitu saja di dalam pasar bebas yang kompetitif. Paradigma ekonomi kerakyatan tampaknya kurang diminati oleh pemerintahan Megawati. Hal ini setidaknya terbaca dari empat hal. Pertama, dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2001, Presiden Megawati, mengungkapkan keraguannya atas konsep ekonomi kerakyatan atau ekonomi rakyat. Menurutnya, ekonomi kerakyatan sesungguhnya belum jelas benar pengertian lingkup, dan isi konsepnya. Bahkan, masih bersifat ”membingungkan” masyarakat. Pernyataan presiden tersebut, sengaja atau tidak, merupakan semacam upaya dekonstruksi (kalau bukan mementahkan kembali) sistem ekonomi kerakyatan. Kedua, perimbangan APBN yang belum berpihak kepada ekonomi rakyat. Hal ini bisa dibaca dari anggaran yang diberikan pada sektor koperasi dan usaha kecil menengah (UKM), yang masih amat belum memadai. Urusan koperasi dan pengembangan UKM, hanya tertangani oleh kementerian negara yang ruang geraknya amat terbatas. Belum ditambah lagi dengan pembubaran Badan Pengembangan Sumberdaya Koperasi dan Pengusaha Kecil Menengah (BPSKPKM) yang memiliki arti penting dalam mengoperasionalisasikan konsep ekonomi kerakyatan. Ketiga, pembaruan paket program kebijakan ekonomi dan keuangan antara pemerintah Indonesia dengan Dana Moneter Internasional (IMF), tanggal 27 Agustus 2001, tampaknya tidak satu pun dari butir kesepakatan yang ada, menyebutkan keinginan untuk memperkuat basis ekonomi rakyat. Keempat, kebijakan pemerintah pun belum pula menunjukkan keberpihakannya pada petani yang merupakan rakyat kebanyakan. Misalnya, belakangan ini, pemerintah (Bulog) memutuskan untuk melakukan impor 500.000 ton beras dari Vietnam (untuk dikapalkan bulan Februari 2002). Pertanyaannya, mengapa pemerintah tidak mengoptimalkan pengadaan stok beras langsung dari petani? Pemerintah terkesan menggampang saja, dengan mengabaikan kepentingan jangka panjang ekonomi rakyat. Kebijakan yang tidak berpihak pada semangat ekonomi kerakyatan ini, merupakan langkah spekulatif dari pemerintahan Megawati. Tampaknya, pihak pemerintah amat optimis dengan program pemulihan ekonomi makro yang dijalankan. Padahal, sisi pemulihan ekonomi makro yang ada, tampak tidak mampu bergerak secara signifikan untuk meningkatkan prestasi kerja sehingga berdampak baik bagi ekonomi nasional. Nyaris, yang terjadi saat ini, tim ekonomi nasional, lebih banyak bergantung pada faktor citra alias image Megawati yang tampak kalem dan tenang. Mengandalkan kharisma Megawati saja tentu tidak cukup, bahkan cenderung stagnan, bila tak diimbangi dengan kecanggihan kebijakan yang menerobos, dan menyentuh kepentingan dan peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Kebijakan ekonomi pemerintahan Megawati tampaknya cenderung mementingkan aspek makro, dan sengaja atau tidak mengabaikan aspek mikro. Pendekatan yang dipakai oleh tim ekonomi presiden Megawati, agaknya, tak jauh dengan apa yang dilakukan pemerintah Orde Baru. Pemulihan ekonomi makro, di mana lebih melibatkan pelaku ekonomi menengah atas, dipercaya bakal mampu memicu pula secara otomatis aspek mikro. Barangkali karena itulah pendekatan ekonomi kerakyatan, untuk sementara diabaikan kalau tak mau dikatakan dipinggirkan. Tampaknya arus besar Meganomics, lebih memihak pada pengembangan ekonomi makro minus ekonomi kerakyatan. Sektor ekonomi kerakyatan terkesan dibiarkan ”mandiri” dalam mengatasi segala persoalannya, justru di tengah iklim kompetisi pasar bebas. Terdapat keyakinan, bahwa bila sektor ekonomi makro pulih, maka sektor ekonomi kerakyatan, otomatis ikut terangkat. Harus Diutamakan Pandangan demikian berbeda dengan pendapat kalangan yang menghendaki agar sektor ekonomi rakyat juga diutamakan. Alasannya, pertama, ekonomi rakyat telah berjasa dalam menahan krisis ekonomi secara signifikan. Ekonomi rakyat menampung banyak pengangguran yang tergusur akibat krisis (menurut BPS tahun 2000 menyerap 88,66% tenaga kerja). Bahkan ekonomi rakyat, terutama yang berorientasi ekspor dengan bahan baku dalam negeri, menunjukkan eksistensinya yang kokoh di kala krisis. Kedua, secara kualitatif pelaku sektor ekonomi kerakyatan, di mana di dalamnya tertampung koperasi dan UKM, amat tinggi. Data BPS tahun 2000 menunjukkan bahwa jumlah usaha kecil dan koperasi di Indonesia 99,6%, sisanya baru usaha besar dan konglomerat (0,2%). Dari segi komposisi volume usaha sejumlah 99,85 persen di bawah Rp 1 miliar, 0,14% antara Rp 1 miliar hingga Rp 50.000 miliar, sisanya (0,01%) di atas Rp 50 miliar. Dari sini tampak bahwa sektor ekonomi kerakyatan bisa sekedar dianggap kecil. Memang, kontribusi sektor ekonomi kerakyatan terhadap PDB hanya 39,8%, sementara kelompok ekonomi besar dan konglomerat 60,2%. Pangsa pasarnya juga kalah, yakni hanya 20%, dan sumbangannya terhadap pertumbuhan ekonomi hanya 16,4%. Namun demikian, sektor ekonomi kerakyatan tak bisa dianggap sepele. Tanpa dukungan pemerintah, serta membiarkanya bersaing di pasar bebas, tampaknya bukan memecahkan masalah, mengingat banyak kendala yang dihadapi oleh sektor ini. Sejak Presiden Megawati memunculkan keraguan atas konsep dan sistem ekonomi kerakyatan, berbagai respon publik (terutama kalangan akademisi) lantas bermunculan. Walaupun, nyaris tak ada perbedaan yang terlampau lebar menyangkut definisi ekonomi rakyat atau ekonomi kerakyatan, namun gagasan ini masih dianggap kontroversial, terutama di tingkat operasionalisasi. Gagasan ini, kerap dicurigai sebagai sarana bagi kelompok tertentu untuk melancarkan agenda-agenda politik mereka. Selain itu, gagasan yang sesungguhnya telah berkembang sejak lama itu, dianggap tidak konkret dan tidak memiliki peran berarti dalam konteks ekonomi nasional. Bahkan, gagasan ini dianggap usang dan ”membingungkan”. Tentu saja ”tuduhan-tuduhan” semacam itu amat menyakitkan. Gagasan ekonomi kerakyatan, sesungguhnya bukanlah hal yang asing. Istilah dan konsep ekonomi kerakyatan telah tercantum dalam TAP MPR XVI/1998, TAP MPR IV/1999, dan UU No-25/2000 tentang Propenas. Bahwa dalam ketetapan-ketetapan dan UU di atas tak disebutkan secara eksplisit tentang ekonomi kerakyatan dan ekonomi rakyat, adalah karena konsep ini dianggap ”diketahui dengan sendirinya” (Mubyarto, 2001). Bila ditelusuri lebih jauh semangat filosofis ekonomi kerakyatan, tampak jelas dan tegas terbetik dan pemikiran ekonomi Hatta konseptor dan penggagas pasal 33 UUD 1945. Berawal dari keprihatinanya yang mendalam atas praktek imperialisme dan kolonialisme, Bung Hatta berupaya keras berpikir bagaimana ekonomi rakyat bisa bangkit. Pikiran ekonomi kerakyatan Hatta lantas, mengerucut lewat gerakan koperasi. Koperasi, dinilai merupakan pilihan yang paling cocok untuk diterapkan dalam membangkitkan ekonomi rakyat dan kebetulan juga di dalamnya terkandung prinsip gotong royong. Pada zaman pemerintahan apa pun, dari Soekarno hingga Megawati Soekarnoputri, wacana ekonomi kerakyatan tidak pernah mati walaupun terkesan tak pernah memperoleh posisi yang layak. Sayangnya, ia tampak selalu tenggelam dengan paradigma pembangunan ekonomi makro, yang amat menekankan tradisi neo-liberal. Pendekatan neo-liberal memang mampu menenggelamkan sistem ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan pun dipandang sebagai ”proyek politik” yang ”ditakdirkan selalu gagal”. Memang, implementasi praktis sistem ekonomi kerakyatan tidak bersifat baku. Dan oleh sebab itu, di lapangan, ia menjadi begitu fleksibel. Yang menjadi ciri utama, justru terletak pada semangatnya yakni orientasinya yang berpihak pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Istilah ekonomi rakyat atau ekonomi kerakyatan pun semakin populer dan, dimasukkan ke dalam GBHN. Maka, sesungguhnya tak ada alasan untuk meninggalkan ekonomi kerakyatan, hanya karena dianggap petunjuk implementasinya ”tidak jelas”. Langkah Mundur Menyimak lemahnya keberpihakan pemerintah pada ekonomi kerakyatan, agaknya lebih merupakan langkah mundur kalau tidak boleh dibilang bisa berakibat fatal. Pendekatan pemulihan ekonomi makro, kerap mengabaikan dimensi keadilan misalnya dengan mengorbankan ekonomi rakyat. Maka, dengan dipinggirkanya ekonomi kerakyatan, lewat dicabutnya kewenangan aparat pemerintah untuk menangani hal yang bersentuhan langsung dengan ekonomi rakyat, tampaknya bukan hal yang tepat. Di tengah kompetisi global yang kerap bertindak ”kejam”, ekonomi kerakyatan, wajib perlu dilindungi oleh negara, bukan malah ditelantarkan. Artinya wilayah yang satu ini (ekonomi rakyat), tak bisa dibiarkan sendirian, dan tertatih-tatih begitu rupa menghadapi kompetisi global. Tidak hanya diperlukan perlindungan dan subsidi yang proporsional, tapi yang lebih penting adalah adanya political will dari pemerintah untuk menghormati dan sungguh-sungguh menegakkan sistem ekonomi kerakyatan. Maka, merupakan langkah mundur, bila pemerintah mencabut political will-nya dalam memajukan ekonomi kerakyatan. Hal ini tampaknya tidak akan menyelesaikan persoalan, justru, dalam banyak hal merupakan bumerang bagi upaya pemerintah memulihkan kondisi ekonomi nasional. Bila pemerintah saja tak mendukung pengembangan sistem ekonomi kerakyatan, lantas, rakyat dibiarkan begitu rupa, maka bagaimana jadinya kelak? Hampir bisa dipastikan, perekonomian rakyat menengah ke bawah akan makin terpuruk dilindas roda kompetisi global yang ”mengerikan”. Bila ini dibiarkan, boleh jadi hanya akan memperbesar biaya sosial yang harus dipikul. Adalah amat fatal bila kebijakan utama pemulihan ekonomi makro, harus menyingkirkan kebijakan ekonomi kerakyatan. Akan lebih runyam kondisinya bila, ternyata kebijakan pemulihan ekonomi makro gagal, sementara ekonomi kerakyatan telah terbengkelai akibat diabaikan keberadaannya. Penulis adalah peneliti Yayasan Katalis dan ACG Consulting Group Jakarta --------------------------------------------------------------------- Mulai langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED] Stop langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED] Archive ada di http://www.mail-archive.com/envorum@ypb.or.id