Bung Tommy, saya bisa merasakan kekesalan anda yang telah lama berkeluh kesah 
soal persepakbolaan kita. Dan benar juga bahwa masalahanya terletak pada 
karakter. 

Tapi bung, bukan karakter pribadi orang perorang yang rusak. Banyak manusia 
baik di negeri ini, tetapi menjadi rusak ketika masuk dalam ranah publik. 
Banyak orang pandai di negeri ini yang menjadi goblok ketika masuk ranah 
kepemerintahan, dan seterusnya. Lalu orang masuk ke wilayah "agama" yang 
diperkirakan akan menyolusi persoalan. Balik lagi, ternyata Departemen Agama 
menjadi gudang koruptor berjemaah. Begitu banyak mesjid, gereja dan tempat 
ibadah lain dibangun, tapi ulamanya mencari amplop juga. So gimana dong ????

Memang benar masalahnya terletak pada "karakter", tetapi "karakter bangsa". 
Kita tidak paham tentang diri "kita" sendiri dan apa tujuan kita memerdekakan 
bangsa ini dan mengorganisasikan menjadi negara. Tepatnya, negri ini TANPA 
TUJUAN. (Sebenarnya ada di Pembukaan UUD45, namun karena kita instant 
membacanya, yah beginilah jadinya).

Lihat saja, kasus di internal POLRI dan apa yang terjadi di dalam "Gelar Pansus 
Century". Terlihat bahwa antara pemikiran akademik (yang serba seharusnya 
sesuai hukum/prosedur) dengan pemikiran manajerial (yang serba terkendala oleh 
kemampuan overall) tidak match sama sekali. Maaf, kalau terpaksa Budiono harus 
menyerah pada saatnya.

Mungkin keadaan macam ini harus kita lewati bung, asal jangan seperti 
keledai..... yang boleh jadi akan terantuk-antuk berkali-kali pada batu yang 
sama. 65 tahun kita sudah lakukan trial and error, entah mau berapa tahun lagi 
error-error akan terjadi selanjutnya....sampai kita kembali ke jati diri bangsa 
Pembukaan UUD 1945).

salam, robama.

--- In Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com, "Suryopratomo" <suryo_prat...@...> 
wrote:
>
>        Gagal Lagi, Gagal Lagi
>    Baru saja pil pahit kegagalan kesebelasan nasional Indonesia di ajang SEA 
> Games XXV kita telan, kegagalan baru harus kita terima. Tim nasional PSSI 
> gagal untuk bisa tampil di putaran final Piala Asia setelah terakhir ditekuk 
> Oman 1-2 di kandang sendiri di Stadion Utama Senayan.
>       Berpuluh-puluh tahun, stadion kebanggaan rakyat Indonesia selalu 
> menjadi tempat bangkitnya rasa cinta kepada negeri, kini begitu sulit kita 
> menangguk rasa suka cita itu. Setiap kali hanya pil pahit yang harus kita 
> telan karena prestasi atlet-atlet nasional kini yang kian terpuruk.
>      Kalau orang seperti Hendri Mulyadi melampiaskan kekecewaan dengan masuk 
> ke dalam lapangan permainan untuk kemudian menggiring bola dan mencoba 
> menceploskannya ke gawang Oman, itu ekspresi dari keputusasaan. Masa di 
> kandang sendiri, tim nasional kita tidak mampu menunjukkan kualitasnya 
> sebagai tim langganan peserta putaran final Piala Asia.
>      Gambaran kekecewaan itu terlihat dari tidak adanya seorang pun yang 
> marah atas ulah Hendri untuk mengganggu jalannya pertandingan. Dari ekspresi 
> yang kita baca dari facebook maupun twitter justru terlihat adanya dukungan 
> karena pengurus PSSI sekarang ini dianggap pantas untuk dipermalukan karena 
> telah gagal membina prestasi sepak bola nasional.
>      Tentu menjadi pertanyaan, apa yang salah dengan pembinaan sepak bola 
> kita sekarang ini? Bukankah kunci pembinaan adalah kompetisi yang teratur dan 
> kita sudah mempunyai kompetisi bahkan pada semua tingkatan umur?
>       Jawabannya sama dengan gambaran besar dari sistem pendidikan nasional 
> kita. Kita sudah mempunyai kurikulum pendidikan, sudah punya yang namanya 
> ujian nasional, namun indeks pembangunan manusia kita masih lebih rendah 
> dibandingkan negara lain.
>      Kalau coba kita analisis lebih mendalam lagi, maka kita akan sadar bahwa 
> semua itu disebabkan karena kita selalu hanya mengutamakan yang namanya 
> prosedur. Seakan-akan kalau semua sesuai prosedur akan otomatis baiknya. Kita 
> lupa bahwa di samping prosedur yang tidak kalah penting adalah bobot, 
> kualitas pelaksanaannya.
>       Sama dengan kasus "pemaksaan" yang dilakukan pemerintah untuk melakukan 
> ujian nasional sekarang ini. Seakan-akan dengan melakukan itu, maka anak-anak 
> kita bisa menjadi manusia unggul. Padahal ujian nasional hanya mengukur 
> kecerdasan intelektualitas pada ilmu-ilmu tertentu saja, tetapi kecerdasan 
> emosional, pembentukan karakter, tidak pernah dipedulikan.
>      Padahal dalam pembentukan manusia unggul bukan hanya kecerdasan 
> intelektual yang harus dikejar. Yang lebih penting adalah membangun karakter. 
> Terutama karakter manusia yang bertanggung jawab, penuh disiplin, memiliki 
> etos kerja, mempunyai etika, dan mengerti sopan santun.
>      Dengan manusia-manusia seperti itu kita bukan hanya melahirkan manusia 
> yang mau bekerja keras, tetapi mengutamakan nilai kehidupan. Bahwa untuk 
> menjadi orang sukses dan berhasil tidak bisa dicapai secara instan serta 
> menghalalkan segala cara, tetapi harus melakukan proses bekerja.
>      Sepanjang kita tidak pernah mau memedulikan itu, tidak usah heran 
> apabila kelak putra-putra bangsa yang kita hasilkan akan seperti anggota 
> Pansus DPR sekarang ini. Statusnya adalah anggota terhormat, namun 
> perilakunya sangat tidak terhormat. Di tempat terbuka begitu mudah untuk 
> berkata kotor, padahal mereka sedang ditonton oleh banyak orang termasuk 
> anak-anak kita.
>       Sungguh ironis bahwa anggota Partai Demokrat membela dan memahami 
> tindakan rekannya itu. Tidak usah heran apabila kualitas manusia bangsa ini 
> menjadi semakin menurun, karena pendidikan yang nyata dalam kehidupan 
> sehari-hari mengajarkan sesuatu yang tidak baik dan itu masih juga dibenarkan.
>        Kembali kepada prestasi tim sepak bola nasional kita, persoalan yang 
> paling mendasar adalah hilangnya karakter. Kita tidak memiliki pemain-pemain 
> yang memiliki karakter. Yang sadar bahwa menjadi pemain sepak bola bukan 
> sekadar bisa memainkan bola, tetapi harus ada passion ketika melakukannya.
>         Atau bahasa lain yang bisa dipakai, kita membutuhkan para pemain yang 
> bukan hanya tahu akan tugasnya sebagai pemain sepak bola, tetapi memahami 
> perannya ketika menjadi pemain nasional. Mereka harus melakukan dengan 
> sepenuh hati, karena yang mereka bela ketika tampil adalah Merah-Putih. 
> Ketika kita berhasil, maka yang diraih bukan sekadar kemenangan, tetapi 
> kebanggaan seluruh bangsa.
>       Karakter seperti itu dulu kita miliki pada diri pemain seperti Maulwi 
> Saelan, Ramang, Sutjipto Soentoro, Iswadi Idris, Waskito, Risdianto, Ronny 
> Pattinasarany. Sekarang kita tidak lagi memiliki pemain-pemain yang sadar 
> bahwa mereka harus berlatih keras karena ketika mereka nanti berlaga mereka 
> sedang mempertaruhkan nama baik 230 juta rakyat Indonesia.
>      Semua itu tidak terjadi dengan sendirinya. Mereka bisa tumbuh seperti 
> itu karena mereka dibina oleh orang-orang yang berkarakter. Lihat orang-orang 
> seperti Maladi dan Kosasih Poerwanegara yang bukan hanya berkomitmen untuk 
> mengabdikan hidupnya bagi kemajuan sepak bola nasional, tetapi merupakan 
> pribadi-pribadi bersih yang bisa menjadi panutan.
>       Sekarang PSSI dipimpin oleh orang yang tidak peduli apakah kehadirannya 
> bemanfaat atau tidak bagi kemajuan sepak bola nasional. Sepanjang kepuasan 
> dirinya terpenuhi, memegang jabatan demi eksistensi secara politis tercapai, 
> maka jabatan itu dipertahankan dengan segala cara.
>       Kita tidak bermaksud membawa persoalan kegagalan tim nasional kepada 
> persoalan pribadi. Namun membina olahraga tidak ubahnya seperti mendidik. 
> Hanya dengan niatan yang bersih akan bisa dihasilkan prestasi yang baik. 
> Kalau tidak, kita boleh menggelar kompetisi seheboh apa pun, tetapi ketika 
> itu tidak ada isinya, tidak ada jiwanya, tidak ada kualitasnya, maka hasilnya 
> akan seperti sekarang ini. Kita hanya akan gagal lagi, gagal lagi.
> Powered by Telkomsel BlackBerry®
>


Reply via email to