Oleh Effendi Gazali

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/14/03033265/terima.kasih.ayin.dan.anggodo



Semua program 100 hari kabinet yang direncanakan sudah hampir 100 persen. "Dari 
implementasi di lapangan, tidak ada yang terhambat," ujar Menko Perekonomian 
Hatta Rajasa (Newslinksmc, 12/1).

Pesan singkat yang disebar ke berbagai nomor telepon seluler ini terasa begitu 
"mewah" ketika sampai ke tangan para aktivis. Betapa tidak, angka yang dipakai 
adalah bilangan sempurna: 100 persen! Kalau benar demikian, berbagai sektor 
sudah harus sangat terasa meningkat kualitasnya. Terutama karena kesempurnaan 
100 persen ini adalah kesempurnaan lanjut(k)an dari lima tahun pemerintahan 
sebelumnya.

Untunglah masih ada Arthalyta Suryani (Ayin) dan Anggodo! Eksistensi dan 
kata-kata kedua orang ini mampu menunjukkan sesuatu yang melenceng dalam 
menilai kinerja pemerintahan selama ini, paling tidak dalam hal penegakan 
hukum. Ternyata pencitraan lebih penting ketimbang implementasi niat.

Amat konyol

Dalam berbagai hal terdapat kesamaan antara Ayin dan Anggodo. Keduanya terkenal 
karena rekaman percakapan mereka dengan aneka aparat penegak hukum yang 
diperdengarkan kepada publik. Percakapan Ayin ditampilkan di persidangannya, 
sedangkan Anggodo di Mahkamah Konstitusi (MK) tanggal 3 November 2009.

Setelah dijatuhi hukuman, Ayin melanjutkan eksistensinya dengan "hidup mewah di 
hotel prodeo bintang lima" (begitu judul berita Kompas, 12/1). Ayin eksis dan 
diistimewakan dalam hampir semua hal. Ayin bisa mengundang bawahan untuk rapat 
bisnis, punya "asisten pribadi", dan dapat menikmati perawatan kulit. 
Barangkali masih banyak kemewahan lain yang kalau terus disebutkan pasti 
menyayat hati sesama penghuni yang harus berdesakan 20 sampai 30 orang di 
ruangan yang kurang lebih sama luasnya!

Sudah rahasia umum bahwa fenomena pengistimewaan di penjara (rutan ataupun 
lapas) sudah berjalan begitu lama. Menyusul dibukanya rekaman pembicaraan 
Anggodo di MK, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara khusus mencanangkan 
program ganyang mafia hukum, bahkan kemudian membentuk satuan tugas khusus. 
Namun, amat konyolnya, hingga hari Minggu (10/1) tekad Presiden Yudhoyono 
seolah diingkari sendiri oleh bawahannya, mulai dari Menteri Hukum dan HAM, 
Dirjen Pemasyarakatan, Kepala Kanwil Kemhukham, hingga Kepala Rutan Pondok 
Bambu (dan pasti beberapa lapas dan rutan lain di Indonesia) yang memberi 
perlakuan istimewa kepada Ayin dan para tahanan superkaya atau VIP lainnya.

Padahal, penegakan hukum serta ganyang makelar kasus sudah ditonjolkan sebagai 
bagian amat penting dari Program 100 Hari Yudhoyono-Boediono. Terbukti tekad 
besar memberantas mafia peradilan hanya dicitrakan "seolah-olah serius" dengan 
membentuk Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang diketuai Kuntoro, tetapi 
disambut dingin dan business as usual di lapangan. Ini benar-benar tamparan 
bagi wibawa seorang presiden! Orang lalu berspekulasi, jangan-jangan karena 
Ayin dekat dengan Presiden Yudhoyono yang memang pernah menghadiri acara 
pernikahan anak Ayin.

Begitu pula dengan Anggodo, hingga kasusnya diserahkan dari kepolisian kepada 
KPK, aparat belum menemukan tuduhan yang layak dikenakan kepadanya. Anggodo 
pasti bisa saja diduga memiliki "keistimewaan" tertentu di mata Presiden. 
Terbukti, Presiden tidak melaporkan Anggodo ke kepolisian atas pencatutan 
namanya (sebagai simbol negara ini) dalam rekaman percakapan Anggodo. 
Kebijaksanaan itu terbukti menunda Anggodo dari ancaman penjara.

Aktivis terpenjara

Fenomena Ayin dan Anggodo barangkali juga terjadi di berbagai sektor yang telah 
dipukul rata hasil evaluasi kinerjanya. Salah satu kemungkinan terlahirnya 
hasil evaluasi yang begitu sempurna adalah "terpenjaranya" pemerintah ini pada 
pernyataan atau kemasan pencitraan. Bahkan, Presiden mungkin saja "terpenjara" 
oleh laporan-laporan bawahannya yang terus menyatakan semua sudah berjalan 
mantap. Sebelumnya, dari berbagai media terdengar angka rata-rata 92 persen dan 
kini malah makin memuaskan.

Dengan kenyataan ini, sekarang semakin diperlukan sebuah evaluasi ilmiah yang 
jernih oleh kalangan aktivis yang kabarnya akan melakukan aksi seputar 100 Hari 
Yudhoyono-Boediono, 28 dan 29 Januari. Sayangnya, elemen aktivis terlihat makin 
terpolarisasi atau mulai terlihat tidak fokus. Sebagian tanpa reservasi membela 
Sri Mulyani dan Boediono karena mereka yakin bahwa keduanya tidak menerima 
aliran dana Century. Sebagian lainnya mencoba lebih berpikir luas. Mereka 
menyadari "orang pintar" tetap saja bisa tertipu (dalam proses rapat-rapat 
ataupun tanggal dan jumlah pencairan dana talangan); atau mungkin tak kuasa 
menahan "tekanan". Bagi aktivis kelompok ini, yang penting tak boleh ada 
bawahan yang dijadikan tumbal.

Sebagian lagi memasang rasa curiga. Antara lain dugaan bahwa ada penumpang 
gelap dalam berbagai demo karena ingin membalas dendam pada gebrakan Sri 
Mulyani sebagai ikon reformasi. Buktinya, ada alat-alat demo yang seragam dan 
tersebar luas, antara lain melukiskan Sri Mulyani dengan atribut "vampir".

Tampaknya, sebuah evaluasi ilmiah dapat membantu para aktivis keluar dari 
"penjara" yang mereka bangun sendiri. Tanpa itu, hasil evaluasi 100 hari yang 
begitu sempurna versi pemerintah hanya akan ditandingi aksi yang sporadis dan 
sekadar meriah saja. Bahkan, makin marak adegan bakar ban dan foto sampai 
sembelih ayam hidup. Atau yang meneriaki Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani 
dengan kata "maling". Semuanya ini jauh dari citra elegan.

 

Effendi Gazali Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI

Kirim email ke