Oleh Rendy Pahrun Wadipalapa

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/06/04030380/ancaman.reshuffle.dan.pemberhalaan.negara



Gertakan Partai Demokrat mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan 
evaluasi kabinet tampaknya bukan gertak sambal. Pernyataan Sekretaris Jenderal 
Partai Demokrat menjadi pertanda serius mendekatnya ancaman perombakan 
(reshuffle) kabinet bagi anggota koalisi yang terus mengambil cara-cara kritis 
dan memojokkan pemerintah dalam isu Bank Century.

Seluruh aroma oposisi dalam tubuh koalisi harus ditekan ke titik nol; jika 
perlu, melalui ancaman reshuffle. Jika ingin lolos dari daftar nama yang 
dicoret, kesetiaan kepada kapal koalisi dengan nakhoda SBY-Boediono adalah 
harga mati yang harus ditaati.

Pemberhalaan negara

Kelompok oposisi adalah kelompok yang mengambil peran mirip peran devil's 
advocate atau advocatus diaboli. Blok oposisi menempati fungsi yang menggoda, 
mengganggu, dan terus bersikap kritis kepada pemerintah, tetapi dengan tujuan 
akhir yang secara ideal diarahkan kepada kemaslahatan bersama.

Pertarungan versi kebenaran antara pemerintah dan oposisi selalu jadi 
penjumlahan akhir dengan hasil mana yang paling benar dan cocok dengan 
kepentingan rakyat luas. Oleh sebab itulah, sekalipun kedudukan dan sifatnya 
sangat diperlukan, devil's advocate senantiasa dianggap mengganggu dan 
mengancam.

Namun, dengan meniadakan oposisi, bahaya lain sedang mengancam. Nicos 
Poulantzas (1970) pernah memperkenalkan istilah statolatry untuk menunjuk 
keadaan di mana seluruh komponen, faksi, dan kelompok rakyat sedang melakukan 
ritual "pemberhalaan negara". Dalam kondisi kekuasaan yang normal, ambisi untuk 
memberhalakan diri nyaris selalu ada, tetapi itu bergantung pada sampai 
seberapa kuat kedudukan kelompok oposisi dalam konstelasi kekuasaan.

Maka, pemberhalaan itu hanya mungkin terjadi manakala negara telah berhasil 
sepenuh-penuhnya menjinakkan oposisi. Tipikal negara semacam ini sangat khas 
menggunakan cara-cara otoritarian-fasistik, model yang sangat mirip telah 
dipraktikkan di Indonesia oleh Orde Baru.

Ancaman terhadap penumpang kapal koalisi karena sikap kritisnya mungkin masih 
jauh untuk disebut otoriter. Namun, menihilkan kritisisme politik dalam situasi 
di mana persoalan Century tak kunjung terang adalah tanda-tanda dari pemerintah 
untuk melakukan salah satu fase saja untuk menuju pada situasi statolatry. Ada 
kecenderungan untuk menjinakkan suara-suara nyaring dan mengancam agar kembali 
patuh kepada arah komitmen politik yang telah diteken. Dengan mematuhi komitmen 
itulah, statolatry tetap dapat dijamin, pemberhalaan negara tetap dapat dijaga 
keberlangsungannya.

Sebab itulah, begitu istilah pemakzulan memenuhi telinga publik, penguasa 
demikian gusarnya. Pemakzulan atau impeachment tidak lain adalah sinonim dari 
anti-statolatry yang memunculkan destabilitas di kalangan elite politik secara 
umum dan lingkaran penguasa secara khusus. Tentu saja isu pemakzulan harus 
ditebang demi kontinuitas kekuasaan, sekalipun untuk memastikannya harus 
diundang seluruh pimpinan lembaga tinggi negara guna mendiskusikan apa dan 
bagaimana pemakzulan itu dapat terjadi.

Logika dan langkah pemerintah belakangan ini yang sangat reaktif terhadap 
seluruh sikap kritis atas dirinya semakin tampak tatkala demonstrasi yang "baik 
dan benar" dimasukkan dalam pokok bahasan evaluasi kebijakan seratus hari di 
Istana Cipanas.

"Statolatry" dua zaman

Dapatlah ditimbang betapa gundahnya Presiden terhadap pelbagai gerakan sosial 
ataupun gerakan politik yang memojokkan dirinya. Bagus Takwin dalam koran ini 
(Kompas, 05/02/10) telah mengkajinya dengan pendekatan psikologis terhadap apa 
yang hari-hari ini mengendap dan berkecamuk dalam diri personalitas Presiden.

Akan tetapi, justru inilah perbedaan ciri antara statolatry di era Orde Baru 
dengan pasca-Reformasi.

Pada era Orba, pemberhalaan kepada negara dikerucutkan sampai kepada Soeharto 
sebagai simbol dari negara itu sendiri. Oleh sebab itu, bukan saja kesempurnaan 
negara yang ditonjolkan dengan ciri yang selalu mengedepankan keamanan dan 
stabilitas nasional, tetapi juga kesempurnaan dalam diri Presiden Soeharto yang 
memerlukan lampu sorot agar terus dilihat sebagai berhala.

Kesempurnaan dan kharisma Soeharto harus terus-menerus dipancarkan, tanpa 
sekalipun melakukan keluhan atau mengumbar "curahan hati" kepada rakyat. Dengan 
performa yang telah dipoles agar tampak paripurna itulah pemberhalaan kepada 
negara dapat juga diarahkan kepada dirinya sendiri.

Berbeda dengan Orde Baru dan Soeharto; SBY yang oleh ahli komunikasi politik 
dipandang terlampau rajin mengumbar keluhan justru menampakkan ketidaksiapannya 
dalam mewujudkan statolatry total kepada dirinya sendiri. Performa politiknya 
yang belakangan ini dipersoalkan telah menurunkan kepercayaan dirinya sehingga 
daftar keluhannya lebih berarti inferioritas di mata publik.

Maka, dengan gagalnya pemerintah mempertahankan performa dan kesempurnaannya di 
mata rakyat, jalan ancam-mengancam untuk menarik kembali jatah "kue koalisi" 
adalah logika yang paling mungkin diambil untuk tetap mempertahankan statolatry.

Apabila evaluasi kabinet betul-betul menghasilkan reshuffle, kian 
terang-benderang pula ketakutan pemerintah terhadap peningkatan pembangkangan 
politik (political disobedience) dan melemahnya kharisma pemerintah agar pantas 
diberhalakan. Dalam beberapa hari ke depan, akan terlihat apakah keputusan 
politik reshuffle memang diambil sebagai jalan pintas untuk menegakkan kembali 
cita-cita menjadikan negara sebagai obyek pemberhalaan, ataukah keputusan lain 
yang lebih elegan dan menerima cara-cara baru dalam membina iklim demokrasi 
yang baik.

Rendy Pahrun Wadipalapa

Staf Peneliti pada

Lingkar Studi Media dan Budaya Surabaya

Kirim email ke