peternakan yang menggunakan pastur based system memang memakan lahan yang luas kalau banyak hutan ditebang untuk dijadikan lahan penggembalaan, pastinya aka mempengaruhi
:) http://www.facebook.com/pages/Hari-Purwanto-the-Novelist/278597624660?ref=mf --- In Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com, Win Wan Nur <winwan...@...> wrote: > > Belakangan ini Global Warming benar-benar telah menjadi isu dunia dan dengan > sukses telah menyebarkan ketakutan yang mendalam bagi penduduk planet ini. > > Kampanye besar-besaran yang sedemikian massif tentang tema ini dengan sukses > menjadikan tema Global Warming ini sedemikian seksi dan menarik, sehingga isu > ini pun menjadi barang dagangan yang sangat laku. Ketakutan manusia yang > begitu besar terhadap tema isu pemanasan global ini membuat kampanye apapun > mengenai tema ini begitu laku dijual. Begitu menakutkannya tema ini sampai > bahkan ada yang menolak pembangunan PLTA di kampung saya, karena ditakutkan > akan mempercepat terjadinya global warming. > > Contoh lain tentang betapa menarik dan seksinya tema Global Warming ini saya > saksikan beberapa waktu yang lalu, ketika saya beserta anak dan istri saya > berbelanja di Carrefour. Saat itu, di sana saya menyaksikan sebuah counter > WWF (World Wide Fund), sebuah NGO lingkungan yang sangat gencar > mengkampanyekan bahaya Global Warming. Di counter tersebut, WWF menempatkan > personelnya yang bersikap seperti pengemis dan bertindak seperti SPG rokok > mendekati setiap pengunjung pusat perbelanjaan ini yang terlihat perlente, > untuk dimintai uang sebagai yang katanya akan digunakan untuk menanam pohon > sebagai usaha untuk mencegah terjadinya Global Warming. > > Gencarnya kampanye pencegahan Global Warming ini tampak begitu > menginternasional sampai terkadang terlihat konyol, karena isu yang mereka > usung seringkali tidak sesuai dengan keadaan di tempat dimana isu tersebut > dikampanyekan. > > Seminggu yang lalu saya mendarat di Bandara Adi Sucipto Jogjakarta. > > Seperti biasa turun dari pesawat saya masuk ke ruang klaim bagasi, dan di > sana, seperti biasa ada banyak papan reklame yang mempromosikan berbagai > produk atau ide. > > Salah satu papan reklame itu sangat menarik perhatian saya, karena berisi > kampanye pencegahan Global Warming. Papan reklame ini menarik bukan karena > isinya yang cerdas, tapi sebaliknya karena konyol. > > Reklame ini mengusung tema, Be Veg, Go Green yang dikampanyekan oleh SOS, > yang sepertinya adalah sebuah NGO. > > Dalam papan reklame ini dengan gaya komunikasi yang provokatif, orang yang > membaca papan reklame ini digiring perhatiannya untuk mengkhawatirkan global > Warming. Di papan ini dengan mencolok digambarkan bahwa jauh lebih banyak > polusi yang diakibatkan perilaku mengkonsumsi produk dari hewan ternak > dibandingkan polusi yang dihasilkan oleh semua moda transportasi yang > digabungkan secara keseluruhan. > > Papan reklame ini sangat cocok kalau dipasang di bandara yang terletak di > sebuah kota di Eropa Barat atau Amerika Utara, karena pada kenyataanya mereka > di sana memang mengkonsumsi banyak sekali daging yang dihasilkan oleh > industri peternakan. Pada tanggal 25 Mei 2009, seorang pemerhati masalah > global Warming bernama Meg Wolff menulis sebuah artikel > http://www.fenceviewer.com/site/index.php?option=com_myblog&show=Help-Stop-Global-Warming-By-Decreasing-Animal-Consumption.html&Itemid=81 > berjudul "Help Stop Global Warming By Decreasing Animal Consumption" > > Dalam artikel ini Meg Wolff mengutip ucapan Kathy Freston dari Quantum > Wellness Cleanse yang menyebutkan kalau kita bisa membuat sebuah efek besar > (mengurangi Global Warming) dengan meninggalkan perilaku mengkonsumsi makanan > hewani. > > Kathy mengatakan âlebih dari 90% lahan Amazon yang ditebangi sejak 1970 > digunakan oleh industri daging. Oleh pelaku industri daging, lahan Amazon > yang ditebangi itu digunakan sebagai lahan penggembalaan atau ditanami rumput > sebagai pakan ternak. Ketika pohon ditebang dan kemudian dibakar untuk > membersihkan lahan, ada sejumlah besar karbon dioksida yang dilepaskan ke > udara yang berkontribusi terhadap pemanasan global". > > Kemudian sebuah penelitian yang dilakukan oleh T Collin pada tahun 2009, > menemukan bahwa 50% gas rumah kaca diproduksi di lahan peternakan. Sekitar > 2/3 produk pertanian dikonsumsi oleh hewan ternak, sementara yang dikonsumsi > manusia hanya 1/3 nya saja. > > Untuk mengatatasi masalah itu, Quantum Wellness Cleanse menyarankan > orang-orang untuk tidak mengkonsumsi daging selama 21 hari selama sebulan, > atau setidaknya tidak mengkonsumsi daging dan produk susu sekali atau dua > kali seminggu. > > Jadi berdasarkan pada penjelasan ini, memang masalah daging dan produk hewan > ini adalah masalah besar di negara-negara maju yang tingkat kesejahteraannya > sudah tinggi. > > Tapi benarkah konsumsi daging dan produk hewan juga merupakan masalah di > nusantara ini?...Ternyata jawabannya tidak. > > Di Indonesia peternakan sapi belum menjadi Industri, penggemukan sapi masih > menjadi usaha rumahan. Ayam memang sudah mulai diternakkan secara > besar-besaran. Tapi secara umum, bagi kebanyakan orang Indonesia, produk > daging, susu dan segala turunannya seperti keju, mentega dan yoghurt bahkan > ikan segar pun masih dipandang sebagai makanan mewah. Sehingga masalah yang > dialami oleh masyarakat Indonesia soal konsumsi produk hewan ini justru > berkebalikan dengan apa yang dialami oleh negara-negara maju. > > Alih-alih terlalu banyak mengkonsumsi daging dan produk asal hewan lainnya, > Indonesia malah termasuk negara yang sangat rendah tingkat konsumsi daging > dan berbagai produk asal hewan lainnya. > > Dalam sebuah artikel di republika, > http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1127803684,20317, > Rochadi Tawaf, Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen daging sapi dan Fitlot > Indonesia (APFINDO) mengatakan bahwa konsumsi protein hewani masyarakat > Indonesia masih di bawah standar yang ditetapkan oleh FAO. > > Menurut Rochadi Tawaf, standar yang ditetapkan oleh FAO, konsumsi protein > hewani bangsa Indonesia minimal sebesar 6 gr/kapita/hari. Namun, saat ini > masyarakat di Indonesia baru mengonsumsi protein hewani sebanyak 4,19 > gr/kapita/hari. ''Karena baru mencapai 4,19 gr/kapita/hari, itu artinya > berdasarkan norma gizi minimal bangsa ini baru mengkonsumsi 69,8 persen > protein hewani. > > Bahkan kalau konsumsi daging itu lebih dikhususkan lagi menjadi daging sapi, > maka konsumsinya hanya 1,7 kg/kapita/tahun. > > Padahal seharusnya standar konsumsi protein hewani minimal sebesar 6 > gr/kapita/hari itu, setara dengan konsumsi daging sebanyak 10,1 kg, telur 3,5 > kg, dan susu 6,4 kg/kapita/tahun. > > Saat ini, masyarakat Indonesia baru bisa memenuhi konsumsi daging sebanyak > 5,25 kg, telur 3,5 kg, dan susu 5,5 kg/kapita/tahun. ''Protein hewani itu > dibutuhkan manusia dan tidak bisa digantikan fungsi maupun perannya oleh > jenis protein lain, sebab protein hewani memiliki asam amino esensial. > > Protein hewani itu, diperlukan untuk menciptakan masyarakat yang cerdas dan > sehat dan hanya dengan memenuhi standar norma gizi minimal (yang artinya > cukup mengkonsumsi protein hewani) akan terbentuk masyarakat yang sehat dan > cerdas. > > Lalu bagaimana dengan masalah Global Warming?. > > Akibat banyaknya berita dan informasi soal global warming yang ditampilkan > media, banyak orang yang menduga kalau panasnya suhu belakangan ini > disebabkan oleh terjadinya Global Warming. Padahal faktanya panasnya suhu > Bumi belakangan ini ternyata disebabkan oleh meningkatnya aktivitas matahari > (baca: > http://id.news.yahoo.com/dtik/20100304/tpl-lapan-badai-matahari-terjadi-antara-b28636a.html). > > > Di dunia para ilmuwan, sebenarnya sudah banyak yang mencurigai kalau isu > Global Warming ini tidak lain hanyalah dongeng yang diciptakan sebagian orang > karena alasan uang. Ketakutan orang soal Global Warming ini telah dijadikan > peluang bisnis yang besar bagi sebagian orang lain yang punya naluri bisnis > yang luar biasa. > > Salah seorang yang terang-terangan menyatakan kecurigaan tentang isu Global > Warming ini adalah Claude Allegre, seorang ahli geofisika paling terkemuka di > Perancis anggota partai sosialis Perancis yang pernah menjabat sebagai > menteri ministre de la recherche et académicien. > > Allegre yang merupakan anggota Akademi Sains Perancis dan sekaligus Amerika > telah menulis lebih dari 100 artikel ilmiah, menulis 11 buku yang mendapat > berbagai penghargaan ilmiah di bidang sains, termasuk salah satunya > Goldschmidt Medal dari masyarakat Geokimia Amerika. > > Pada tanggal 21 September 2006, Claude Alegre menulis sebuah artikel > http://www.fahayek.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1179&Itemid=1 > di koran Perancis L'Express yang dia beri judul "Neiges du Kilimandjaro" . > > Dalam artikel yang dia tulis ini Claude Allegre mengatakan kalau penyebab > sebenarnya dari perubahan iklim sama sekali belum diketahui (tidak seperti > yang selama ini diyakini orang bahwa perubahan iklim itu disebabkan oleh gas > rumah kaca), apakah itu disebabkan oleh alam ataukah disebabkan oleh manusia. > > Tulisan ini muncul sebagai reaksi atas foto terkenal yang dipotret oleh Yann > Arthus-Bertrand yang menggambarkan menyusutnya lapisan es di puncak gunung > Kilimanjaro yang langsung diikuti dengan berbagai cerita klise tentang Global > Warming. Padahal pada saat yang sama di berbagai majalah dan jurnal ilmiah, > dimuat artikel yang ditulis oleh banyak ahli Glaciologi (ahli tentang es) > menunjukkan kalau massa glasier di antartika tetap seimbang dan sama sekali > tidak berubah selama 30 tahun terakhir. > > Ada satu poin yang menjadi konsensus bersama di antara para ahli, bahwa jika > Global Warming memang terjadi, maka efeknya akan lebih banyak terjadi di > kutub dibandingkan di Khatulistiwa. > > Jadi kalau ingin mengetahui apakah Global Warming itu ada atau tidak, maka > yang perlu diteliti adalah wilayah kutub bukan Khatulistiwa. Karena itulah > para ahli klimatologi banyak melakukan penelitian di daerah kutub. > > Ketika para ahli yang menulis berbagai jurnal ilmiah ini meneliti kawasan > kutub, mereka memang menemukan fakta banyaknya es yang mencair di antartika, > tapi pada saat bersamaan ada lapisan es yang bertambah tebal di tempat lain. > > Karena fakta itulah, bukan tanpa alasan ketika di bagian akhir artikelnya ini > Claude Allegre mengatakan "Toutefois, comme ce n'est pas à la mode, on reste > passif. En attendant, l'écologie de l'impuissance protestataire est devenue > un business très lucratif pour quelques-uns!", yang dalam bahasa Indonesia > kurang lebih berarti, " Ketika ini (penyebab terjadinya perubahan iklim) > tidak menjadi trend, kita tetap bersikap pasif. Sementara itu (di luar sana), > (ketika marak) Protes tentang Lingkungan yang tidak tertolong lagi, (isu ini) > telah menjadi sebuah bisnis yang menggiurkan bagi sebagian orang" > > Jadi, karena itulah kalau ada orang yang demikian ketakutan dengan isu global > warming, saya menganggap itu sekedar sebuah kepercayaan, dan yang namanya > kepercayaan itu adalah hak asasi. > > Cuma jangan karena mentang-mentang punya kepercayaan seperti itu lalu latah > membuat berbagai kampanye untuk menakut-nakuti orang dengan tema yang di > copy-paste dari barat, karena kenyataannya, masalah yang kita hadapi di sini > sangat berbeda, bahkan berkebalikan dengan masalah yang ada di barat. > > Wassalam > > Win Wan Nur > Anggota Luar Biasa UKM-PA Leuser Unsyiah > > www.winwannur.blog.com > www.winwannur.blogspot.com > > > Notes : Pada tanggal 2 Oktober, 2006, Artikel Claude Allegre yang dimuat oleh > L'Express ini mendapat sanggahan dari sekelompok ahli, yang mengirimkan > sanggahan atas informasi yang disampaikan oleh Claude Allagre > > Mereka yang menyanggah ini adalah : > > Paul Duval, Direktur Riset CNRS, Laboratoire de Glaciologie et de > Géophysique de lâEnvironnement (LGGE) di Saint-Martin dâHères. > > Michel Fily, Dosen di Universitas Joseph Fourier, Direktur LGGE > > Jean Jouzel, Direktur Riset CEA, Direktur Institut Paul- Simon Laplace (IPSL) > > Valérie Masson, Peneliti CEA, yang bertanggung jawab dalam bidang Glasiologi > pada Laboratoire des Sciences du Climat et de lâEnvironnement (LSCE) di > Saclay > > Dominique Raynaud*, Direktur Riset CNRS, Laboratoire de Glaciologie et de > Géophysique de lâEnvironnement (LGGE) > > Thomas Stocker, Dosen Pengajar di Universitas Berne (Swiss), Direktur pada > Laboratorium Fisika Iklim dan Lingkungan. > > Bantahan mereka dikirimkan ke L'Express dengan berbagai data bantahan yang > lengkapnya bisa dibaca di sini > http://www-lgge.ujf-grenoble.fr/actu/Reponse-Allegre.pdf > > > > > [Non-text portions of this message have been removed] >