Winwannur,

separo awal tulisan anda sesuai dengan judulnya,
separo akhir tulisan anda menjelaskan bahwa global warming adalah nonsense 
terbesar umat manusia abad ini? CMIIW..
jadi maksud anda, it's okay untuk terus terusan memompakan CO2 dengan kadar 
yang masif ke atmosfer kita, bisa dari pembakaran batubara untuk pembangkit 
listrik, dari asap-asap kendaraan, dan tentu saja, rekor dunia kita, dari 
pembakaran hutan?
dan kita tak perlu khawatir akan adanya dampak buruk dari perilaku kita ini?

Terimakasih,

Manung

--- In Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com, Win Wan Nur <winwan...@...> wrote:
>
> Belakangan ini Global Warming benar-benar telah menjadi isu dunia dan dengan 
> sukses telah menyebarkan ketakutan yang mendalam bagi penduduk planet ini.
> 
> Kampanye besar-besaran yang sedemikian massif tentang tema ini dengan sukses 
> menjadikan tema Global Warming ini sedemikian seksi dan menarik, sehingga isu 
> ini pun menjadi barang dagangan yang sangat laku. Ketakutan manusia yang 
> begitu besar terhadap tema isu pemanasan global ini membuat kampanye apapun 
> mengenai tema ini begitu laku dijual. Begitu menakutkannya tema ini sampai 
> bahkan ada yang menolak pembangunan PLTA di kampung saya, karena ditakutkan 
> akan mempercepat terjadinya global warming.
> 
> Contoh lain tentang betapa menarik dan seksinya tema Global Warming ini saya 
> saksikan beberapa waktu yang lalu, ketika saya beserta anak dan istri saya 
> berbelanja di Carrefour. Saat itu, di sana saya menyaksikan sebuah counter 
> WWF (World Wide Fund), sebuah NGO lingkungan yang sangat gencar 
> mengkampanyekan bahaya Global Warming. Di counter tersebut, WWF menempatkan 
> personelnya yang bersikap seperti pengemis dan bertindak seperti SPG rokok 
> mendekati setiap pengunjung pusat perbelanjaan ini yang terlihat perlente, 
> untuk dimintai uang sebagai yang katanya akan digunakan untuk menanam pohon 
> sebagai usaha untuk mencegah terjadinya Global Warming.
> 
> Gencarnya kampanye pencegahan Global Warming ini tampak begitu 
> menginternasional sampai terkadang terlihat konyol, karena isu yang mereka 
> usung seringkali tidak sesuai dengan keadaan di tempat dimana isu tersebut 
> dikampanyekan.
> 
> Seminggu yang lalu saya mendarat di Bandara Adi Sucipto Jogjakarta. 
> 
> Seperti biasa turun dari pesawat saya masuk ke ruang klaim bagasi, dan di 
> sana, seperti biasa ada banyak papan reklame yang mempromosikan berbagai 
> produk atau ide.
> 
> Salah satu papan reklame itu sangat menarik perhatian saya, karena berisi 
> kampanye pencegahan Global Warming. Papan reklame ini menarik bukan karena 
> isinya yang cerdas, tapi sebaliknya karena konyol.
> 
> Reklame ini mengusung tema, Be Veg, Go Green yang dikampanyekan oleh SOS, 
> yang sepertinya adalah sebuah NGO.
> 
> Dalam papan reklame ini dengan gaya komunikasi yang provokatif, orang yang 
> membaca papan reklame ini digiring perhatiannya untuk mengkhawatirkan global 
> Warming. Di papan ini dengan mencolok digambarkan bahwa jauh lebih banyak 
> polusi yang diakibatkan perilaku mengkonsumsi produk dari hewan ternak 
> dibandingkan polusi yang dihasilkan oleh semua moda transportasi yang 
> digabungkan secara keseluruhan.
> 
> Papan reklame ini sangat cocok kalau dipasang di bandara yang terletak di 
> sebuah kota di Eropa Barat atau Amerika Utara, karena pada kenyataanya mereka 
> di sana memang mengkonsumsi banyak sekali daging yang dihasilkan oleh 
> industri peternakan. Pada tanggal 25 Mei 2009, seorang pemerhati masalah 
> global Warming bernama Meg Wolff menulis sebuah artikel 
> http://www.fenceviewer.com/site/index.php?option=com_myblog&show=Help-Stop-Global-Warming-By-Decreasing-Animal-Consumption.html&Itemid=81
>  berjudul "Help Stop Global Warming By Decreasing Animal Consumption" 
> 
> Dalam artikel ini Meg Wolff mengutip ucapan  Kathy Freston dari Quantum 
> Wellness Cleanse yang menyebutkan kalau kita bisa membuat sebuah efek besar 
> (mengurangi Global Warming) dengan meninggalkan perilaku mengkonsumsi makanan 
> hewani.
> 
> Kathy mengatakan “lebih dari 90% lahan Amazon yang ditebangi sejak 1970 
> digunakan oleh industri daging. Oleh pelaku industri daging,  lahan Amazon 
> yang ditebangi itu digunakan sebagai lahan penggembalaan atau ditanami rumput 
> sebagai pakan ternak. Ketika pohon ditebang dan kemudian dibakar untuk 
> membersihkan lahan, ada sejumlah besar karbon dioksida yang dilepaskan ke 
> udara yang berkontribusi terhadap pemanasan global".
> 
> Kemudian sebuah penelitian yang dilakukan oleh T Collin pada tahun 2009, 
> menemukan bahwa 50%  gas rumah kaca diproduksi di lahan peternakan. Sekitar 
> 2/3 produk pertanian dikonsumsi oleh hewan ternak, sementara yang dikonsumsi 
> manusia hanya 1/3 nya saja.
> 
> Untuk mengatatasi masalah itu, Quantum Wellness Cleanse menyarankan 
> orang-orang untuk tidak mengkonsumsi daging selama 21 hari selama sebulan, 
> atau setidaknya tidak mengkonsumsi daging dan produk susu sekali atau dua 
> kali seminggu.
> 
> Jadi berdasarkan pada penjelasan ini, memang masalah daging dan produk hewan 
> ini adalah masalah besar di negara-negara maju yang tingkat kesejahteraannya 
> sudah tinggi.
> 
> Tapi benarkah konsumsi daging dan produk hewan juga merupakan masalah di 
> nusantara ini?...Ternyata jawabannya tidak.
> 
> Di Indonesia peternakan sapi belum menjadi Industri, penggemukan sapi masih 
> menjadi usaha rumahan. Ayam memang sudah mulai diternakkan secara 
> besar-besaran. Tapi secara umum, bagi kebanyakan orang Indonesia, produk 
> daging, susu dan segala turunannya seperti keju, mentega dan yoghurt bahkan 
> ikan segar pun masih dipandang sebagai makanan mewah. Sehingga masalah yang 
> dialami oleh masyarakat Indonesia soal konsumsi produk hewan ini justru 
> berkebalikan dengan apa yang dialami oleh negara-negara maju.
> 
> Alih-alih terlalu banyak mengkonsumsi daging dan produk asal hewan lainnya, 
> Indonesia malah termasuk negara yang sangat rendah tingkat konsumsi daging 
> dan berbagai produk asal hewan lainnya. 
> 
> Dalam sebuah artikel di republika, 
> http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1127803684,20317, 
> Rochadi Tawaf, Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen daging sapi dan Fitlot 
> Indonesia (APFINDO) mengatakan bahwa konsumsi protein hewani masyarakat 
> Indonesia masih di bawah standar yang ditetapkan oleh FAO.
> 
> Menurut Rochadi Tawaf, standar yang ditetapkan oleh FAO, konsumsi protein 
> hewani bangsa Indonesia minimal sebesar 6 gr/kapita/hari. Namun, saat ini 
> masyarakat di Indonesia baru mengonsumsi protein hewani sebanyak 4,19 
> gr/kapita/hari. ''Karena baru mencapai 4,19 gr/kapita/hari, itu artinya 
> berdasarkan norma gizi minimal bangsa ini baru mengkonsumsi 69,8 persen 
> protein hewani.
> 
> Bahkan kalau konsumsi daging itu lebih dikhususkan lagi menjadi daging sapi, 
> maka konsumsinya hanya 1,7 kg/kapita/tahun.
> 
> Padahal seharusnya standar konsumsi protein hewani minimal sebesar 6 
> gr/kapita/hari itu, setara dengan konsumsi daging sebanyak 10,1 kg, telur 3,5 
> kg, dan susu 6,4 kg/kapita/tahun. 
> 
> Saat ini, masyarakat Indonesia baru bisa memenuhi konsumsi daging sebanyak 
> 5,25 kg, telur 3,5 kg, dan susu 5,5 kg/kapita/tahun. ''Protein hewani itu 
> dibutuhkan manusia dan tidak bisa digantikan fungsi maupun perannya oleh 
> jenis protein lain, sebab protein hewani memiliki asam amino esensial. 
> 
> Protein hewani itu, diperlukan untuk menciptakan masyarakat yang cerdas dan 
> sehat dan hanya dengan memenuhi standar norma gizi minimal (yang artinya 
> cukup mengkonsumsi protein hewani) akan terbentuk masyarakat yang sehat dan 
> cerdas.
> 
> Lalu bagaimana dengan masalah Global Warming?. 
> 
> Akibat banyaknya berita dan informasi soal global warming yang ditampilkan 
> media, banyak orang yang menduga kalau panasnya suhu belakangan ini 
> disebabkan oleh terjadinya Global Warming.  Padahal faktanya panasnya suhu 
> Bumi belakangan ini ternyata disebabkan oleh meningkatnya aktivitas matahari 
> (baca: 
> http://id.news.yahoo.com/dtik/20100304/tpl-lapan-badai-matahari-terjadi-antara-b28636a.html).
>  
> 
> Di dunia para ilmuwan, sebenarnya sudah banyak yang mencurigai kalau isu 
> Global Warming ini tidak lain hanyalah dongeng yang diciptakan sebagian orang 
> karena alasan uang. Ketakutan orang soal Global Warming ini telah dijadikan 
> peluang bisnis yang besar bagi sebagian orang lain yang punya naluri bisnis 
> yang luar biasa.
> 
> Salah seorang yang terang-terangan menyatakan kecurigaan tentang isu Global 
> Warming ini adalah Claude Allegre, seorang ahli geofisika paling terkemuka di 
> Perancis anggota partai sosialis Perancis yang pernah menjabat sebagai 
> menteri ministre de la recherche et académicien.
> 
> Allegre yang merupakan anggota Akademi Sains Perancis dan sekaligus Amerika 
> telah menulis lebih dari 100 artikel ilmiah, menulis 11 buku yang mendapat 
> berbagai penghargaan ilmiah di bidang sains, termasuk salah satunya 
> Goldschmidt Medal dari masyarakat Geokimia Amerika. 
> 
> Pada tanggal 21 September 2006, Claude Alegre menulis sebuah artikel 
> http://www.fahayek.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1179&Itemid=1
>  di koran Perancis L'Express yang dia beri judul "Neiges du Kilimandjaro" .
> 
> Dalam artikel yang dia tulis ini Claude Allegre mengatakan kalau penyebab 
> sebenarnya dari perubahan iklim sama sekali belum diketahui (tidak seperti 
> yang selama ini diyakini orang bahwa perubahan iklim itu disebabkan oleh gas 
> rumah kaca), apakah itu disebabkan oleh alam ataukah disebabkan oleh manusia.
> 
> Tulisan ini muncul sebagai reaksi atas foto terkenal yang dipotret oleh Yann 
> Arthus-Bertrand yang menggambarkan menyusutnya lapisan es di puncak gunung 
> Kilimanjaro yang langsung diikuti dengan berbagai cerita klise tentang Global 
> Warming. Padahal pada saat yang sama di berbagai majalah dan jurnal ilmiah, 
> dimuat artikel yang ditulis oleh banyak ahli Glaciologi (ahli tentang es) 
> menunjukkan kalau massa glasier di antartika tetap seimbang dan sama sekali 
> tidak berubah selama 30 tahun terakhir. 
> 
> Ada satu poin yang menjadi konsensus bersama di antara para ahli, bahwa jika 
> Global Warming memang terjadi, maka efeknya akan lebih banyak terjadi di 
> kutub dibandingkan di Khatulistiwa. 
> 
> Jadi kalau ingin mengetahui apakah Global Warming itu ada atau tidak, maka 
> yang perlu diteliti adalah wilayah kutub bukan Khatulistiwa. Karena itulah 
> para ahli klimatologi banyak melakukan penelitian di daerah kutub.
> 
> Ketika para ahli yang menulis berbagai jurnal ilmiah ini meneliti kawasan 
> kutub, mereka memang menemukan fakta banyaknya es yang mencair di antartika, 
> tapi pada saat bersamaan ada lapisan es yang bertambah tebal di tempat lain.
> 
> Karena fakta itulah, bukan tanpa alasan ketika di bagian akhir artikelnya ini 
> Claude Allegre mengatakan "Toutefois, comme ce n'est pas à la mode, on reste 
> passif. En attendant, l'écologie de l'impuissance protestataire est devenue 
> un business très lucratif pour quelques-uns!", yang dalam bahasa Indonesia 
> kurang lebih berarti, " Ketika ini (penyebab terjadinya perubahan iklim) 
> tidak menjadi trend, kita tetap bersikap pasif. Sementara itu (di luar sana), 
> (ketika marak) Protes tentang Lingkungan yang tidak tertolong lagi, (isu ini) 
> telah menjadi sebuah bisnis yang menggiurkan bagi sebagian orang"
> 
> Jadi, karena itulah kalau ada orang yang demikian ketakutan dengan isu global 
> warming, saya menganggap itu sekedar sebuah kepercayaan, dan yang namanya 
> kepercayaan itu adalah hak asasi. 
> 
> Cuma jangan karena mentang-mentang punya kepercayaan seperti itu lalu latah 
> membuat berbagai kampanye untuk menakut-nakuti orang  dengan tema yang di 
> copy-paste dari barat, karena kenyataannya, masalah yang kita hadapi di sini 
> sangat berbeda, bahkan berkebalikan dengan masalah yang ada di barat.
> 
> Wassalam
> 
> Win Wan Nur
> Anggota Luar Biasa UKM-PA Leuser Unsyiah
> 
> www.winwannur.blog.com
> www.winwannur.blogspot.com
> 
> 
> Notes : Pada tanggal 2 Oktober, 2006, Artikel Claude Allegre yang dimuat oleh 
> L'Express ini mendapat sanggahan dari sekelompok ahli, yang mengirimkan 
> sanggahan atas informasi yang disampaikan oleh Claude Allagre
> 
> Mereka yang menyanggah ini adalah :
> 
> Paul Duval, Direktur Riset CNRS, Laboratoire de Glaciologie et de 
> Géophysique de l’Environnement (LGGE) di Saint-Martin d’Hères.
> 
> Michel Fily, Dosen di Universitas Joseph Fourier, Direktur LGGE
> 
> Jean Jouzel, Direktur Riset CEA,  Direktur Institut Paul- Simon Laplace (IPSL)
> 
> Valérie Masson, Peneliti CEA, yang bertanggung jawab dalam bidang Glasiologi 
> pada Laboratoire des Sciences du Climat et de l’Environnement (LSCE)  di 
> Saclay
> 
> Dominique Raynaud*, Direktur Riset CNRS, Laboratoire de Glaciologie et de 
> Géophysique de l’Environnement (LGGE)
> 
> Thomas Stocker, Dosen Pengajar di Universitas  Berne (Swiss), Direktur pada 
> Laboratorium Fisika Iklim dan Lingkungan.
> 
> Bantahan mereka dikirimkan ke L'Express dengan berbagai data bantahan yang 
> lengkapnya bisa dibaca di sini 
> http://www-lgge.ujf-grenoble.fr/actu/Reponse-Allegre.pdf 
> 
> 
>       
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
>


Kirim email ke