Oleh Maria Hartiningsih dan Ahmad Arif
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0706/18/swara/3616526.htm
====================

Sepuluh tahun bukan waktu panjang bagi perjalanan sebuah gagasan,
tetapi juga bukan waktu yang pendek untuk membumikan cita-cita. Jargon
menjadi usang ketika kerja menjadi yang utama.

Sepuluh tahun juga merupakan proses transformasi. Proses itu tidak
selalu mulus, karena terutama harus berhadapan dengan suatu keyakinan
yang sudah berakar di dalam diri mengenai peran perempuan.

Djuswati Zaenal (55) adalah perempuan "biasa" yang datang ke markas
Suara Ibu Peduli (SIP) pada bulan Februari tahun 1998. Seperti banyak
perempuan lain, niat ibu empat anak itu semata-mata mendapatkan susu
dengan harga murah.

Di Megaria, Jakarta Pusat ("markas" SIP saat itu), ia berkenalan
dengan para intelektual dan aktivis yang bekerja mengatasi persoalan
ekonomi dan sosial warga, khususnya masyarakat kelas menengah bawah,
saat krisis ekonomi melanda negeri ini tahun 1997.

"Saya jadi terbuka meskipun awalnya kaget juga," ujar Bu Djuswati di
sela-sela kesibukannya menyiapkan acara peluncuran buku Di Antara
Belantara Jakarta: Pengalaman Kaum Ibu di Rempoa dan Cilandak Barat
yang ditulis para ibu SIP.

Pertemuan itu membuat dia paham bahwa kesulitan ekonomi yang dialami
keluarganya dan banyak keluarga lain bukanlah sesuatu yang apa adanya.
Secara perlahan ia memahami bahwa "politik" bukan sesuatu yang abstrak
di luar sana, melainkan sesuatu yang nyata dalam kehidupan sehari-hari
di rumah, terutama dalam hubungan dengan suami dan anak-anak.

Ia juga melakukan "pembangkangan-pembangkangan" kecil. Ketika hendak
mengirim nasi bungkus kepada mahasiswa sebagai tindakan mendukung
reformasi, ia harus menunggu sampai suaminya pergi bekerja. Sekarang,
sang suami mendukung penuh apa yang ia lakukan.

Kebaikan bersama

Bu Djuswati hanyalah satu dari ratusan ibu yang mengalami perubahan
bersama SIP yang juga berkembang. Saat ini ia memimpin Presidium Usaha
Mandiri dalam Perkumpulan SIP, bersama Bu Pujiwati di Presidium
Pendidikan dan Bu Jumenti Komalasari yang akrab disapa sebagai Bu Ari
di Presidium Administrasi dan Keuangan. Saat ini terdapat 24 kelompok
SIP di 13 wilayah di Jakarta.

Seperti dikemukakan salah satu Dewan Penasihat Perkumpulan SIP,
Karlina Supelli, kata "peduli" dipahami yang dipilih para pendiri SIP
tahun 1998 memiliki alasan strategis politis, meski tidak mengemuka
secara eksplisit karena situasi politik yang tidak memungkinkan waktu itu.

Namun, tuntutan SIP kepada pemerintah dan seruannya kepada masyarakat
yang dibacakan di Bundaran Hotel Indonesia pada tanggal 23 Februari
tahun 1998 menegaskan kegagalan pemerintah memenuhi hak-hak tersebut.

SIP mengkritisi dampak serius krisis ekonomi bagi kelanjutan
pertumbuhan anak Indonesia, kelumpuhan sistem politik dan kebijakan
ekonomi yang tidak adil serta praktiknya yang korup, dan merebaknya
kekerasan di berbagai wilayah Indonesia.

Kini, kata "peduli" dipahami oleh ibu-ibu SIP sebagai kata kunci demi
terciptanya kebaikan bersama (bonum commune), karena masyarakat
berkeadilan tak bisa dimulai jika tidak ada kepedulian.

"Sadar atau tidak, ibu-ibu SIP pasca-1999 menerapkan pemahaman bahwa
tatanan yang disebut adil dan beradab pertama-tama bukan karena ada
hukum dan kebijakan, tetapi terutama karena ada pemahaman akan
keutamaan yang membawa kebaikan bersama," ujarnya.

Dengan itu, para ibu melanjutkan semangat awal SIP. Begitu dikemukakan
Dr Toeti Herati, pemrakarsa SIP dan Dewan Penasihat Perkumpulan SIP.
Maka perjalanan SIP boleh dikatakan sebagai perjalanan komitmen.

Para ibu bersama-sama belajar dengan landasan nurani yang bersih.
"Seperti lingkaran sekolah hati," kata Dinny Yusuf, salah satu anggota
Dewan Penasihat SIP, yang bersama para ibu mengaku mengalami
transformasi di dalam dirinya.

Namun, yang menarik barangkali adalah melihat SIP sebagai gerakan yang
didefinisikan antropolog feminis Belanda, Saskia Wieringa (2000),
sebagai sesuatu yang tidak statis dan merupakan proses yang terus
dimodifikasi ketika bersinggungan dengan kehidupan sehari-hari.
Barangkali inilah yang menjelaskan mengapa para ibu SIP bekerja tanpa
kenal lelah dalam situasi-situasi darurat seperti ketika terjadi
banjir besar di Jakarta.

Sulit kader

Namun, ini juga yang sebenarnya tak mudah dipahami orang lain. Seperti
dikemukakan Bu Ari, "Kami mengalami kesulitan dalam hal pengaderan
karena banyak yang berpikir di sini ada gaji seperti di LSM lain,"
ujar Bu Ari. "Padahal kami ini relawan, tak ada gaji."

Bukan suatu kebetulan kalau para ibu ini sejak empat tahun lalu
mengembangkan sistem ekonomi "tanggung renteng" yang telah berjalan
selama puluhan tahun di Jawa Timur oleh Pusat Koperasi Wanita Jawa
Timur (Puskowanjati).

Seperti dikemukakan Karlina, sistem ini bukan hanya merupakan kegiatan
ekonomi, tetapi terutama mengembalikan sosialitas ke dalam transaksi
ekonomi yang lenyap bersama sistem perekonomian modern. Agunannya
tidak bersifat material, yang menjamin seseorang mendapat pinjaman,
melainkan kepercayaan sosial (social trust), dalam hal ini kepercayaan
kelompok. Proses penyadaran juga berlangsung di dalam
kelompok-kelompok itu.

Anggotanya sekarang sekitar 600 orang, dengan proses awal yang tidak
mudah, seperti menembus belantara. Namun, mereka pantang menyerah.
Sekarang para ibu itu berhasil merangkul banyak pihak yang dulu
memandang mereka dengan prasangka.

Dengan dana bergulir sekitar Rp 450 juta dan tunggakan nol persen,
kata Bu Ari masih banyak yang ingin bergabung, tetapi harus menunggu
dana tambahan. "Kami mengharapkan ada dana abadi supaya penerus fokus
bekerja. Dana operasi kami hanya Rp 7 juta sebulan," sambung Bu Djaswati.

Anda berminat membantu sambil ikut belajar bersama di "sekolah hati"? 

Kirim email ke