Ada dua these yang sering dipakai untuk mendiskreditkan proses demokratisasi. 1. Seperti yang diungkap disini: bagaimana berdemokrasi jika masih miskin. Amartyasen, pemenang nobel bidang ekonomi justru menemukan sebaliknya. Dari penelitian yang dilakukan secara serius di banyak negara dia justru menyimpulkan bahwa di negara yang tidak demokratislah kemiskinan itu merebak dan di negara yang demokratis kemiskinan itu dapat ditanggulangi. Mangapa, karena hanya dengan demokrasi distribusi sumber daya dapat dikontrol, hanya dengan demokrasi kepentingan kelompok lemah diberi saluran untuk diperhatikan. Dalam negara otoriter, hal tersebut tidak terjadi. 2. These kedua adalah bahwa demokrasi telah membuat proses terlalu berbelit-belit, ada intervensi dari parlemen, ada check dan rechek dari institusi publik. Ini membuat demokrasi lamban dalam menumbuhkan kesejahteraan. Kerinduan yang kemudian menggoda adalah: alangkah baiknya jika kita kembali ke pemimpin yang otoriter NAMUN YANG BAIK. Dua hal yang sebaiknya dipertimbangkan: a. Kerinduan yang model diatas , yang juga disebut benevolent authoritarianism, membuat kita manafikan pembangunan sistem dan meletakan seluruh nasib kita, pada seorang pemimpin. Ini sangat berbahaya dan biasanya tidak sustain. Seorang senior yang pernah saya wawancarai mengatakan sejak merdeka hingga kini kita masih gagal membangun sistem, entah itu sistem politik, sistem ekonomi dan sistem sosial. Itu yang coba dilakukan lagi setelah reformasi. Ada soal yang sering membuat kita marah dan rasanya mau ngamuk, namun seyogyanya itu tidak menghentikan langkah besar ini. b. Pikiran seperti diatas juga hanya meletakan demokrasi sebagai instrumen untuk mencapai kesejahteraan. Apakah demokrasi adalah hanya instrumen ? Bukankah dia juga merupakan kebutuhan ? Juga merupakan bagian dari kesejahteraan itu ? Secara simple, apakah artinya kekayaan berlimpah ruah, jika hak bersuara dihapus, kebebasan berbicara, beribadah dan berbagai mutiara yang merupakan hasil hasil demokrasi ? Saya pribadi yakin, demokrasi bukan hanya instrumen. Dan pemimpin kita yang paling sering memandang demokrasi sebagai instrumen dalam berbagai statemennya adalah Wapres Kita. Memang capai membangunnya...juga sangat capai mempertahankannya. Namun paling tidak dia adalah sistem yang paling tidak buruk dari sistem sistem lainnya (otoriter, teokrasi dll). Kita memang sangat membutuhkan seorang pemimpin demokratis yang kuat. Apa bedanya antara pemimpin demokratis yang kuat dengan pemimpin yang otoriter ? Itu yang sebaiknya kita rumuskan. Sebagaimana juga penting untuk merumuskan apa bedanya Cost Politic dan Money Politic. Salam, Irry.
Lisman Manurung <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Jika orang tengah kesulitan makanan di rumah diajak berdemokrasi, maka ia mau tidak mau akan lebih ngiler ngisi perut daripada ngisi kolom-kolom pilihannya dikertas pilkada sesuai aspirasi politiknya. Lebih dahsyat lagi, andaikata ada yang menjanjikan alternatif sepuluh piring nasi untuk satu suara, dan yang lainnya menyebut dua puluh piring, maka pilihan orang yang tengah kesulitan pangan adalah memilih si kandidat partai yang memberikan duapuluh piring. Demokrasi di tengah masyarakat yang tergencet kesulitan pangan adalah dillema. Oleh sebab itu hal ini harus ditelaah dengan serius oleh para pengkaji. --- Agus Hamonangan <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0706/17/utama/3617021.htm