Oleh Abun Sanda http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0706/29/Properti/3634501.htm ======================
Bangunan gedung-gedung di Kampus Universitas Pelita Harapan di Karawaci, Tangerang, dibangun dengan gaya arsitektur menawan. Sebagian gedung "bergaya Amerika Serikat", sebagian lagi menggunakan sistem pencahayaan dari langit, dan menggabungkan gaya minimalis dengan gaya tropikal modern. Pintu dan jendela ditopang oleh bukaan-bukaan besar. Hal lain yang menawan, semua wilayah kampus diapit dan diisi kawasan hijau. Pohon di mana-mana, tinggi lebat hijau. Beberapa wilayah gedung dibiarkan terbuka sehingga sejuk angin leluasa menyelusup ke kawasan mahasiswa belajar. Di sejumlah tempat tampak sumur resapan. Ini menyebabkan air hujan yang tumpah dari langit leluasa berlabuh ke perut bumi. Tentu bukan hanya Universitas Pelita Harapan yang melakukan hal ini. Banyak kampus lain melakukannya, seperti Universitas Ciputra di Surabaya, Kampus Universitas Indonesia Depok, dan Universitas Hasanuddin di Makassar. Perguruan tinggi yang disebut terakhir bahkan bukan saja membangun kawasan hijau, tetapi juga membangun danau belasan hektar sehingga air hujan yang tidak mengalir ke sumur resapan dapat mengalir ke danau buatan itu. Inilah salah satu karya besar green peacer yang pernah menjabat Rektor Universitas Hasanuddin, Prof Dr Achmad Amiruddin Pabittei (1973-1982). Amiruddin terkenal dengan ucapannya, "Siapa yang meniru, tidak akan berjalan di depan." Maka, ia selalu berjalan di depan dengan pelbagai gagasannya, termasuk kampus hijau tersebut, kompleks perkantoran Gubernur Sulawesi Selatan, dan kawasan khusus olahraga Sudiang. Denda Hal yang patut dicatat dari masalah ini ialah setiap lembaga mempunyai cara menarik untuk melestarikan lingkungan. Untuk mendapat kejelasan tentang cara dan langgam penanganannya, tulisan kali ini mengungkapkan langgam Grup Lippo menangani lingkungan dan gaya persuasif yang dilakukan agar anak muda melihat lingkungan dengan sorot simpati. Kepada Kompas di Kampus Universitas Pelita Harapan (UPH), Pemimpin Grup Lippo James Tjahaja Riady menyatakan, ia menyukai lingkungan sejak kecil, dan kesukaan itu menjadi makin dalam tatkala ia bersekolah di Amerika Serikat. Ketika membantu ayahnya membangun Lippo Karawaci dan UPH, James sejak awal sudah menekankan prinsip kawasan hijau. Lebih dari separuh kawasan Lippo Karawaci harus berwujud kawasan terbuka hijau. Artinya, wilayah untuk tanaman hijau, dan berwarna, harus memperoleh porsi lebih dibandingkan dengan areal untuk manusia dan bangunan. Maka, jadilah Lippo Karawaci dan UPH sebagai kampus hijau yang dikagumi publik. "Kami tidak main-main dalam menjaga lingkungan," ujar James Riady ketika ditemui akhir pekan lalu di Kampus UPH. "Siapa pun yang menebang pohon akan dijatuhi hukuman denda Rp 15 juta." James menjelaskan, ia tidak pandang bulu dalam masalah ini. Suatu hari, seorang anggota keluarganya tidak hati-hati mengendarai mobil sehingga menabrak sebatang pohon. Pohon itu rebah, dan petugas satpam Lippo menahan mobil tersebut. Pemilik mobil protes, dan petugas satpam tidak peduli. Protes kemudian ditujukan langsung ke James Riady. Yang terjadi, James bersikap tegas, mobil bisa dibebaskan kalau anggota keluarganya itu sudah membayar denda sebesar Rp 15 juta. "Hukuman" atas keluarga sendiri itu segera menyebar ke para penghuni di Lippo Karawaci dan UPH. Tidak ada yang berani main-main dengan tanaman. Jangankan menebang pohon, melukai pohon saja mereka tidak berani. Maka, pohon leluasa tumbuh tinggi, besar, dan lebar. Kawasan ini menjadi salah satu kawasan resapan air di Tangerang. "Apa yang dikerjakan Grup Lippo di sini sangat kecil. Tetapi, saya senang karena memberi kontribusi pada kelestarian lingkungan, betapa pun kecilnya kontribusi itu," ujar James. Kecintaan kepada lingkungan hidup itu ia tularkan kepada para eksekutifnya. Ia minta semua proyek properti harus disertai semangat hijau. Anak-anak muda, para mahasiswa, dan pelajar diajak mencintai lingkungan. James menyediakan waktu khusus untuk berdiskusi dan bercengkerama bersama. Ia menggugah anak muda berbuat sesuatu untuk bangsa dan mengajak mereka hirau kepada sesama dan lingkungan sekitar. Ia selalu menyatakan, banyak yang kekurangan, banyak anak-anak yang tidak punya kesempatan bermain, dan banyak anak-anak yang tidak bisa sekolah karena tidak punya biaya. Kepada anak muda itu, James mengajak untuk peduli dan membantu mereka. "Anak-anak muda ini harapan bangsa, maka mereka harus mempunyai karakter yang kuat dan selalu peduli kepada sesama," ujarnya. James Riady tidak sekadar berbicara tentang hal ini. Ia wujudkan harapan-harapannya itu, pertama-tama dalam lingkungan keluarganya. Empat anaknya, sekadar menyebut contoh, yang selesai belajar di luar negeri, ia minta berkarya di pelosok pedalaman terpencil. Ada yang ia minta ke pedalaman Mulia, Papua, dan ada pula yang ia minta ke daerah-daerah terpencil Kalimantan, masing-masing selama dua bulan. Ketika masuk kembali ke Jakarta, anak-anak James Riady itu langsung berubah. Mereka menjadi lebih peka terhadap kesulitan orang lain, lebih peduli kepada anak-anak yang tidak bisa bersekolah karena faktor biaya. Mereka pun bisa memandang sosok guru, cendekiawan, dan para voluntir dengan perspektif lebih berwarna. Anak-anak James Riady melihat pemandangan mengesankan. Sejumlah doktor dari Amerika Serikat dan Benua Eropa datang ke pedalaman Papua. Mereka menyimpan buku, melipat kemeja, menggulung celana, dan berbaur dengan masyarakat desa. Orang-orang "bule" itu mengajar cara bercocok tanam yang modern, membangun rumah yang lebih efisien, pakaian yang lebih baik, dan sebagainya. Mereka melihat bagaimana orang-orang terpelajar dan umumnya kaya materi ikut bertani, beternak, bergotong royong membangun rumah, menjaga lingkungan, membangun kakus dan tempat jemuran yang bersih. Ada yang mengerti bahasa Indonesia, mengajar warga terpencil itu membaca dan berbahasa Inggris. Kembali ke Jakarta, wawasan dan pola hidup anak-anak muda tersebut kontan langsung berubah. James Riady tersenyum melihat itu. Lalu dari titik itu, James menularkan keasyikan berkeliling daerah terpencil itu kepada sepupunya, keponakannya, teman-temannya. Hasilnya, makin banyak yang datang ke pedalaman untuk hidup bersama dan saling berbagi. Terhadap sejumlah desa, James juga berbuat sesuatu yang berguna. Misalnya, ia membawa banyak guru bahasa Inggris untuk mengajar para guru desa terpencil. Ia membawa pula surat kabar, majalah, buku-buku ilmu pengetahuan, dan bacaan-bacaan bermanfaat lainnya. Ia ingin guru di desa-desa pun pintar, berwawasan luas, dan tidak ketinggalan informasi. Untuk memperkenalkan teknologi, James misalnya memperkenalkan kamera. Tahap pertama, ia memperkenalkan foto-foto menarik, serta cerita mengenai kota-kota indah di Indonesia dan luar negeri. Ia bercerita panjang lebar tentang kawasan elok Indonesia, juga mengenai seperti apa ramai dan eloknya kota-kota dunia seperti London, New York, Shanghai, dan Tokyo. Tahap kedua, ia bercerita apa yang dapat dilakukan oleh kamera dan makna riil fotografi. Ketiga, bertutur tentang kamera itu apa. Tahap keempat mengajak warga desa, terutama para guru, memotret. Lalu ia memilih lima foto terbaik, memberi hadiah yang pantas. Usai memperkenalkan foto, ia mengajak mereka lebih banyak memotret dan mengenal teknologi kamera. Begitu seterusnya. Ia pun melakukan hal yang sama untuk beberapa hal lain. Prihatin Repotnya, dalam pengamatan Kompas, ada banyak hal memprihatinkan. Tidak banyak guru di kota yang bersedia datang ke desa terpencil mengajar. Tidak heran kalau banyak sekolah tanpa guru, atau satu SD hanya ditopang satu atau paling banyak tiga guru. Sebagian besar di antara mereka berkemampuan pas-pasan dan pengetahuan yang sangat umum. Semua hal ini dilihat oleh anak-anak muda yang dikirim James Riady ke desa-desa terpencil di Papua, Kalimantan, dan Maluku. Mereka jadi ingin berbuat lebih banyak untuk masyarakat di desa tersebut. "Anak-anak muda itu melihat bahwa para doktor dan orang kaya materi saja datang ke desa untuk berkarya dengan masyarakat desa, bagaimana dengan mereka yang masih muda dan belum menunjukkan karya," ujar James Riady. Sebagai usahawan dan pendidik yang sudah memasuki usia setengah baya, James Riady tampaknya memainkan peran berbeda dengan tatkala ia masih muda, dua puluh sampai sepuluh tahun lalu. Dulu ia menjadi chief executive officer (CEO) untuk banyak perusahaan besar. Kini ia enggan dengan posisi itu dan lebih banyak mengambil posisi sebagai pemikir dan penentu arah kebijakan grup usaha Lippo. Kalaupun ada urusan yang masih sangat ditekuninya kini, itu ialah masalah pendidikan, lingkungan hidup, dan memerhatikan kualitas generasi muda. Ia bisa menghabiskan waktunya selama berjam-jam, dari pagi hingga malam, dengan para guru, dosen, mahasiswa, dan anak-anak SD sampai SMA. Khusus untuk proyek properti, ia selalu menekankan seluruh eksekutif Grup Lippo untuk memberi lebih dari 50 persen areal properti untuk kawasan hijau dan mengajak anak-anak muda belajar keras, tidak hanya di dalam kelas, tetapi juga di luar kelas. Proses belajar itu tidak pernah kenal waktu dan usia.