Hartati Murdaya adalah seorang Buddhist dan kalau enggak salah dia itu adalah 
pemimpin persatuan Buddhist di Indoneisa, tetapi tindak tanduk nya tidak sesuai 
dengan ajaran Buddhism sama sekali.

Akhirnya ya sama saja dengan para penguasa agama yang lain, yang tidak 
menunjukan akal budi nya sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.

Dan mengapa lingkungan Istana takut akan sepak terjang Hartati Murdaya? Apakah 
karena SBY tergantung (berhutang budi) pada dia, sewaktu pemilihan presiden 
yang lalu? Lagi-lagi uang lebih berkuasa, presiden pun takut berbuat yang benar 
jika sudah ada ketergantungan akan uang.

Hukum di Indoneisa makin merosot dimata dunia, karena hukum tidak berarti 
apa-apa jika penguasa di Indonesia sudah memakai kedudukan nya sebagai penentu 
hukum dalam segala hal.

Salam,
Yuli
Deny Sidharta <[EMAIL PROTECTED]> wrote:                                  
Mungkin ini berita yang dimaksud dalam salah satu majalah berkaitan dengan 
masalah tersebut diatas.
    
   Laporan Utama : 'JUST' DUIT
    
   Perusahaan sepatu Hartati Murdaya diduga melanggar aturan kawasan berikat. 
Sepucuk surat dilayangkannya ke Istana. Tekanan politik mengalir deras ke arah 
Bea dan Cukai.  
    
   SIAPA sangka penyitaan kontainer sepatu milik perusahaan Siti Hartati 
Murdaya, akhir Maret lalu, bakal bikin geger. Sang taipan meradang. Kalangan 
Istana Presiden pun turun tangan. Tinggallah aparat Bea dan Cukai di "tubir 
jurang". Padahal, yang disita cuma sekitar 40 ribu pasang sepatu senilai kurang 
dari Rp 10 miliar. 
    
   Buat pengusaha sekelas Hartati, yang nangkring di urutan 16 orang terkaya 
Indonesia versi majalah Forbes 2006 dengan kekayaan US$ 430 juta (sekitar Rp 
3,8 triliun), kerugian itu cuma seupil. Tapi, jangan salah. Sebuah persoalan 
besar siap menghadang. Di antara sepatu yang disita terdapat dua nama besar: 
Nike dan Yonex. 
    
   Salah melangkah, lisensi produksi Nike yang dikantongi bos Grup Central 
Cipta Murdaya (CCM) ini selama belasan tahun bisa melayang. Itu sebabnya, 
sepucuk surat dilayangkannya ke Istana. Hartati pun berusaha membungkus rapat 
kasus ini. "Saya takut ketahuan oleh perusahaan sepatu di luar negeri yang 
biasa memesan dari saya," katanya. 
    
   Alasan Hartati masuk akal: jika kontrak diputus, bisa berabe. Pemasukannya 
senilai hampir Rp 1 triliun dari sepuluh juta pasang sepatu yang diekspornya 
tiap tahun terancam langsung menguap. Sebanyak 14 ribu karyawannya pun bakal 
kehilangan pekerjaan. 
    
   Tak mengherankan, Hartati meradang, kalangan Istana turun tangan. Karena 
pokok soalnya--meminjam pelesetan bunyi slogan merek sepatu terkenal: Just 
Duit. Ujung-ujungnya, urusan duit selangit. 
    
   l l l
    
   DARI pabrik sepatunya di kawasan Pasar Kemis, Tangerang, Hartati Murdaya, 
akhir Maret lalu, meluncur ke kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai di Jalan 
Ahmad Yani, Jakarta Timur. Bergegas menapaki anak tangga, ia langsung menuju 
lantai dua, tempat Direktur Jenderal Bea dan Cukai Anwar Suprijadi berkantor. 
    
   Ada satu agenda penting yang ingin dibicarakan bos CCM ini dengan Anwar. 
Agenda itu menyangkut kontainer PT Nagasakti Paramashoes Industry, salah satu 
perusahaannya, yang disita Bea dan Cukai Bandara Soekarno-Hatta pada 24 Maret 
lalu. 
    
   Kontainer itu berisi sekitar 6.500 pasang sepatu, yang dianggap melanggar 
aturan kepabeanan, karena telah keluar dari kawasan berikat tanpa izin 
Bea-Cukai. Hartati tidak terima kontainernya disita. 
    
   Dalam pertemuan 40 menit itu, Hartati membeberkan kronologi penyitaan 
kontainer, menurut versinya. "Kontainer itu dikeluarkan tanpa persetujuan 
perusahaan," katanya beralasan. Karena itu, pihaknya telah menelepon polisi 
untuk melakukan pengejaran dan mengusut siapa yang mengeluarkan sepatu 
tersebut. 
    
   Dengan alasan itu, ia meminta Anwar melepas kontainer tadi. Hartati juga 
sempat minta "dilindungi" agar penyitaan kontainer tidak terungkap di media 
massa. Alasannya, ya itu tadi, bisa berabe kalau ketahuan para pemesan produk 
sepatunya di luar negeri. 
    
   Namun benteng pertahanan Anwar terlalu kukuh untuk dibobol Hartati. Anwar 
menolak permintaan tersebut. "Yang bisa memerintahkan saya hanya Menteri 
Keuangan dan Presiden," kata Hartati menirukan ucapan Anwar. 
    
   Jawaban itu membuat Hartati jengkel. Ia lalu mengirim surat ke Menteri 
Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang ditembuskan ke Presiden Susilo Bambang 
Yudhoyono. Dalam surat itu, Hartati lagi-lagi membeberkan kronologi penyitaan 
kontainer menurut versinya. 
    
   Ia berharap pemerintah tidak salah langkah menangani persoalan itu. "Silakan 
hukum ditegakkan," tulis Hartati dalam suratnya. "Tapi, kalau mau menangkap 
tikus, jangan dibakar rumahnya." 
    
   Sejak kontainernya disita Bea-Cukai, Hartati memang sibuk wara-wiri. Kantor 
Bea dan Cukai Bandara Soekarno-Hatta pernah disambanginya. Perempuan 61 tahun 
ini pun berkali-kali menelepon kepala kantor itu, Agung Kuswandono. 
Permintaannya cuma satu: kontainer miliknya segera dibebaskan. 
    
   l l l
    
   PENYITAAN sepatu itu bermula ketika sebuah kontainer keluar dari pabrik 
Nagasakti Paramashoes Industry di Pasar Kemis, Tangerang. Sepatu yang 
semestinya diekspor malah keluar jalur dari kawasan berikat pada 20 Maret, 
sekitar pukul 02.00 dini hari, tanpa izin Bea dan Cukai.
    
   Di tengah jalan, kontainer ditangkap petugas Kepolisian Resor Tangerang. 
Karena surat-suratnya tak lengkap, kontainer digiring ke kantor Polres 
Tangerang. Informasi penangkapan itu membuat Bea dan Cukai Bandara 
Soekano-Hatta, yang sudah lama mencium gelagat tidak beres dari Nagasakti, 
langsung menelusuri. 
    
   Hasilnya, pada 24 Maret, Bea dan Cukai menemukan puluhan ribu sepatu lainnya 
ditimbun di gudang milik Nagasakti di kawasan Karet dan Karawaci, Tangerang. 
Jumlahnya ditaksir sekitar 30 ribu pasang sepatu. "Di antara sepatu itu 
terdapat merek Nike dan Yonex," kata sumber Tempo. 
    
   Timbunan sepatu itu kira-kira setara dengan isi tiga kontainer ukuran 40 
kaki. Bea-Cukai langsung menyita dan menyegel gudang tersebut. Kontainer 
tangkapan polisi pun kemudian diserahkan ke Bea dan Cukai Soekarno-Hatta. 
    
   Dari pemeriksaan awal, diketahui bahwa sepatu itu dikeluarkan dari kawasan 
berikat atas persetujuan perusahaan. Kesimpulan itu, kata sumber Tempo di 
pemerintahan, diperoleh setelah Bea dan Cukai memanggil sekitar 12 karyawan 
Nagasakti--dari pegawai yang mengurus izin barang keluar hingga level general 
manager. 
    
   Bila begitu ceritanya, urusan yang dihadapi Hartati bisa gawat. Sebab, 
sebagai perusahaan yang berada di kawasan berikat, Nagasakti selama ini 
mendapat penangguhan bea masuk bahan baku impor. 
    
   Perusahaan itu malah mendapatkan pembebasan bea bila bahan baku yang diimpor 
diolah untuk produk ekspor. Masalahnya, tanpa persetujuan Bea dan Cukai, sepatu 
konsumsi ekspor tadi dikeluarkan dari kawasan berikat. Akibatnya, negara jelas 
dirugikan. 
    
   Dari hitung-hitungan awal, potensi kerugian memang "hanya" Rp 612 juta. 
Tapi, menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan, perusahaan 
itu bisa terkena denda maksimal 1.000 persen atau 10 kali lipat dari total bea 
masuk yang belum dibayar. Itu berarti, Hartati besar kemungkinan harus merogoh 
koceknya untuk membayar denda sedikitnya Rp 6 miliar.
    
   Hartati menampik tudingan itu. Menurut dia, Nagasakti tidak pernah 
mengizinkan kontainer keluar lewat tengah malam. "Kejadian kemarin karena ada 
penyimpangan oleh individu-individu," katanya. "Dengan alasan, surat-surat akan 
disusul belakangan." Atas kejadian itu, ia meminta polisi memeriksa beberapa 
karyawannya. 
    
   Pengusaha itu juga punya versi sendiri soal ditemukannya sepatu di gudang 
Karet dan Karawaci. Menurut Hartati, pemindahan barang ke gudang itu dilakukan 
sebelum Nagasakti menjadi kawasan berikat. "Barang-barang itu dipindahkan 
ketika pabrik masih berstatus KITE (kemudahan impor untuk tujuan ekspor)," 
ujarnya. 
    
   Barang yang dipindahkan pun hanya sepatu rusak dan tua, yang kalau dijual 
sudah tidak ada nilainya. Namun ia mengaku baru mengetahui keberadaan gudang 
setelah persoalan ini mencuat. "Selama ini karyawan tidak pernah melapor ke 
saya," katanya. 
    
   Pernyataan Hartati tentang laporan ke polisi dibantah Kepala Satuan Serse 
Polres Tangerang, Komisaris Polisi Ade Ary. Menurut Ade, kepolisian tidak 
pernah menerima laporan dari Hartati untuk memeriksa karyawan Nagasakti. Hal 
senada diungkapkan Kepolisian Sektor Tigaraksa, Tangerang.
    
   Soal isi kontainer pun simpang-siur. Menurut Hartati, tak ada sepatu merek 
Nike di dalamnya. Hanya Yonex. "Untung, itu merek kecil," katanya. "Kalau Nike 
yang membatalkan pesanan, bagaimana nasib karyawan?" 
    
   Pernyataan Hartati itu berbeda dengan apa yang dilihat Tempo ketika berhasil 
menyusup saat dilakukan penghitungan sepatu oleh aparat Bea dan Cukai, pekan 
lalu. Di dalam kontainer terdapat beberapa boks berisi sepatu Nike. "Jumlahnya 
malah lebih banyak ketimbang Yonex," kata seorang sumber yang layak dipercaya. 
    
   Keberadaan sepatu Nike itulah yang agaknya membuat Hartati ketar-ketir. 
Sumber Tempo di industri sepatu mengatakan, lisensi produksi sepatu Nike yang 
dipegang Nagasakti selama 17 tahun bisa dicabut gara-gara kasus ini. 
    
   Menurut Ketua Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Eddy Widjanarko, 
kemungkinan pencabutan itu memang ada. "Dalam beberapa kasus, sangat mungkin 
hubungan kerja sama itu diputus bila barang khusus ekspor dijual ke dalam 
negeri." Tapi, dalam kasus Nagasakti, Eddy menyarankan semua pihak menunggu 
hasil penyidikan Bea dan Cukai. 
    
   Kondisi Nagasakti jelas bakal langsung goyah bila lisensi dari Nike itu 
dicabut. Soalnya, sepatu Nike merupakan sumber pemasukan utama baginya. 
Apalagi, gara-gara kasus ini, perusahaan yang berdiri sejak 1988 itu sudah 
kehilangan pendapatan dari Yonex, setelah perusahaan itu membatalkan seluruh 
pesanannya tahun ini. 
    
   Itu sebabnya, segala upaya dikerahkan Hartati agar kontainernya dibebaskan, 
termasuk dengan mengirim surat ke Menteri Sri Mulyani dan Presiden Yudhoyono. 
    
   l l l
    
   GARA-gara surat Hartati itu, Sri Mulyani langsung memanggil Anwar Suprijadi. 
"Ibu Ani ingin tahu duduk persoalannya, karena harus menentukan sikap," kata 
sumber di Lapangan Banteng, tempat Departemen Keuangan bermarkas. Setelah 
diberi penjelasan, Sri Mulyani mendukung langkah bawahannya itu dan meminta 
pengusutan dilanjutkan. 
    
   Di mata Sri Mulyani, urusan Hartati dengan karyawannya adalah urusan 
internal perusahaan. Tugas Bea dan Cukai, kata dia, semata-mata melihat apakah 
ada aturan kepabeanan di kawasan berikat yang dilanggar. 
    
   Itu kata Sri. Tapi, apa kata orang dalam di lingkungan Istana? Menurut 
sumber Tempo, gara-gara surat tadi, seorang staf pejabat tinggi langsung 
"bertandang" ke ruang kerja Anwar, meminta kontainer Hartati dilepas. "Tekanan 
politik yang dihadapi Bea dan Cukai sangat besar," katanya. 
    
   Ketika dimintai konfirmasi, Anwar hanya terseyum. Selanjutnya, Menteri 
Negara Pendayagunaan Aparatur Negara pada 2001 itu memilih tutup mulut. Saking 
kuatnya tekanan ini, sumber lainnya di kantor Wakil Presiden mengatakan, Sri 
Mulyani sampai menghadap Jusuf Kalla. Sayangnya, Sri pun hanya tersenyum dan 
mengunci mulut ketika ditanya soal itu. 
    
   Menurut sejumlah sumber Tempo, salah satu nama yang terlibat dalam 
"penyelesaian" kasus ini adalah Menteri Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi. 
Hartati memang akrab dengan Sudi sejak koleganya itu masih menjadi Panglima 
Kodam Brawijaya. 
    
   Keduanya juga satu angkatan saat mengikuti kursus singkat Lembaga Ketahanan 
Nasional (lihat Jangan Pakai Kacamata Kuda). Dalam sengketa kasus PT 
Intracawood dengan Menteri Kehutanan M.S. Kaban, Hartati bahkan meminta 
"pertolongan" langsung kepada Sudi (lihat Bersandar pada Teman Seangkatan). 
    
   Namun Sudi menampik ikut campur tangan dalam kasus kontainer ini. "Kami 
hanya melakukan koordinasi," kata bekas sekretaris Menteri Koordinator Politik 
dan Keamanan itu kepada Sutarto dari Tempo. "Tidak menekan, apalagi 
mengintervensi hukum," ia menambahkan. Artinya, bila kontainer itu melanggar, 
proses hukum harus tetap dijalankan. 
    
   Juru bicara Presiden, Andi Mallarangeng, juga membantah ada perlakuan khusus 
dari Istana buat Hartati. Presiden Yudhoyono, kata dia, selalu berpesan agar 
setiap orang mengikuti aturan yang ada. 
    
   Hartati sendiri tak sudi bila suratnya itu dianggap memicu tekanan terhadap 
Bea dan Cukai. Ia bahkan mengelak jika dikatakan memiliki kedekatan dengan 
Presiden Yudhoyono. "Saya ini cuma rakyat biasa." 
    
   Namun publik belum lupa ingatan. Enam tahun lalu, Hartati pernah menggalang 
dukungan pencalonan Yudhoyono menjadi wakil presiden. Ia juga yang memobilisasi 
dukungan buat Yudhoyono di kalangan umat Buddha dan pengusaha pada Pemilu 2004 
(lihat Sekoci Sang Presiden). 
    
   Terlepas dari semua itu, semua kini berpulang kepada Anwar Suprijadi. Tapi 
ia telah mengumandangkan tak gentar menghadapi Hartati, yang mengancam akan 
membawa persoalan ini ke meja hijau. "Kami siap saja," ujarnya kepada R.R. 
Ariyani dari Tempo. Jika begitu, Just Do It! 
    
 (Yandhrie Arvian, Heri Susanto, Retno Sulistiyowati ( Jakarta), Ayu Cipta, 
Joniansyah (Tangerang))
 
 

Kirim email ke