dulu saya berpikir biofuel mungkin bisa menggantikan... tapi kalu melihat trend palm oil prices.. in line dengan trend oil price.... belum lagi bahwa... lahan itu dimanapun sifatnya "menyempit" atau semakin dikit.. walaupun dibilang ada tekno yang akan menghemat.. itu akan sangat lama.... dan tentunya hitung2an lagi costnya..
sehingga.. dari segi ekonomisnya saja.. melakukan "transfer" ke palmoil itu sangat "unpredictable"..... jadi wassalam.. bagi biofuel... jarak maupun sawit... itu sih saya.... toh sya abukan ahli tekno dan perkebunan.. dan pertanian dsb.. semoga salah... jadi ngak khawatir mikir "buang" minyak karna ngurus transjak aja.... alasan subsidi.. klau "metromini' yang "kurang bagus managementnya" aja tetap eksis ditambah pungli... lah kok transjak baru 2 tahun udah ngomel... subsidi.... --- In Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com, "Tina Napitupulu" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Saya malah meyakini bahwa agrofuel/biofuel tidak juga ramah lingkungan. > Setahu saya, biofuel ini naik daun karena issue pamanasan global dan > ditambah lagi cadangan fossil fuel yang tidak lagi mencukupi. Karena > agrofuel/biofuel ditujukan untuk memenuhi kebutuhan industri dan harga > jualnya lebih mahal, sudah dapat diyakini bahwa penanamannya akan > benar-benar intensif. > > Pertanian intensif yang menggunakan pupuk kimia, melepas nitrogen oksida di > udara. Dan menurut Emil Salim (di Kompas 23 Juni) butuh 114 tahun untuk > melerai satu kilogram nitrogen oksida. Outputnya mungkin ramah lingkungan > tetapi prosesnya, benar-benar tidak. > > > > Tina