hahaha...
Sepakat Mas Haniwarlah. Mas Godlip kayak AJI (Aliansi
Jurnalistik Indonesia) aja. Ingin berdiri di tengah,
eh... malah tahu-tahu-nya komentarnya menyingkirkannya
ke pinggir...

Soal penculikan atas Raisyah adalah TINDAKAN TAK
BERADAB. Tertarik saja dengan komentar "Oom Pasikom"
beberapa hari lalu, bahwa MUNGKIN (-KAH?) SEMUA
PERITSTIWA di Indonesia sekarang punya MAFIANYA? Mafia
Peradilan Munir (plus telpon Pollycarpus dan Direktur
Garuda yang menambah panjang "sinetron" pembantaian
Putera Yg patut dihormati Almarhum MUNIR), Mafia
Lumpur Lapindo, dst, dst...

Wah... ndak brani komentar lebih, atau oom Pasikom
punya penerawangan tentang mafia Penculikan Raisyah? 

Buat Mas Godlip, tidak semua kritik berniat
mempersalahkan. Dan, setiap pembelaan atau
keberpihakkan pada seorang pemimpin, senantiasa adalah
untuk membantu sang Pemimpin. Bandingkan Harmoko yang
memuja-rajakan Pak Harto sebelum dan setelah pemilu
terakhir, dan Harmoko sendiri tidak lebih dari setahun
kemudian dari kursi resmi wakil Rakyat, Harmoko
sebagai Ketua MPR meminta Pak Harto untuk lengser
keprabon.

Budayakan kritik bukan sebagai musuh, tapi bentuk
demokrasi yang kritis dan dewasa. Kritik akan menjadi
mesin kontrol demi sebuah kemaslahatan umum. Bukan
tidak mungkin sinyaliran Godlip benar, semua hal serba
salah atau disalahkan. Tetapi, membenarkan semua hal
tanpa sikap kritis, menjadi pedang bermata dua.

Dalam hal seruan 'nasioal' Presiden Yudhoyono untuk
penculikan Raisyah, tidak terletak pada tindakan itu
pada dirinya (an sich), tapi pada konteks keseluruhan
kebijakan Presiden. Sebagian orang berpandangan, hal
yang penting yang perlu Sikap tegas Presiden, BELIAU
DIAM SERIBU BAHASA, misalnya, untuk Kasus Lumpur
Lapindo, Beliau berjanji ganti rugi bagi rakyat, plus
air mata. Atau, pada kasus eksekusi mati Tibo Cs (22
September 2006) di Palu hampir setahun lalu, Beliau
tidak memberikan sikapnya sedikit pun, bahkan ketika
dunia Internasinal mengharapkannya. KONTEKS atau
KERANGKA kebijakan Presiden JAUH DARI CUKUP JELAS,
padahal dalam putaran pertama dan kedua PILPRES saya
ikut memilih karena JANJI KAMPANYE JELAS. 

Bersikaplah ADIL untuk SEMUA, meskipun halnya karena
mereka memang TIDAK SAMA. Bhineka Tunggal Ika diikat
hanya oleh KEADILAN untuk semua. Justice for all,
itulah esensi dan kekuatan negara (kata Aristoteles).

Wallahualam.



wassalam,


berthy b rahawarin


--- Haniwar Syarif <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

> Mas Godlip ini bisa bisa aja...
> 
> wong memang pendukung SBY kok.. ( baca aja
> postingnya dari dulu, mana 
> pernah rkitik SBY)
> 
> sama aja sih kalau sdh a priori dukung atau apriori
> menolak..
> 
> 
> menurut saya ...yang penting coba priksa nalarnya
> dari suatu kritik.. ada 
> nggak.. lalu bahasanya sopan nggak..??
> 
> kalo dua duanya jawabannya iya..
>   O K lah sudah..... nggak usah di bicarakan soal
> apriori  ( apriori kan 
> nggakpakainalar ya )
> 
> Jadi lucu aja.... nuduh orang apriori lalu.. bilang
> diri sendiri nggak 
> apriori pendukung SBY..
> 
> Jadi misal ada yg   bilang nangis SBY telat... waktu
> soal porong... 
> pertanyannya bukan apa yang omong  apriori atau
> tidak... tapi beralasan 
> nggak... kan argumennya  waktu sudah berlalu bgt
> lama.. kok baru nangis.., 
> bahkan mrk sempat demo di istana.. nggak mau
> diterima.... lalu bebrulan 
> kemudian baru nangis...
> 
> Argumen itu lho yang mestinya di bantha.. bukannuduh
> a priori..
> 
> Kalo terus bilang mending telat drpd nggak pernah...
> ya  argumen itu 
> diterima juga.. walau sambil  aku senyum sinis..
> 
> Saya pikir .. ketika disamping SBY ada sutradara
> jago yang mementaskan hal 
> yg tebar pesona... maka memang perlu rakyat
> mengkritisinya...
> 
> Biar proporsional..
> 
> Salam
> 
> Haniwar

Reply via email to