Dear All,

Pernyataan ini kalau benar berasal dari saudara Adhie
M Massardi yang adalah Jubir Presiden, maka, kasihan
juga. Setidaknya, usulan ini sulit dipahami Kang Emha
atau Kang Ulil. Begitu juga orang-orang yang jelas
membedakan urusan "internal keagamaan" (ruang privat
golongan) dan ruang publik ("eksternal plural").

Sejak munculnya Al Qiyadah maupun fenomena Lia Eden
dan lain-lain, telah muncul banyak komentator yang
berkomentar lebih dari apa yang sama sekali tidak
dipahami. 

Sebenarnya, dalam membaca sifat personal keyakinan dan
Hak Asasi Manusia, disadari bahwa sebagian rekan
berbicara HAM dalam dua perspektif (style): yakni, HAM
menurut negara-negara Islam yang, suka tidak suka,
dibedakan dengan HAM deklarasi PBB 1948. Dalam realita
sosial, "dua HAM" ini memang perlu dialog untuk
mendekatkan mutual-understanding dan implementasi HAM
dalam hal keyakinan (iman) di tengah masyrakat plural.


HAM PBB dipandang sebagai HAM sekuler dengan tekanan
pada kebebasan individual, maka sering sebagai
cadangan belaka dan situasional. Sementara HAM OKI
dipandang sebagai berdasarkan Al Quran dan Hadith yang
menjadi titik tolak kebebasan beragama. Terkadang
juga, HAM PBB disebut sebagai HAM menurut Hukum
Koderat, sementara HAM OKI diyakini sebagai HAM
menurut HUKUM ILAHI, kehendak Allah.

Ungkapan Kang Emha Ainun Nadjib kemaren, dapatlah
dipandang sebagai, berasal dari HAM menurut Hukum
Koderat: "Sesama orang sesat dilarang saling
mengganggu!". Meskipun, kang Emha tidak masuk dalam
soal doktrin, tetapi pernyataan itu membangun cara
pandang lain terhadap orang-orang yang disebut atau
dikategorikan sebagai sesat.

Catatan Untuk Adhie M Massardi

Dalam isu Al Qiyadah, jika konsisten pada pemisahan
"al din" dan "al dawla", yang juga mungkin tetap
didialogkan, di negara seperti Indonesia, "Departemen
Kesesatan" adalah bentuk pengguliran bola panas untuk
masalah lama: pemerintah mencampuri urusan internal
keagamaan. Jika, akhir perjalanan cara menangani Al
Qiyadah adalah campur tangan berlebihan Pemerintah ke
wilayah agama, negara Pancasila memang dibangun,
dipelihara "Campur Tangan Pemerintah ke wilayah
internal keagamaan" sebagai suatu target. 

Pernyataan Adhie M Massardi ini benar: "Aliran (agama)
yang menyebal dari main stream, dan karena itu jadi
tampak beda, lalu dicap sesat, bukan barang baru,
bukan pula monopoli Islam. Pada Kristen, Hindu maupun
Budha, ada juga aliran model Al Qiyadah."

TETAPI, pernyataannya dalam alinea yang sama, selain
kabur, mengandung kontradiksi dan menyesatkan: "...
kesesatan pada agama lain nyaris tak terdengar.
Biasanya mereka (non-Islam)lebih senang menggunakan
jasa Kejagung untuk melabeli "sesat" pada aliran yang
menyempal." Mengomentari "Aliran sesat" saudara Adhie
sendiri membuat sesatan baru.

Ambil contoh Gereja Katolik. Kapan dan di mana saudara
Massardi bisa menunjukkan bahwa Kejagung suatu negara
diminta oleh Lembaga Gereja Katolik, misalnya
Konferensi Walig Gereja Indonesia (KWI-Persekutuan
Uskup Indonesia), untuk menentukan adanya sejumlah
orang Katolik dinyatakan sesat oleh Kejagung??? Saya
tidak ingin mengmomentai non-Katolik, dalam hal
hubungan KEWENANGAN hubungan agama dan negara.

Tapi, saya mengerti, saudara Adhie M Massardi bicara
dari ketidak-mengertian, sehingga memperkeruh wilayah
KEWENANGAN NEGARA yang sedang COBA DIPAKSAKAN memasuki
wilayah Keagamaan. Hal yang membahayakan negara
Pancasila.

wassalam,

mas berthy b. rahawarin




> POLiTiSiANA
> 
> Departemen Kesesatan
> 
> OLEH ADHIE M MASSARDI
> 
> NAMANYA Abdul Salam, seperti nama jenius kelahiran
> Pakistan yang pada 1979 tampil
> sebagai Muslim pertama peraih Hadiah Nobel Fisika.
> Aliasnya yang Ahmad
> Mossadeq, mengingatkan kita pada PM Iran yang pada
> 1953 dikudeta Reza Pahlevi
> dengan bantuan intel Inggris dan Amerika.
> Jaringannya disebut Al Qiyadah, mirip
> Al Qaedah pimpinan Osama Bin Laden yang bikin
> Amerika gemetar. 
> 
> Tapi sepakterjang Mossadeq kita juga hebat. Membuat
> anak muda Indonesia
> mati angin. Bayangkan, di tengah kampanye "minta
> peluang memimpin", orang Depok
> 63 tahun itu menyatakan diri sebagai Rasul, sebagai
> Nabi. Umatnya ribuan,
> tersebar di mana-mana. 
> 
> Ini bukan saja mencerminkan anak-anak muda kalah
> langkah dibanding orang
> tua, juga mengesankan mereka sibuk urusan kekuasaan,
> duniawi, dan lokal pula.
> Lha kalau Rasul atau Nabi kan internasional lagi
> ukhrawi. Untung saja Majelis Ulama Indonesia lekas
> menghentikan
> langkah Pak Mossadeq dengan menyatakan Al Qiyadah
> sesat. Sehingga selamatlah wajah
> kaum muda kita. 
> 
> Aliran (agama) yang menyebal dari main
> stream, dan karena itu jadi tampak beda, lalu dicap
> sesat, bukan barang
> baru, bukan pula monopoli Islam. Pada Kristen, Hindu
> maupun Budha, ada juga
> aliran model Al Qiyadah. Cuma karena non-Islam tak
> punya lembaga macam MUI,
> kesesatan pada agama lain nyaris tak terdengar.
> Biasanya mereka (non-Islam)
> lebih senang menggunakan jasa Kejagung untuk
> melabeli "sesat" pada aliran yang
> menyempal.
> 
> Persoalannya, yang sesat di negeri ini kelewat
> banyak. Krisis kepemimpinan
> membuka peluang siapa saja untuk jadi "nabi" atau
> "juru selamat". Mereka
> bermain di tengah rakyat yang hidup susah dan tak
> punya celah untuk keluar dari
> kemiskinan, yang merindukan harapan, hanya sekedar
> harapan. 
> 
> Makanya, DPR perlu berunding dengan pemerintah untuk
> segera membuat lembaga
> penyelamat rakyat dari penipuan para nabi dan rasul
> palsu. Namanya: Departemen
> Kesesatan. Agar tidak mubazir, departemen ini jangan
> hanya menyisir aliran
> agama sesat, tapi juga institusi atau partai politik
> sesat.
> 
> Departemen Kesesatan akan sangat bermanfaat untuk
> menyelamatkan rakyat dari
> partai-partai politik sesat, yang lebih jahat dari
> aliran (agama) sesat. Nah, untuk
> menentukan partai politik itu sesat atau sehat,
> Menteri Kesesatan dan staf ahli
> meneliti platform parpol dan
> sepakterjangnya selama ini. 
> 
> Misalnya, PDIP kan platformnya "membela wong cilik",
> atau "memperjuangkan
> kepentingan rakyat di bidang ekonomi, sosial, dan
> budaya secara demokratis",
> seperti ditulis di AD/ART-nya. Kalau kenyataannya
> tidak seperti itu, Menkesat
> harus mengumumkan kepada publik kalau ini parpol
> sesat. 
> 
> Jangan takut juga untuk bilang Partai Golkar parpol
> sesat kalau ternyata
> tidak "menyerap, menampung,
> menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi rakyat serta
> meningkatkan kesadaran
> politik rakyat dan menyiapkan kader-kader dengan
> memperhatikan kesetaraan
> gender..." seperti dinyatakan pada
> pasal 9 (huruf e) AD/ART-nya.
> 
> Begitulah.
> Semua parpol peserta pemilu 2004 dibedah
> platformnya,
> AD/ART-nya. Kalau tidak cocok dengan perilaku
> parpol, baik di legislatif maupun
> eksekutif: itu parpol sesat. Maka rakyat pun
> selamat. 

Reply via email to