sejarah memberikan pelajaran: banyak revolusi memang membawa korban. tapi, sejarah juga bukanlah hukum besi yang tidak bisa diubah. sebab, jika kita bicara soal korban, bukan hanya pada revolusi. kasus lapindo misalnya adalah korban industri, korban di timika, aceh, kalimantan, seperti juga begitu besar korban yang diciptakan oleh 'eksperimen politik ekonomi' emberikan beserta konco-konconya di amerika latina, afrika dan asia yang berakibat korban berkepanjangan, yang entah berapa belas juta akibat praktek-praktek kapitalisme dibrbagai negeri di jagat ini. soal yang sekarang kita hadapi,bisakah kita menciptakan suatu 'revolusi' yang lebih manusiawi? adakah kaum muda kini memiliki pijakan humanisme seperti ketika para pendiri republik ini mendirikan indonesia, bahwa nasionalisme yang digenggamnya bukanlah nasionalisme kodok dalam batok, bukan pula nasionalisme yang membenci bangsa-bangsa laen. nasionalisme yang kita genggam mestilah suatu nasionalisme yang menjadi pijakan bagi revolusi bangsa ini yang menyadari bahwa nilai-nilainya menjadikan dirinya kian menyadari batas-batas kemanusiaan dan batas-batas itu pulalah yang perlu disadari, ibarat pagar hijau di desa, ada batas namun saling menghidupkan, pagar itu menjadi produsen bagi tumbuh dan berkembangnya oksigen kehidupan bagi siapa saja. masalah kita ini, pada sisi lainnya nampak terasa nasionalisme kian terkikis oleh munculnya syahwat etno nasionalisme akibat sikap kanibal elite lokal: kepentingan politik-ekonomi lokal yang berlebihan yang tanpa memikirkan masa depan kehidupan bangsa misalnya dalam aspek ekologis dan lingkungan hidup dana memandang sejarah masa lampau secara berlebihan yang mengakibatkan primordialisme dan komunalisme yang mnciptakan fanatisme serta anti-dialogis. dalam kaitan itu pula betapa pentingnya mengaitkan antara nasionaisme dengan lingkungan hidup, masalah-masalah ekologis, menciptakan keadilan sosial, ruang hak hidup bagi keyakinan apapun, menahan dan menghentikan laju konsumtivisme. halim hd.
--- Subhan Toba <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > Saya pribadi tidak percaya dengan revolusi, terlalu > banyak meminta korban > (dari kalangan bawah terutama), dan sejarah banyak > menunjukan kegagalan atau > efek samping yang buruk dari revolusi. Dan > buntut-buntutnya ngelahirin > diktator, ato para pemimpin revolusinya setelah > menang berebut kekuasaan. > Gak usah revolusi negara yang jelas-jelas 'nyabut > golok', liat revolusi > industri, berapa banyak orang kecil yang mati secara > tidak langsung, karena > lapangan kerja dipangkas gila-gilaan. > > Saya mahasiswa, tapi saya gak abis pikir tiap > ngedenger barisan pendemo > berteriak "revolusiiiii, revolusiiiii, > revooooluuusiiii sampeeee > maaaattiiiiii...." Saya garuk kepala keras-keras, > sebenernya yang lagi pada > konvoi itu tau gak sih arti revolusi??? > > Revolusi bagi saya merupakan satu jalan keluar yang > dianggap cepat untuk > merubah keadaan, instan, semua orang pengen yang > instan-instan. Jalan > frustrasi.