Pak tjuk terima kasih penjelasannya. Saya punya beberapa kawan yang
menentang soeharto jauh sebelum mei 98 mereka berkata  kata
"reformasi' bukan ciptaan mereka. Kawan-kawan yang waktu itu berkumpul
di TIM juga tidak mengenal istilah reformasi. Mereka bercerita
siapa-siapa sebenarnya yang benar-benar menentang soeharto waktu itu
dan siapa yang cuma datang sesudah soeharto tumbang. Banyak yang
mengaku aktivis 98 tapi waktu 98 dulu mereka tidak melakukan apa-apa
untuk menjatuhkan soeharto. Bung ali sudah sedikit bercerita tentang
Rama, kawan saya juga bercerita tentang rama. Ada kawan lain yang bisa
bercerita tentang bagaimana sepak terjang Anas Urbaningrum waktu itu?
Seingat saya dia waktu itu ketua PB HMI dipo. Saya sih berharap mereka
yang benar-benar terlibat dari awal menjatuhkan soeharto menulis
catatan mereka tentang pristiwa itu mumpung para pelakunya masih
hidup.
Kawan saya belum berniat menulisakannya. saya sedang berusaha
membujuknya. Dia berasal dari simpul bandung. Dia bercerita waktu itu
die hanya demo 4-5 orang saja dikampusnya. Banyak orang yang mencibir
dan cuek saja. Bahkan ada dosen yang mendatangi dan menganjurkan dia
untuk menyudahi aksinya. Demo membesar ketika sembako mulai naik dan
langka. Sesudah soeharto jatuh aktivis mesjid mulai mengambil alih
demo-demo dan mulai bnayka penumpang gelap yang mengaku-ngaku
reformis.

regards
generasi pasca 98

On Jan 4, 2008 1:23 PM, tjuk kasturi sukiadi
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
>
>
>
>
>
> Bung Sawung,
>  Istilah Reformasi ketika itu dipilih untuk menghindarkan diri agar "tidak
> harus memakai istilah Revolusi!". Anda tahu sendiri dalam perebatan diantara
> kita para mailist sekarang inipun masih banyak yang tidak paham dan
> terjangkit "Revolusi Phobia!". Apalagi pada awal tahun 1998. Bisa anda
> bayangkan kalau ketika itu dipakai jargon revolusi?! Sebagian besar
> mahasiswa dan tokoh akan "langsung ragu-ragu dan tidak mau ikut". Dilain
> pihak pihak penguasa akan segera punya alasan untuk bertindak dan menangkapi
> para aktivis reformasi yang pada awalnya tidak banyak. Saya ingat Dr Daniel
> Sparringga sebagai tokoh cendekiawan muda di dalam banyak orasinya selalu
> menekankan kepada para mahasiswa bahwa: " Reformasi adalah perubahan
> fudamental yang dilakukan secara gradual yang temponya dipercepat!" Untuk
> diingat kembali yang berani turun di UI pada tanggal 25 Februari 1998 dan di
> UNAIR tgl 27 Februari 1998 utk pertama kali masing-masing tidak sampai 25
> orang yg terbilang tokoh.
>  Meskipun disana sudah ada beberapa ratus orang mahasiswa yang mendukung
> (tidak banyak) . Saya bukan "tokoh besar" reformasi hanya sekedar "operator
> kecil" doang. Pada tanggal 15 April 1998 pemerintah mengumpulkan semua sosok
> "yang danggap biang kerok reformasi" di Jakarta ( di gedung Non Blok
> dibilangan eks lapangan terbang Kemayoran). Saya ikut terundang dengan
> beberapa kawan diantaranya Daniel Sparingga,Prijatmoko dan Martono. Dalam
> forum itu Jendral Hartono yang ketika itu Mendagri dengan sinis
> mempermasalahkan penggunaan istilah reformasi. : " Apa arti reformasi ? Sama
> sekali tidak jelas! Saya sudah baca kamus dan tidak ada yang keterangannya
> memuaskan ... etc etc !" Tutur Jendral yang asli Madura, mantan Pangdam
> Brawijaya ( dan saya sangat kenal secara pribadi).Forum yang dimaksudkan
> oleh pemerintah untuk "menjinakkan aktivis gerakan reformasi" tersebut tidak
> efektip.Justru kami manfaatkan untuk melakukan kordinasi diantara para
> aktivis reformasi di seluruh
>  Indonesia dengan mendayagunakan wadah Badan Kerjasama Ikatan Alumni
> Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia ( BKS IKAPTISI) sebagai wadah kebersamaan
> para aktivis reformasi yang sudah bukan berstatus mahasiswa lagi.Memang
> kemudian Suharto memakai istilah tersebut khususnya ketika dia membentuk
> Kabinet Reformasi yang umurnya tidak sampai seratus hari itu. Yang penting
> yang saya ingin saya sampaikan kepada rekan-rekan generasi muda termasuk
> yang tahun 1998 sebagai mahasiswa ikut dalam gerakan reformasi harus
> memahami bahwa ketika itu kita tidak bergerak dalam kondisi "vacuum".
> Pemerintahan Suharto dengan ABRI nya masih tegak kokoh berdiri. Hanya
> ekonomi yang limbung dan sempoyongan dan justru ketika itu kita eksploitir
> sebagai alat untuk membuat Suharto dan ORBA "DELIGITIMATE!" Karena
> legitimasi Orba sehingga mampu menjadikan Presiden RI "terus menerus"
> (selama 30 tahun) adalah klim terhadap "keberhasilan pembangunan khususnya
> pertumbuhan ekonomi yang tinggi!" Saya tidak akan
>  lupa tgl 8 Mei 1998 sebagai saat yang penting bagi kami di Jawa Timur.
> Seusai demo besar-besaran di Surabaya yang dipusatkan di kampus UNAIR dan
> ketika itu untuk pertama kalinya di Indonesia , direntangkan spanduk yang
> bertuliskan :" TURUNKAN DAN GANTUNG SUHARTO!" Ketika saya bertanya kepada
> kelompok mahasiswa yang menyiapkan spanduk. Sambil tertawa mereka menjawab:
> " Sudah waktunya, Pak Tjuk!" Sekitar tengah malam saya sebagai "operator
> reformasi tertua" dipanggil oleh Pangdam Brawijaya Mayjen Djadjak Suparman
> di Posko ABRI Jawa Timur di bagian depan Gedung Grahadi Surabaya.Pada
> kesempatan itu Sang Jendral yang kemudian sempat naik menjadi Pangkostrad
> itu mengancam : " Mas Tjuk, saya tahu berapa kekuatan kelompok reformasi di
> Jawa Timur. Tinggal saya tangkap tidak sampai 200 orang saja maka reformasi
> anda akan selesai!" Nampaknya Allah berkehendak lain dan kami tidak sampai
> ditangkap dan betapapun salah satu tujuan reformasi berhasil dicapai.
> Menyusul peristiwa Mei
>  di Jakarta dan aksi besar-besaran mahasiswa di Jakarta yang menduduki
> kompleks DPR/MPR Senayan yang saya yakin "someway or rather" pasti
> berpengaruh terhadap Suharto ketika memutuskan untuk mengundurkan diri
> sebagai presiden RI pada tanggal 21 Mei 1998. Dengan segala kekhilafannya
> saya juga harus memberikan "credit poins" kepada Bung Amin Rais atas jasanya
> memberikan "motivasi kepada para aktivis mahasiswa" untuk berani melakukan
> gerakan reformasi. Meskipun Amin pada awalnya tidak memimpin langsung
> gerakan kampus seperti halnya Hariadi Dharmawan di UI dan saya dkk di UNAIR
> ; tetapi saya harus jujur bahwa "prolog reformasi" disemangati oleh
> keberanian Amin Rais untuk menyatakan "keberaniannya mencalonkan diri
> menjadi presiden Republik Indonesia!" Sesuatu yang tabu dikatakan dalam
> zaman ORBA senyampang Bapak Pembangunan Suharto masih hidup. Amin yang
> kebetulan Ketua Umum PP Muhammadiah kita jadikan icon gerakan reformasi.
> Meskipun kemudian ternyata Bung Amin "tidak
>  lolos uji". Karena ternyata dia tidak Istiqomah (konsisten dan konsekuen).
> Ketika bangsa ini memerlukan (dan sampai sekarang masih) kehadiran seorang
> pemimpin, sebagai sosok reformis sejati , dia tidak mampu menahan diri
> terhadap godaan kekuasaan. Jadilah dia seorang "negarawan yang wurung!"
> karena kemudian memilih "jalan politisi!" Bung Amin yang pernah menjadi
> idola para reformis muda telah merubah orientasi dan paradigma hidupnya. Dia
> tidak lagi konsen memperjuangkan kebenaran untuk kemaslahatan seluruh bangsa
> tetapi pindah kepada perjuangan memenangkan politik untuk mendapatkan
> kekuasaan. Kemudian kita telah tahu bersama apa yang terjadi dengan "tokoh"
> yang satu ini. Sebuah pelajaram nyata dan berharga bagi generasi muda
> sekarang dan yang akan datang. Tentu sekarang akan terpulang lebih kepada
> kaum muda untuk meneruskan cita-cita reformasi ( mungkin kalau mau lebih
> keren pakai istilah "revolusi" karena sikon sudah berbeda karena sudah tidak
> ada lagi DWI FUNGSI ABRI)
>  dengan berjuang keras untuk mewujudkannya atau tidak. Yang terang perubahan
> tidak pernah terjadi hanya dengan berwacana sambil berpangku tangan. Orang
> boleh memaki maki reformasi. Silahkan ! Akan tetapi kalau mau jujur. Ada
> sebuah perubahan besar yang telah kami berhasil lakukan meskipun "tindak
> lanjutnya" (yang dilakukan oleh orang orang lain; yang sebagian besar justru
> tidak pernah terlibat dalam gerakan reformasi) banyak menimbulkan ketidak
> senangandan penderitaan rakyat. "Jauh panggang dari api!"
>  Salam perjuangan dalam keprihatinan Tjuk Kasturi Sukiadi

Kirim email ke