Menerima undangan untuk menghadiri "Pameran 40 th Oom Pasikom" pada 
Kamis, 17 Januari 2008 nanti, saya agak lama tercenung. Bukan apa-
apa, ternyata aliran waktu ini begitu cepat berlalu, melesat lepas ke 
ujung lain tanpa terasa. Sungguh tak terasa. Dua pekan lalu kita 
memasuki tahun baru Masehi dan tiga hari lalu tahun baru Hijriyah. 
Keduanya menjadi patok masa yang memutar parabola kala, bukan 
lingkaran kala. Sebab, time series hidup ini bukanlah siklus 
melainkan linier dan kalau dianalogikan dengan usia manusia, maka 
hidup ini serupa benar dengan parabola. Inilah matematika hidup.  

Tak terasa, sudah 40 tahun usia Oom Pasikom. Bagi ukuran orang 
Indonesia, mungkin juga ukuran umum manusia di Bumi ini, usia 40 
dianggap usia matang. "Hidup mulai pada usia 40", begitu kata orang. 
Bisa juga dikatakan, usia ini adalah awal goncangan pertama, awal 
kelabilan manusia. Tak sedikit yang mengalami masa pubertas kedua 
sehingga mulai larak-lirik perempuan lain selain istri, mulai lagi 
berdandan a la anak muda belia belasan dan likuran tahun. Tua-tua 
keladi makin tua makin menjadi (mudah-mudahan makin menjadi baik). 

Itulah fenomena sosok manusia yang memasuki usia 40 tahun. Bagaimana 
dengan "manusia" bernama Oom Pasikom? Saya termasuk penggemar Om ini. 
Kalau di Amerika Serikat ada yang namanya Uncle Sam, maka di 
Indonesia ada yang bernama Uncle Pasikom. Ketika membaca Kompas, tak 
pernah lupa saya menggiliri sentilan Om ini. Apalagi gaya kartunnya 
sederhana dan pas serta mudah dipahami maknanya. Betapa tidak, dengan 
gaya olah tulis dan grafisnya, paduan dua karakter ini menghasilkan 
kritikan sambil minum kopi. Yang dikritik seperti diberi kopi nikmat 
sehingga tak lantas menyakitkan hati tetapi membenarkan fenomena yang 
dikatakan Si Om.

Namun demikian, meskipun dia adalah "Om saya", tetapi usianya tak 
terpaut banyak dengan saya. Malah saya sepantaran dengan "Om ini". Di 
dunia nyata bahkan ada yang Omnya berusia lebih muda daripada Sang 
Om. Bahkan ada anak usia SD yang sudah menjadi Om dan usia 
keponakannya justru jauh di atasnya, setara dengan anak usia SMA. Ini 
banyak terjadi di Indonesia terutama di kalangan ningrat yang 
memiliki istri lebih dari satu. Ada yang malah empat istri resminya 
dengan anak mencapai tiga puluhan. Wajarlah kalau seorang Om akhirnya 
berkeponakan yang jauh lebih tua usianya ketimbang usia dirinya. 

Itu sekadar intermezzo. Mari kembali ke soal Si Om ini. Semoga ultah 
ke-40 Om Bertopi ini makin memajukan "orang tua" Si Om, yaitu ibunya 
yang bernama Kompas. Semoga Kompas Jawa Barat pun kian berkembang dan 
menjadi koran kuat di tatar Sunda ini serta kuat pula semangat untuk 
membela kebenaran, objektif dalam berita dan selektif objektif dalam 
memuat artikel opini (terutama dari penulis freelancer), menulis 
kritik berimbang dari semua sisi dan terus memupuk para penulis muda 
sebagai pilar ketiga dalam kemajuan media. Serta..., spesial buat 
Kompas Jawa Barat, ini hasil obrolan dengan teman-teman, tolong cepat 
tambah jumlah halamannya. Makin tebal, tentu makin seru, ok...?!

Akhir kata, selamat berpameran, semoga Galeri Soemardja ITB menjadi 
saksi jejak langkah Om ini. Pameran untuk umum dibuka pada 18 s.d 27 
Januari 2008, mulai pk. 09.00 s.d 16.00 WIB. 

Demikian Om, `met ultah. Good luck Mr. GM Sudarta. 

http://gedehace.blogspot.com/2008/01/oom-pasikom.html

Kirim email ke