Oleh DWI JOKO WIDIYANTO http://www.kompas.com/kompas-cetak/0801/14/humaniora/4164664.htm ===================
Sungguh sulit membedakan perguruan tinggi, mi instan, rokok, atau minyak goreng. Sekarang pendidikan dan aneka barang konsumsi itu dipromosikan dengan logika dan pencitraan yang serupa. Logika dagang dan citra obral. Teks ini ditulis pada stiker seukuran kartu pos, ditempel di pintu-pintu angkutan kota di Bandung. Yang menarik, stiker ini kerap berendeng dengan promosi obat kuat atau iklan pengobatan alternatif! Masih di Bandung. Jika Anda sempat mampir di kota yang konon punya sejarah idealisme pendidikan yang hebat ini, amati tembok dan tiang listrik di pinggir jalan utama. Anda akan menemukan poster promosi PTS dengan tulisan mencolok 3 tahun jadi SE (Sarjana Ekonomi) atau S1 = 3 tahun, D3 = 2 tahun, D1 = 8 bulan atau S1 = 2,8 tahun. Di Jakarta, sebuah perguruan tinggi swasta menawarkan ruangan berpendingin dalam iklan yang mereka tayangkan di beberapa stasiun televisi. Musim penerimaan mahasiswa baru tahun ini, teks promosi perguruan tinggi swasta di Bandung semakin absurd: gratis biaya pendaftaran bagi pendaftar sebelum tanggal sekian, tempat kuliah dilalui angkot 24 jam, kampus dekat mall, dan membuka kelas weekend! Dagang bangku Iklan-iklan pendidikan itu adalah potret mutakhir tabiat pendidikan tinggi kita. Tentu saja tidak ada yang salah dengan aneka promosi macam itu. Itu cara legal bagi perguruan tinggi untuk mendagangkan bangku dan merayu orangtua mahasiswa. Namanya juga usaha. Apalagi sekarang zamannya privatisasi pendidikan: subsidi negara dihentikan dan lembaga-lembaga pendidikan harus pintar mencari uang sendiri. Jalan pintas paling mudah adalah menjaring mahasiswa sebanyak mungkin, dengan cara apa pun. Obral bangku kuliah sebagaimana dipertontonkan dalam iklan- iklan itu adalah salah satunya. Tetapi, para teoretisi cultural studies menyarankan kita mewaspadai praktik-praktik promosi macam ini. Mereka, di antaranya adalah Andre Wernick yang menulis Promotional Culture: Advertising Ideology and Symbolic Expression (1991) dan Stephen Kline dalam bukunya, The Play of Market: On the Internationalization of Childrens Culture (1995), mengatakan iklan-iklan itu pertanda sedang berlangsungnya pertempuran antarnilai pendidikan. Ada nilai-nilai yang sedang diluruhkan dan ada nilai-nilai baru yang sedang dibangun. Nilai-nilai pendidikan apa yang sedang diluruhkan dan dibangun? Ialah bahwa kerja-kerja pendidikan tak lagi dimaknai sebagai kerja-kerja pembentukan karakter, pencerdasan, atau pemerataan akses dan kesempatan belajar, misalnya. Lembaga pendidikan sudah sangat otonom, dalam pengertian negatif sudah tidak lagi punya urusan dengan kerja-kerja begituan. Itu kerja-kerja idealis yang sudah lapuk. Sekarang seluruh jenjang pendidikan, dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, memiliki kepentingannya sendiri yang jauh dari urusan substansi pendidikan. Kepentingan itu hanya satu: berdagang bangku memburu rente dengan memobilisasi dana pendidikan masyarakat. Praktis tak ada bedanya antara lembaga pendidikan dan mi instan atau makanan siap saji. Untuk menggondol gelar sarjana ekonomi, orang tak butuh ketekunan dan ujian. Perguruan tinggi tidak menawarkan proses pembelajaran dan visi akademik. Yang penting membayar berbagai kewajiban. Kultur bisu Lembaga pendidikan tidak sepenuhnya salah. Orang sudah tahu bahwa lembaga pendidikan itu tak terlalu berguna. Tetapi mereka rela merogoh kocek dalam-dalam untuk membayar berbagai pungutan sekolah. Salah satu penjelasan yang paling mungkin adalah keyakinan bahwa ijazah dan gelar adalah satu-satunya tiket untuk bisa hidup. Ini keyakinan klasik ala kultur pendidikan zaman Belanda dulu. Orang harus bersekolah dengan cara apa pun, karena sekolah adalah eskalator yang bisa mendongkrak martabat sosial keluarga. Begitulah. Iklan-iklan pendidikan itu cuma gejala yang menegaskan bahwa nilai-nilai pendidikan sedang berubah. Dan semua itu bisa terjadi karena kultur bisu masyarakat. DWI JOKO WIDIYANTO Peneliti pada Sentra Pembelajaran dan Pemberdayaan Masyarakat (SPPM) di Bandung