Dengan pemaparan sejelas ini tidak ada lagi alasan bagi pemerintahan
SBY untuk membuat Indonesia terlihat celingukan mengendus ke mana
angin bertiup. Ibarat main kelereng, sudah terlalu lama Indonesia
memosisikan diri sebagai pemain yang cilem.

Tidak, Indonesia dan lebih dari separuh dunia punya yang namanya
Dasa Sila Bandung. Tetaplah (atau kembalilah) kepada prinsip yang amat
layak untuk membangun tata dunia baru tersebut. Pun, ketika
kemerdekaan bagi Kosovo seolah merupakan wujud kebebasan-memilih di
era postmodern. Walau sesungguhnya terlihat sebagai penyeragaman benak
belaka; seolah 'merdeka' cuma punya makna tunggal: bikin negara baru.


-

Kosovo Merdeka, Hak atau Separatisme?
Oleh Nugroho Wisnumurti
http://www.kompas.co.id/kompascetak/read.php?cnt=.kompascetak.xml.2008.02.23.02115625&channel=2&mn=11&idx=11

Kosovo mendeklarasikan kemerdekaan pada hari Minggu
(17/2/2008). Deklarasi kemerdekaan ini merupakan
tindakan unilateral karena tidak didukung PBB, dalam
hal ini Dewan Keamanan.

Deklarasi ini didukung negara-negara Barat, terutama
Amerika Serikat, Inggris, dan beberapa negara Uni
Eropa, tetapi ditolak Rusia, China, beberapa negara Uni
Eropa lain, Vietnam, dan beberapa negara lain.

Memancing tanggapan

Dewan Keamanan sekali lagi pecah dan tidak mampu
menyelesaikan masalah status final Kosovo melalui
perundingan sebagaimana tersirat dalam Resolusi 1244
(1999) Dewan Keamanan. Kenyataannya, Kosovo sudah
menjadi negara merdeka. Pertanyaannya, bagaimana
sebaiknya Indonesia menyikapi kemerdekaan Kosovo?

Masalah pengakuan terhadap kemerdekaan Kosovo yang
dideklarasikan secara sepihak itu memancing tanggapan
berbeda-beda antara para pakar dan politisi. Hingga
kini, pemerintah belum memutuskan apakah akan memberi
pengakuan. Masalah Kosovo mempunyai sejarah panjang,
berdarah, dan amat kompleks. Proses menuju ke deklarasi
kemerdekaan unilateral pun penuh kontroversi. Karena
itu, masalah pengakuan terhadap Kosovo yang
dideklarasikan secara unilateral perlu dilihat lebih
cermat dan hati-hati agar persoalan dan implikasinya
bagi kepentingan nasional dapat dilihat secara jernih
dan tidak dijadikan komoditas politik berdasarkan
pengamatan sejenak atau didorong sentimen etnis atau
agama.

Kosovo yang merupakan provinsi Yugoslavia/Serbia itu
berpenduduk 2,1 juta, terdiri dari 90 persen etnis
Albania yang Muslim, 5,3 persen etnis Serbia yang
Katolik Ortodoks, selebihnya etnis Bosnia dan minoritas
lain. Selama bertahun-tahun, etnis Albania merasa
didiskriminasi Pemerintah Serbia di Belgrade, menjadi
sasaran kekerasan dan tindakan represif.

Perkembangan situasi ini mendorong terjadinya perang
antara kelompok etnis Albania yang menamakan diri
Kosovo Liberation Army (KLA) melawan pasukan Yugoslavia
yang dengan kekuatan militer ingin mencegah Kosovo
memisahkan diri. Perang tahun 1996-1998 dapat
dihentikan dengan kampanye pengeboman NATO secara
besar-besaran terhadap sasaran-sasaran Yugoslavia,
dengan tujuan sebagaimana dinyatakan juru bicara
NATO, "Serbs out, peacekeepers in, refugees back".

Perlu ditekankan, serangan NATO ini amat kontroversial
karena merupakan intervensi militer yang dilakukan
tanpa persetujuan Dewan Keamanan PBB, yang berdasar
Piagam PBB berwenang menggunakan kekuatan militer
terhadap negara lain. Dengan demikian, intervensi
militer NATO dapat dikatakan sebagai "tindakan
unilateral kolektif".

Keterlibatan Dewan Keamanan PBB baru terjadi dalam
masalah Kosovo dengan diadopsinya Resolusi 1244 (1999)
pada 10 Juni 1999, yang menempatkan provinsi Kosovo di
bawah administrasi PBB dengan tugas membentuk
pemerintahan sementara untuk Kosovo, agar rakyat Kosovo
mendapat otonomi luas dan self-government di Kosovo
dalam Republik Federal Yugoslavia, sementara
penyelesaian final atas status Kosovo belum ditentukan.
Resolusi itu tidak menyebut bentuk penyelesaian final
atas masalah Kosovo, tetapi hanya memutuskan, solusi
politik atas krisis Kosovo harus mempertimbangkan
kedaulatan dan integritas teritorial Republik Federal
Yugoslavia.

Perundingan macet

Status final Kosovo dirintis melalui negosiasi yang
dimulai tahun 2006 di bawah pimpinan Utusan Khusus
Sekjen PBB Martti Ahtisaari, mantan fasilitator
Perundingan Helsinki mengenai Aceh. Negosiasi amat alot
karena kedua pihak, Serbia dan Kosovo, bersikukuh pada
posisinya, yakni Serbia hanya bisa menerima otonomi
luas bagi Provinsi Kopsovo, sedangkan Kosovo hanya bisa
menerima kemerdekaan Kosovo.

Akhirnya, tanggal 26 Maret 2007, kepada Dewan Keamanan
PBB, Ahtisaari melaporkan, perundingan mengalami
kemacetan. Namun, dia menyampaikan draf penyelesaian
status Kosovo yang mengusulkan agar Kosovo diberi
kemerdekaan di bawah supervisi sementara Uni Eropa
dengan angkatan perang NATO dan polisi Eropa. Usulan
ini ditolak Rusia dan China. Karena itu, Dewan Keamanan
tidak dapat menyetujui usulan Ahtisaari.

Upaya selanjutnya, perundingan langsung antara Serbia
dan Kosovo diupayakan dalam waktu 120 hari yang
difasilitasi Troika Contact Group (Amerika Serikat,
Rusia, dan Uni Eropa). Hasil perundingan dilaporkan
Sekjen kepada Dewan Keamanan pada 19 Desember 2007. AS
dan negara-negara Uni Eropa di Dewan Keamanan
menyatakan, perundingan telah gagal dan mendesak agar
status akhir Kosovo segera diputuskan. Sedangkan Rusia,
China, Ghana, Kongo, Panama, dan Afrika Selatan
menyarankan agar perundingan diteruskan.

Namun, Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara
Barat lain menolak. Perkembangan ini berujung pada
deklarasi kemerdekaan Kosovo yang didukung Amerika
Serikat dan beberapa negara Uni Eropa, tetapi ditolak
antara lain oleh Rusia, China, beberapa negara Uni
Eropa, dan Vietnam. Sedangkan beberapa negara anggota
Dewan Keamanan lainnya termasuk negara nonblok belum
menegaskan posisinya.

PBB dilecehkan

Dengan demikian, deklarasi unilateral kemerdekaan
Kosovo merupakan hasil pemaksaan negara-negara Barat
tertentu tanpa menghiraukan prinsip dasar hukum
internasional. PBB sekali lagi dilecehkan "unilateralisme
kolektif". Akibat dari proses ini Serbia telah
menyatakan tidak akan pernah mengakui kemerdekaan
Kosovo dan berjanji akan menggunakan diplomasi untuk
menggalang dukungan.

Sementara itu, prospek Kosovo menjadi anggota PBB amat
kecil karena dibayang-bayangi veto Rusia. Uni Eropa
tetap pecah. Di sisi lain, kemerdekaan Kosovo sudah
merupakan kenyataan hidup yang tampaknya sulit
dibatalkan (irreservible). Dari segi ini sebaiknya
pengakuan dicermati.

Bagi Indonesia, tidak ada alasan untuk tergesa-gesa
memutuskan untuk mengakui atau tidak kemerdekaan Kosovo
yang bermasalah itu. Pertimbangannya antara lain (1)
berdasar hukum internasional dan praktik negara, tidak
ada kewajiban bagi suatu negara untuk memberi pengakuan
kepada negara baru; (2) dalam praktik yang khususnya
terkait negara-negara pecahan Yugoslavia, Indonesia
mengakui negara-negara itu setelah mereka diterima
sebagai anggota PBB; (3) kemerdekaan Kosovo tidak
didukung PBB dan tidak sesuai prinsip hukum
internasional tentang kedaulatan dan integritas
teritorial; (4) kemerdekaan Kosovo bukan hasil
perjuangan melawan penjajah seperti Indonesia, tetapi
hasil separatisme yang didukung sekelompok negara
Barat, suatu preseden yang akan memberi peluang
separatisme di berbagai negara, termasuk di Indonesia;
(5) Indonesia harus konsisten berpijak pada prinsip
kedaulatan dan integritas teritorial; (6) deklarasi
kemerdekaan unilateral Kosovo tidak menjamin
terciptanya stabilitas dan perdamaian di kawasan
Balkan; (7) Indonesia berkepentingan lebih besar untuk
menjaga kredibilitas PBB dan untuk tetap membina
hubungan dengan Rusia dan China.

Nugroho Wisnumurti Senior Fellow, CSIS, Anggota Komisi
Hukum Internasional PBB, Mantan Dubes RI untuk PBB di
New York dan di Geneva








Kirim email ke