Oleh RUDY BADIL
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/01/06/00472689/pahit.sejarah.emas.majapahit



Sungguh keterlaluan, rentang waktu 25-an tahun ternyata bikin sosok
dan rupa orang menjadi kusut dan kisut. "Masku sudah lima tahunan kena
stroke karena hidupnya ngawur. Sekarang tidak aktif nyari dan dagang
emas buddho lagi. Doakan saja," ujar istri rekan yang menyebut Masku
untuk suaminya.

Pertemuan bulan Agustus tahun lalu di desa kecil kawasan Mojokerto,
Jawa Timur, semacam temu kangenan dengan narasumber lama. Masku yang
nama samaran, tahun 1980 sampai 1990-an terkenal sebagai "pedagang"
emas Majapahit, secara hukum memang melanggar hukum, tetapi kok kebal
ya. Padahal, Masku pernah mengaku sebagai salah satu bandar dan
"dalang" pencarian relik arkeologis, spesialis di situs kuno bekas
Kerajaan Majapahit.

Bagi kolektor dan peneliti arkeologi, Masku itu narasumber paten dan
tidak segan-segan memperlihatan hasil "temuannya" berupa pecahan benda
terakota, keramik china, dan terutama benda emas kuno. "Di kalangan
pedagang, emas galian itu kami sebut emas buddho, mungkin karena
agamanya orang Mojopait ya," begitu katanya waktu segar walafiat.

Pasaran emas dagangan Masku dihitung per gram dan selalu minimal lebih
dari dua kali lipat harga emas toko. "Emas cincin ini kadarnya 18
sampai 20 karat. Namun karena hiasannya bagus, harganya lima kali
harga emas di toko," begitu kira-kira kata Masku saat belum stroke.

"Saya bisnis karena permintaan pasar emas antik asal Jawa. Harganya
tak pernah turun, tetapi kalau yang ini, cuma dua kali lipat. Namun,
saya ragukan keasliannya, ini barang tembakan he-he," ujarnya.

Masku tidak pernah menuturkan sindikat organisasi pencari emas buddho
itu. Padahal, peneliti arkeologi lapangan suka senep melihat rombongan
warga Trowulan sering sekali ramai-ramai menjadi tukang ngendang alias
tukang gali dan pencari artefak arkeologis. Juga beberapa tahun lalu,
pengendang itu tidak segan-segan masih menggali dan mengayak tanah dan
lumpur di seputaran Kolam Segaran—kini proyek taman dan Pusat
Informasi Majapahit (PIM).

Konon pada masa kejayaan Majapahit, Kolam Segaran itu tempat pesta
foya-foyanya keluarga kerajaan. Gelas, pinggan, dan peralatan makan
minum dari emas kalau sudah dipakai langsung dilemparkan ke tengah
kolam. Makanya, pengendang yang mengobok-obok kolam itu mungkin berdoa
menemukan bokor, baki, atau baskom emas buddho.

Sejarah emas pahit

Emas memang daya tarik, bukan zaman sekarang saja, tetapi sejak
zadulnya Majapahit sudah merupakan patokan suatu kejayaan dan
kekayaan. Kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca tahun 1365
menyebutkan dalam beberapa pupuh, hal iring-iringan raja Majapahit
yang menghias kereta dengan perhiasan emas.

Juga dalam setiap pesta besar, semua peralatan pesta dan perjamuan
terbuat dari emas berhiaskan permata indah, termasuk kotak sirih
pinang berbalut emas. John Miksic dalam bukunya, Old Javanese Gold
(1989), juga mengutip syair pujangga Majapahit itu, khususnya soal
perisai dan hulu keris emas sebagai hadiah penghargaan buat ksatrianya.

Emas memang logam luhur. Bukan hanya Majapahit, tetapi semua kerajaan
kuno di Jawa mengagungkan pemanfaatan emas sebagai benda murni dan
gengsi. Sebab, sejak lama, ada sebutan Suvarnadvipa yang arti
harfiahnya "Pulau Emas". Kata ini berbeda dengan Javadvipa yang
bermakna "Pulau Makmur". Meski ada kata "java", kata itu bukan asal
muasal nama Pulau Jawa.

Mas Masku di zaman jaya-jayanya pernah memperlihatkan sekotak
perhiasan emas cakep- cakep, berbentuk cincin, anting, gelang, bandul,
cepuk, semacam kancing, butiran uang emas dan perak, cepuk, cawan,
serta perhiasan logam kuning kemerahan emas lainnya. "Barang ini dari
Jawa Tengah dan situs di seputaran Jawa Timur, tidak semua dari
Trowulan," ujar Masku yang saat itu lagi deal business dengan antique
dealer dan collector emas buddho dari Singapura.

Awal 1990, Masku juga membisniskan perhiasan emas temuan Situs
Wonoboyo, Klaten, Jateng. Tidak segan-segan Masku pun memamerkan
ratusan uang emas-perak sebesar jagung pipilan, cincin, cepuk, dan
lainnya.

Profesor Doktor Mundardjito yang arkeolog UI, saat itu sempat bingung
sedikit. Dia mengaku sejauh ini belum ada penelitian konsep asal
muasal emas menjadi "rajanya" logam mulia. Juga dunia penelitian
arkeologi kuno Jawa sejauh ini belum pernah menemukan titik terang
mana di mana asal usul pertambangan emas kuno, serta makna
keanekaragaman seni- kriya perhiasan emas di wilayah Jawa.

Sejauh ini, catatan klasik hanya menyebutkan nun di arah timur India,
ada lokasi yang didatangi saudagar India untuk membeli dan mencari
chryse atau emas. Juga dalam peta kuno dalam kitab Geographike
Hyphegenesis karya Claudius Ptolomeus buatan abad II Masehi agak jelas
menyebutkan di timur India ada Chryse Chora atau Negeri Emas, serta
Chryse Chenosenos atau Semenanjung Emas.

Namun, kitab kuno yang mencatat emas dan Jawa ada dalam kitab China
yang menulis sejarah Jawa kuno antara abad VIII-IX Masehi. Sejarah
T'ang Baru menulis: "Raja Jawa mengenakan pakaian emas dan permata".
Lalu suatu kronik China bertarikh 992 menyebutkan, serombongan utusan
tiba di China, membawa hadiah persembahan dari seorang Raja Jawa
berupa: "sebilah pedang pendek berhulu emas", serta "kain tenun benang
emas". Bahkan, ada tambahan kalimat, di antara rombongan utusan itu,
ada orang mengenakan "rantai emas melilit di leher, serta gelang emas
di pergelangan tangannya".

Soal uang emas juga tercatat dalam berita China bertarikh 1406, ketika
sekitar 170 prajurit China yang terbunuh dalam "perang saudara" di
Majapahit. Lalu utusan Majapahit pun mendatangi China seraya membawa
"upeti maaf" senilai 60.000 tail emas. Sementara itu, pelaut Portugis,
Tome Pires, melaporkan, pada tahun 1515 "orang di Jawa itu sangat kaya
raya, begitu makmurnya sampai-sampai kalung anjing pun dari emas"!

Emas, emas, emas, itu kata- kata sejak zaman Majapahit sampai zaman
rada pahit. Emas buddho di zaman Masku bisnis emas ilegal katanya
masih tetap dicari di seputaran situs kuno yang terus terang sulit
dijaga dan dirawat.

Bahkan, kalau melihat sekilas peta pembangunan Gedung PIM, di
sekitaran situs permukiman kuno Kerajaan Majapahit, wah rada-rada pahit.

Sebab, dari pengalaman serta informasi Mundardjito dan Masku, justru
di situs itulah orang-orang sering menemukan benda arkeologis berharga.

Benda itu bernilai tinggi, khususnya bagi koleksi sejarah Nusantara.
Namun, anehnya pembangunan ambisius PIM di situs tersebut justru tidak
pedulikan kandungan "isi lahan" di bawah proyek itu.

Kalau Masku cs pernah menggali liar, kini orang proyek PIM menggali
resmi, tetapi sama-sama merusak dan menghilangkan bukti kebesaran
sejarah Majapahit. Ah pahit! (Rudy Badil Wartawan Senior di Jakarta)

 

Kirim email ke