Masalah pengayaan bahan bakar (enrichment) Uranium memang menjadi salah satu 
titik penting dalam teknologi nuklir. Namun sejauh ini kita belum mendapatkan 
informasi lebih jelas tentang merk reaktor yang akan menjadi tulangpunggung 
PLTN di Indonesia. Jika memakai CANDU, omaka pengayaan Uranium tidak 
dibutuhkan, tetapi sebagai gantinya kita membutuhkan instalasi pengolahan air 
berat (D2O) ataupun membelinya langsung dari luar, dan itu mahal.

Pengayaan Uranium memang sensitif, namun sebenarnya teknologinya sudah umum 
diketahui dan sejauh ini ada "rumus umum" di antara sesama fisikawan (dan IAEA 
tentunya) tentang jumlah unit enrichment yang dibutuhkan untuk mencapai derajat 
nuclear power plant grade (2 - 3,8 % U-235) ataupun hingga nuclear weapon grade 
(> 60 % U-235). Yang dipersoalkan di Iran itu sebenarnya terfokus pada 
pembangunan recycle unit, sebab unit semacam ini biasanya memang baru dibangun 
oleh negara2 yang sudah "matang" dan berjibaku berpuluh tahun di lapangan 
teknologi nuklir, sementara Iran bisa dianggap baru kemarin sore. Dan dalam 
konteks geopolitik Timur Tengah, lagi2 Israel juga yang melempar batu sembunyi 
tangan dengan mencurigai kegiatan recycle ini, yang kemudian merembet ke 
enrichment dan akhirnya ke teknologi nuklir Iran secara keseluruhan. Ini memang 
sensitif. Sama sensitifnya dengan teknologi roket. 

(Btw, sekedar informasi, dengan keberhasilan LAPAN meluncurkan roket2 
eksperimentalnya, dan rencana untuk membangun SLV (Satelite Launch Vehicle 
alias roket peluncur satelit) nya sendiri, Indonesia mulai memasuki orbit 
"negara-negara yang dicurigai" dalam konteks Missile Technology Control 
Regiment (MTCR) sehingga kebutuhan akan perangkat instrumentasi, sistem kendali 
dan bahan bakar roket baik padat maupun cair menjadi sangat dipersulit).

Dan sepakat dengan mas Yorga, aspek paling kritikal dari rencana pembangunan 
PLTN di Indonesia terletak pada kemandirian energi. Tentu tidak lucu jika kita 
akhirnya menggunakan satu merk reaktor tertentu, namun berimplikasi pada 
kebutuhan bahan bakar nuklir dan perangkat lainnya yang harus dipasok oleh 
penjual yang bersangkutan, tanpa sedikitpun melihat pada potensi yang ada di 
bangsa sendiri. Di sini memang kita harus mencontoh India, yang memulai 
pengembangan teknologi nuklirnya pada saat yang bersamaan dengan Indonesia, 
namun pada saat bersamaan mereka mem-push industri berat dan pendukung dalam 
negeri, sehingga mereka kini relatif tak begitu tergantung pada pihak luar 
untuk merumuskan arah pengembangan teknologi nuklirnya.

Salam,


Ma'rufin




________________________________
From: yyoorrggaa <yyoorrg...@yahoo.com>
To: fisika_indone...@yahoogroups.com
Sent: Wednesday, January 7, 2009 1:56:34 AM
Subject: Bls: [FISIKA] Re: 50 LSM Rapatkan Barisan, Tolak PLTN


Betul bang zul, itu dia masalahnya: siapa yang akan meng-enrich- nya? 

Kasus Iran misalnya, dia memiliki tambang2 uranium alamiah. tetapi 
saat mereka mengembangkan teknologi pengayaan sendiri, amerika dan 
sekutu2nya bereaksi. Iran sanggup bertahan karena model politik yang 
kuat, dan rakyat yang mendukung. Yg sayangnya hal ini barang mewah di 
Indonesia.

Recycle bahan bakar nuklir, AFAIK, adalah mengekstrak componen 
radioaktif dari sisa "pembakaran" Uranium. tujuan awalnya mengurangi 
volume sampah2 radioaktif. hasilnya adalah reduksi volume 99%, keren 
ya :-), tapi masalahnya ada 2.
1. setahu saya bahan bakar daur ulang ini memerlukan tipe reaktor 
yang berbeda dengan reaktor yang biasa (saya kurang ingat tipe 
reaktor apa). Jadi perlu dua tipe reaktor berbeda yang di bangun. 
2. biaya dan teknologi daur ulang ini sangat tinggi. dan baru 
dikuasai oleh Areva (prancis). sehingga untuk mendaur ulang ini nanti 
kita harus tetap membayar mahal, dan mungkin lebih mahal dari uranium 
baru. 

jadi makin penasaran

wassalam
Yorga

Reply via email to