Pandji R Hadinoto / www.jakarta45.wordpress.com Senin 29. of Juni 2009 13:58 Tanah Indonesia Digadaikan OLEH: SIGIT WIBOWO
Jakarta - Penerbitan obligasi syariah (sukuk) de-ngan menjadikan aset-aset Republik Indonesia sebagai jaminan (underlying) merupakan bentuk penggadaian martabat dan harga diri bangsa. Penerbitan obligasi tersebut bertentangan dengan UUD 45, karena menjadikan uang recehan sebagai imbalan atas harga diri bangsa Indonesia. “Paradigma utang masih menggunakan pendekatan neoliberalisme, sehingga harga diri bangsa pun digadaikan hanya untuk mendapatkan uang recehan,” kata Koordi-nator KAU Dani Setiawan di Jakarta, Senin (29/6).. Aset-aset nasional berupa fasilitas publik seharusnya digunakan untuk kepentingan umum, bukan untuk memenuhi dahaga para ekonom neoliberal yang ingin menjerumuskan Indonesia. “Paradigma sesat ini harus dihentikan karena menjadikan bangsa Indonesia tertawaan di pergaulan internasional,” katanya. Ia menyatakan, setelah Gelora Bung Karno dan Kemayoran digadaikan, simbol-simbol ke-daulatan lain juga digadaikan. “Setelah itu gedung-gedung pemerintahan atau Monas juga bisa digadaikan oleh para ekonom fundamental pasar ini,” paparnya. Harga Diri Ekonom Tim Indonesia Bangkit Ichsannudin Noorsy mengecam harga diri bangsa yang ditukarkan dengan obligasi syariah atau sukuk. “Para ekonom neoliberal secara vulgar menunjukkan keberingasannya dengan menggadaikan aset-aset negara,” katanya. Sejak diberlakukannya UU SBSN 2008, pemerintah ingin mengoptimalkan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) aset-aset negara. Ia mencontohkan Kema-yoran yang memiliki luas sekitar 136 hektare digadaikan 20 juta per meter persegi sehingga pemerintah bisa meraup dana Rp 27 triliun. “Tindakan ini merupakan pengkhianatan terhadap konstitusi dan mengingkari cita-cita Republik ini,” katanya. Menurutnya, sukuk tersebut juga tidak bisa dibenarkan secara pendekatan agama. “Membebas-kan PPH dan PPN itu sama artinya membebankan orang miskin untuk mensubsidi orang kaya,” katanya. PPN dan PPH yang harusnya bisa dipungut pemerintah untuk membantu orang miskin justru digunakan untuk menolong orang kaya. Ia tidak habis pikir pejabat Depkeu yang memiliki pola pikir sesat dengan menyatakan mahalnya penerbitan obligasi dan sukuk global sebanding dengan manfaat yang jauh lebih besar di tengah kondisi krisis ekonomi global. Apalagi, mengklaim yield (imbal hasil) obligasi maupun sukuk global yang diterbitkan pemerintah di awal tahun dinilai masih wajar di tengah kondisi krisis ekonomi global. “Statement-statement seperti itu menunjukkan untuk menda-patkan utang, mereka sanggup menjual harga diri bangsa ataupun menjual masa depan bangsa,” katanya. Yield (imbal hasil) ditentukan melalui mekanisme pasar (supply dan demand), menujukkan ia penga-nut ekonomi neoliberal atau fundamentalisme pasar. Seperti diketahui, pemerintah telah menerbikan sukuk pada bulan April 2009 berjangka waktu lima tahun dengan yield 8,8 persen. Yield tersebut lebih rendah dibanding global bond lima tahun dengan yield 10,5 persen. Gelora Bung Karno dan Kemayoran telah dijaminkan hanya untuk mendapatkan uang recehan dari investor Timur Tengah. [Non-text portions of this message have been removed]