Kekuatan Finansial (Quwwatul Maal), Bagian  ke-2 
Fiqih Dakwah
Oleh: Tim Kajian Manhaj Tarbiyah 
________________________________
   
A. Harta itu milik Allah (Al  Maalu Lillah)المال للّه
dakwatuna.com – Allah SWT adalah Dzat yang  memberikan jaminan rezki kepada 
kita, ini menunjukkan bahwasanya Allah  pun berhak mengatur peruntukan rezki 
yang ada pada kita. Manusia yang  tidak menyadari akan hal ini menganggap 
bahwasanya rezki itu adalah  hasil kerja kerasnya sendiri tanpa ada campur 
tangan Allah SWT. Perilaku  ini digambarkan oleh Allah SWT ketika menceritakan 
tentang kepicikan  Karun. Allah berfirman:
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي  أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ 
قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ  الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً 
وَأَكْثَرُ جَمْعًا وَلَا  يُسْأَلُ عَنْ ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ
Karun berkata,“Sesungguhnya aku hanya diberi  harta itu, karena ilmu yang ada 
padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui,  bahwasanya Allah sungguh telah 
membinasakan umat-umat sebelumnya yang  lebih kuat daripadanya, dan lebih 
banyak 
mengumpulkan harta? Dan  tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa 
itu, tentang  dosa-dosa mereka.”(QS. Al-Qashash: 78)
Tuntutan yang dikehendaki Allah terkait dengan harta kita adalah  dalam bentuk 
Infaq di jalan Allah SWT untuk menegakkan agama-Nya di muka  bumi ini.
Dari Abu Hurairah ra. katanya, Rasulullah saw bersabda: ”Kelak  bumi akan 
memuntahkan jantung hatinya berupa tiang-tiang emas dan perak.  Maka datanglah 
seorang pembunuh seraya berkata: ”Karena inilah aku jadi  pembunuh. Kemudian 
datang pula si perompak, lalu berkata: ”Karena  inilah aku putuskan hubungan 
silaturrahim. Kemudian datang pula si  pencuri seraya berkata: ”Karena inilah 
tanganku dipotong” Sesudah itu  mereka tinggalkan saja harta kekayaan itu, 
tiada 
mereka mengambilnya  sedikitpun.” (Muslim)
Pada dasarnya semua manusia menyenangi kekayaan dan harta benda.  Kadangkala 
karena mengejar harta, didominasi hawa nafsu dan bisikan  syaitan malah ada 
manusia yang sampai rela berbunuh-bunuhan, merampok,  korupsi bahkan memutuskan 
silaturrahim. Dunia dicipta sebagai ujian buat  manusia, siapakah yang paling 
bertaqwa. Sesungguhnya harta dunia tidak  akan membawa arti apa-apa jika tidak 
dimanfaatkan ke jalan yang diridhai  Allah.
Hakikat harta diterangkan Rasulullah saw seperti sabdanya yang  diriwayatkan 
oleh Abu Hurairah:
“Seorang hamba (manusia) berkata, ‘Hartaku, hartaku!’ Padahal  hartanya itu 
sesungguhnya ada 3 jenis: (1) Apa yang dimakannya lalu  habis. (2) Apa yang 
dipakainya lalu lusuh. (3) Apa yang disedekahnya  lalu tersimpan untuk akhirat. 
Selain yang 3 itu, semuanya akan lenyap  atau ditinggalkan kepada orang lain”. 
(Muslim)
Harta pada dasarnya bersifat netral. Ia tidak mulia atau hina, baik  atau 
buruk. 
Ia lebih sebagai ujian bagi sifat dasar manusia terhadap  Allah SWT. Dengan 
harta itu, mampukah ia menjadi hamba yang lebih dekat  kepada−Nya, atau justru 
menjadi budak harta yang terlena dan terpedaya  olehnya. Pendek kata, ia 
merupakan cobaan bagi keimanan dan ketaatan  hamba kepada Sang Pencipta. Firman 
Allah SWT:
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ  وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ 
عَظِيمٌ
”Sesungguhnya hartamu dan anak−anakmu hanyalah cobaan (bagimu).  Di sisi 
Allahlah pahala yang besar.” (QS. At−Taghabun: 15).
Ayat di atas tidak hanya memastikan bahwa harta adalah ujian, namun  juga 
menunjukkan sesungguhnya harta juga jenis kenikmatan duniawi  lainnya seberapa 
pun besarnya, tidak memiliki nilai sama sekali di  hadapan Allah. Sebanyak apa 
pun harta yang dimiliki seseorang, ia tetap  kecil di hadapan Allah dan tidak 
kekal. Tapi, yang bernilai adalah  ketika harta itu bisa difungsikan dengan 
tepat, sesuai dengan yang Allah  amanahkan. Jika demikian, maka pahala di sisi 
Allahlah yang menjadi  balasannya.
قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ  لِمَنِ اتَّقَى وَلَا 
تُظْلَمُونَ فَتِيلًا
“Katakanlah: Kesenangan di dunia ini hanya sebentar (sementara).  Dan, akhirat 
itu lebih baik untuk orang−orang yang bertaqwa dan kamu  tidak akan dianiaya 
sedikit pun.” (QS. An−Nisaa’: 77).
Rasmul  Bayan "Quwwatul Maal (Kekuatan Finansial)"
Begitulah Allah SWT menjelaskan hakikat harta dan segala kenikmatan  dunia 
lainnya. Sebagai ujian, ia ditimpakan kepada siapa saja, lintas  strata, dan 
tanpa pandang bulu: orang kaya, orang miskin, cendekiawan,  pejabat, dan bahkan 
agamawan. Masing−masing diuji dengan harta yang ada  pada mereka.
Kesadaran memahami kehidupan dunia sebagai ujian semacam ini perlu  dibangun 
agar harta tidak membutakan mata hati dan memalingkan manusia  dari Allah SWT.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُلْهِكُمْ  أَمْوَالُكُمْ وَلَا 
أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ  ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ 
الْخَاسِرُونَ
”Hai orang−orang yang beriman, jangan sampai harta-hartamu dan  anak-anakmu 
melalaikanmu dari Allah. Siapa yang terlalaikan oleh harta  dan anak, maka 
mereka itulah orang−orang yang rugi.” (QS.  Al−Munafiqun: 9).
Karena itu, sikap terbaik dalam menjalani hidup adalah berperilaku  zuhud. 
Zuhud 
adalah sikap di mana kita tidak merasa bangga, buta hati,  dan terpedaya dengan 
harta dan segala kenikmatan dunia. Sebaliknya, kita  juga tidak merasa 
kehilangan dan berduka ketika segala kenikmatan  tersebut dicabut dari kita. 
Allah berfirman:
لِكَيْ لَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا  تَفْرَحُوا بِمَا ءَاتَاكُمْ 
وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ  فَخُورٍ
”Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari  kamu, dan supaya 
kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang  diberikan−Nya kepadamu. Dan 
Allah 
tidak menyukai setiap orang yang  sombong lagi membanggakan diri.” (QS. 
Al-Hadid: 23).
Orang yang bersikap zuhud niscaya akan selalu tenang menjalani hidup  dan 
selalu 
merasa cukup dan puas dengan apa yang ada pada dirinya. Ia  tidak sombong dan 
terlena dengan harta karena menyadari betul ia  hanyalah amanah dari Allah 
untuk 
dipergunakan dengan tepat.
Seorang sufi menyatakan, ”Kekayaan itu adalah kepuasan.” Yakni, puas  dengan 
apa 
yang ada pada kita. Suburnya korupsi di negeri ini, antara  lain, karena banyak 
dari kita yang rakus, tidak amanah, dan telah  diperbudak oleh harta. Orang 
yang 
demikian tidak akan ada puasnya.  Sebab, ia sudah dikendalikan oleh harta dan 
bukan dia yang mengendalikan  harta.
- Bersambung…

Kirim email ke