----- Forwarded Message ----
From: ahmad farabi <al_farab...@yahoo.com>
To: tazkia alumni <tazkiaalu...@yahoogroups.com>; tazk...@yahoogroups.com; UIA 
groups <indoati...@yahoogroups.com>
Sent: Sun, July 25, 2010 3:38:15 AM
Subject: [tazkiaalumni] "Saya Ditusuk Kalau Tidak Ngelem, Kak..."

  

---- Pesan Diteruskan ----
Dari: Fajar Fauzi Hakim <crazydawn22@ yahoo.co. uk>
Kepada: fisikateknik05@ yahoogroups. com; Format ITB <format_...@yahoogro 
ups.com>; asgar_m...@yahoogro ups.com; alumni_da_garut@ yahoogroups. com
Terkirim: Ming, 25 Juli, 2010 08:30:38
Judul: [alumni_da_garut] "Saya Ditusuk Kalau Tidak Ngelem,  Kak..."

  
"Saya Ditusuk Kalau Tidak Ngelem, Kak..."
by: M. Zakky Ramadhani


Jika ada pedagang yang paling banyak meraup untung di lokasi  terminal Ciroyom 
Bandung, pastilah dia Bandar lem aibon.

Itu opini pribadi yang muncul karena melihat fakta di lapangan. Bahwa  dari 
sekitar 12 orang anak jalanan yang hadir di kegiatan rumah belajar  (rumbel), 
hanya 2-4 orang yang tidak ngelem. Selebihnya nge-fly dengan  lem aibon. Mereka 
addicted, susah untuk berhenti. Mungkin kasusnya sama  dengan orang yang 
kecanduan narkoba atau rokok.

umur mereka bervariasi, rata-rata antara 5-17 tahun. Pakaian mereka  lusuh, 
bahkan sangat lusuh karena nampaknya tidak dicuci untuk waktu  yang lama. 
Diantara mereka ada yang pakai sandal, ada yang tidak.  Kalaupun memakai sandal 
kaki mereka tetap saja kotor. Bau lem yang  menyengat menambah identitas serta 
“jati diri” mereka. Tak lupa sambil  menyembunyikan lem tersebut di dalam kaos 
mereka, kami semua melanjutkan  belajar.





Bagaimana mereka bisa hidup di lingkungan seperti ini?

Itu pertanyaan yang saya lakukan terhadap diri saya. Karena jujur saja,  
pertama 
kali masuk ke rumbel Ciroyom saya langsung disuguhi  uninconvinience things—bau 
menyengat. Pertama adalah bau lem aibon  karena mayoritas mereka ngelem. Kedua 
adalah bau sampah yang menggunung  di belakang rumbel. Tumpukan sampah memang 
tidak banyak, kira-kira hanya  sebesar rumah sederhana. Tapi bau busuk yang 
menyengat tidak bisa  dikatakn sepele mengingat saya tak bisa berlama-lama 
menghirup bau  seperti itu. Bau yang bisa membuat pusing dan muntah. Beberapa 
kali  kepala saya pusing luar biasa menahan bau aneh tersebut.

Namun karena teman-teman saya dari FIM 9 Bandung punya niat yang kuat  untuk 
berbagi dan memahami permasalahan anak jalanan Ciroyom, saya  kesampingkan bau 
busuk tadi. Bau busuk tadi berganti dengan nyanyian  riang khas anak jalanan, 
cerita dan celotehan mereka, gambar abstrak  yang mereka buat, kerajinan tanah 
liat yang lumayan keren, serta  beberapa pertengkaran kecil akibat hal 
sepele—sangat menusiawi. Bahwa  mereka juga butuh ruang untuk berekspresi dan 
mendapat perhatian. mereka  juga sama seperti kita.

Dari pertemuan sebelumnya, kita sudah mengagendakan bahwa setiap anggota  FIM 9 
Bandung harus membawa “oleh-oleh” bergizi jika berkunjung ke  rumbel Ciroyom. 
Kita melihat anak jalanan tidak memperhatikan pemenuhan  gizi mereka. Mereka 
makan apa adanya dan terlalu banyak mengkonsumsi uap  lem—walaupun sebenarnya 
bukan barang konsumsi. Maka diantara kami ada  yang membawa biskuit, es krim, 
buah-buahan, kue, dan camilan keripik.  Memang, makanan tersebut tidak membuat 
mereka meninggalkan lem. Tapi  setidaknya mengalihkan perhatian mereka untuk 
sementara dari  ketergantungan ngelem, karena bagaimanapun setelah itu mereka 
ngelem  kembali.

Cobalah kalian berkunjung ke sana dan amati baik-baik. Secara kasat mata  kita 
bisa membedakan anak yang tidak ngelem dan anak yang berada di  bawah pengaruh 
lem. Untuk anak yang sedang ngelem tatapan mereka kosong  dan bicaranya kadang 
tidak jelas. Bagi beberapa anak kadang tidak  mengakap apa yang kita bicarakan. 
Kita Tanya A mereka jawab B, persis  seperti orang yang lanjut usia. Mereka 
memasukkan tangan mereka ke dalam  bajunya dan menempelkannya ke hidung. Kalian 
tahu, di dalam baju mereka  terdapat lem? Ya, lem aibon yang biasa kalian pakai 
untuk sol sepatu  yang sobek. Lem yang biasa dipakai untuk merekatkan mainan 
adik saya di  rumah. Lem yang biasa dipakai untuk menempelkan kayu atau 
beberapa  
material bangunan. Lem berwarna orange yang rasanya bukan rasa jeruk,  tetapi 
lem dengan zat aditif. Dan hari ini mereka mengkonsumsinya (baca:  ngelem) 
seperti layaknya orang makan tiga kali sehari.

Intensitas mereka ngelem dalam sehari tidak bisa dianggap remeh.  Rata-rata 
bisa 
menghabiskan 4-5 kaleng lem aibon. Itu jumlah yang biasa  dihabiskan oleh 
kebanyakan anak. Faktanya ternyata masih ada anak  jalanan yang bisa memecahkan 
rekor. Ada yang bisa menghirup lebih dari  15 kaleng aibon dalam satu hari! 
Saya 
tak habis pikir bagaimana jadinya.  Jangankan mengkonsumsi 15 kaleng, menghirup 
baunya saja saya sudah mau  muntah.

Saat saya tanya mengapa mereka ngelem, jawabannya rata-rata karena  ikut-ikutan 
teman. Bahkan atas nama solidaritas kelompok mereka harus  ngelem. Seorang anak 
berkata, “Saya ditusuk kalau tidak ngelem, kak…”

Oh God, kapan saya bisa tentram mendenger hal seperti ini? saat saya  ingin 
mengubah keadaan tapi seakan tak bisa. Ketika semuanya menjadi  dilema, buah 
simalakama. Ketika sebuah solusi tak lain adalah  permasalahan baru yang 
berefek 
domino. Karena sebuah masalah tak cukup  diselesaikan dengan harapan klise, 
“semoga semuanya baik-baik saja…”

Pikiran pendek saya saat itu adalah mencari siapa si pengancam yang akan  
menusuk jika tidak ikut ngelem. Saya akan seret ke penjara, saya tampar  
bolak-balik, saya tinju, laporkan polisi, hajar sampai kapok! Tapi  kalaupun 
itu 
dilakukan, bukankah saya akan sama saja derajatnya dengan  si pengancam 
tersebut? Tak lebih dari pengancam baru dengan jubah yang  lebih ‘sopan’.

Yang mereka butuhkan sekarang adalah kehadiran dan perhatian kita.  Mereka 
ingin 
belajar namun tak ada yang mengerti dan mau menemani  mereka. Mereka ingin 
bicara tentang cita-cita namun tak ada yang mau  mendengar impian besar mereka. 
Mereka ingin belajar matematika tapi tak  ada yang mau menghitung bersama. 
Mereka ingin hidup bersih tapi tak ada  yang mau memberi tahu. Mereka rindu 
pada 
Tuhan tapi tak ada yang  berinisiatif mengajak ke jalan-Nya.
---


Momen paling sentimentil waktu itu adalah ketika menjelang solat maghrib  dan 
belajar Iqro. Ketika semuanya telah selesai wudhu, salah satu dari  kita hendak 
maju menjadi imam. Wajar, karena kami—mahasiswa—merasa punya  kapasitas menjadi 
imam. Namun secara tiba-tiba salah seorang dari anak  jalanan maju dan dengan 
percaya diri dia berikrar untuk menjadi imam.  Sempat terjadi keraguan diantara 
kami karena untuk menjadi imam tidak  boleh sembarangan. Namun dengan berbagai 
pertimbangan akhirnya kami  persilakan. Dan kalian tahu hasilnya? Lumayan, 
tidak 
mengecewakan.  Bacaan solatnya cukup lancar, walau dari segi tajwid harus ada 
sedikit  penyempurnaan.

Momen kedua adalah ketika belajar Iqro. Saya benar-benar heran mereka  semangat 
sekali belajar. Mereka menikmati setiap huruf hijaiyyah yang  kelur dari lisan 
masing-masing. Bahkan beberapa ada yang memaksa untuk  terus membaca Iqro. 
Tahukah kalian, mereka membaca Iqro sambil ngelem?  Iya, ngelem.
---


George Simmel pernah menulis dalam The Stranger: “The stranger is close  to us, 
insofar as we feel between him and ourselves common features of a  national, 
social, occupational, or generally human nature. He is far  from us, insofar as 
these common features extend beyond him or us, and  connect a great many 
people”.

Yang saya tangkap dari maksud George Simmel adalah secara spasial kita  dekat 
dengan ‘stranger’, yang dalam kasus ini bisa diasosiasikan sebagai  anak 
jalanan. Di setiap sudut kota fenomena anak jalanan bisa ditemui  dengan mudah. 
Bahkan kadang mereka yang datang menghampiri rumah kita.  Namun secara sosial, 
belum tentu kita dekat dengan mereka. Kesadaran  kita belum bisa tergugah 
sepenuhnya untuk ikut memikirkan bagaimana  seharusnya bersikap terhada anak 
jalanan. Kita menganggap mereka hanya  perlu materi untuk hidup, setelah itu 
selesai. Padahal, lebih dari itu,  mereka membutuhkan ‘teman’ untuk belajar.

KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) pernah diprotes oleh  murid-muridnya 
karena selalu mengulang membaca surat Al-Ma’un  berulang-ulang padahal mereka 
sudah hapal di luar kepala. lalu beliau  menjelaskan mengapa selalu mengulang 
surat tersebut. Bahwa isi surat  tersebut mengandung sikap dan adab terhadap 
anak yatim, fakir, dan  miskin. Selama amalan tersebut belum dilakukan, maka 
surat Al-Ma’un akan  tetap dibaca berulang-ulang. Kira-kira begitulah intinya.

Bagaimana dengan kalian yang masih sibuk dengan urusan pribadi yang tak  pernah 
selesai? Yang tak pernah punya kesempatan untuk memikirkan sesama  karena 
terlalu sibuk mengurusi masalah tak penting? Yang terlalu banyak  menghitung 
kekurangan diri sendiri padahal masih banyak orang yang jauh  kekurangan dari 
kalian? Yang selalu jago mengungkapkan sejumlah hal  negatif dari televisi tapi 
tak pernah benar-benar mau merubahnya? Yang  selalu bicara perubahan untuk 
Indonesia tapi tak pernah mau mencium bau  anak jalanan dan bersentuhan dengan 
mereka? Yang bisa membeli barang  mewah jutaan rupiah tapi tak bisa memberi 
seliter susu untuk anak  jalanan?

Saya tidak sedang menghimbau untuk ramai-ramai memberi uang di jalan  kepada 
anak jalanan karena itu sudah dilarang dan diatur dalam Perda.  Tetapi jika 
kalian punya waktu, tenaga, dan kesempatan untuk berbagi,  cobalah datang ke 
rumah belajar atau tempat penampungan anak jalanan.  Lihat sekeliling dan amati 
baik-baik. Lihat tingkah mereka yang  hiperaktif, memberontak, tidak bisa diam, 
dan seolah-olah ingin  diperhatikan. Pikirkan, bukankah itu sebuah ‘panggilan’? 
panggilan untuk  mau memahami dan mengajari mereka. Panggilan untuk mengajak 
mereka  belajar tentang apapun. Panggilan untuk kita bahwa kita juga harus  
belajar dari mereka tentang konsep kesejahteraan, pemenuhan kebutuhan,  budaya 
jalanan, dan survival. Bukankah itu sebuah ‘panggilan’?

Setiap mahasiswa fakultas atau kampus, atau siapapun rasanya bisa  mengajak 
mereka belajar dan bermain setiap satu bulan sekali minimal,  atau mungkin dua 
minggu sekali, atau mungkin seminggu sekali? Tak perlu  membawa makanan apalagi 
uang, karena mereka sudah bisa memenuhi  kebutuhan hidup mereka SENDIRI 
walaupun 
makan apa adanya. Mereka hanya  butuh teman untuk berbagi dan belajar. Mereka 
perlu orang untuk membuka  kunci pikiran yang terbelenggu. Mereka butuh 
penerang 
untuk menunjukkan  jalan menuju impian besar yang dipendam—cita-cita. Dan 
mereka 
butuh  orang yang bisa mengurangi ketergantungan terhadap lem.

Universitas dengan berbagai fakultasnya pasti punya concern di bidang  
kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, budaya, seni, lingkungan, dan lain  
sebagainya. Hal itu bisa diterapkan pada kehidupan anak jalanan.  Mahasiswa 
dari 
fakultas kedokteran pasti punya konsep yang jelas  mengenai pola hidup sehat 
bagi anak jalanan. Mahasiswa dari fakultas  pendidikan setidaknya mengetahui 
model pembelejaran yang cocok untuk  diterapkan pada anak jalanan. Begitu juga 
dengan mahasiswa lain dan  pelajar. Rumah belajar merupakan salah satu tempat 
yang bagus untuk  menerapkan konsep yang didapat dalam kuliah karena 
bersentuhan 
langsung  dengan objek kajian.


Waktu luangmu adalah harapan terbesar mereka. Selamat Hari Anak Nasional  untuk 
semua.




Gambar: http://browse. deviantart. 
com/?q=anak+jalanan&order=9&offset=72#/d1270bv
 

________________________________

Fajar Fauzi Hakim
Jl. Ahmad Yani No.5 Garut
+628122280187
http://dawniverse. blogspot. com

________________________________





 


      

Kirim email ke