ANDA MAU TAU APA BAKAT ANDA ?

Aku harus temukan bakatku! Ini tekadku sekarang. Sudah bulat. Tidak bisa 
diganggu gugat dan ditunda lagi. Cukup sudah 20 tahun aku hidup tanpa tahu apa 
bakatku. 


Tekadku ini bermula ketika aku menonton pertandingan karate Sarah, teman 
kampusku. Aku berdecak kagum melihat kepiawaiannya saat tanding. Dulu aku tak 
menduga gadis manis yang imut-imut itu adalah atlet karate. Saat tahu, aku 
benar-benar berdecak kagum. Bukan hanya karena ia seorang karateka profesional, 
tapi juga karena ternyata ia sudah menekuni bidang ini bahkan sejak ia belum 
bisa membaca. Umur 5 tahun! Kaget aku mendengarnya. Katanya, ayahnya juga 
seorang karateka dan sejak umur 5 tahun itulah ayahnya mengajarinya karate. 
”Setelah dijalanin, ternyata karate emang enak dan gue ngerasa banget emang 
bakat gue disitu” ujarnya saat itu. Oo..aku hanya bisa ber-o panjang. ”Dan 
kalau 
kita tekunin bidang yang emang bakat kita, pasti kita berhasil deh!” tambahnya 
lagi. Begitu ya. Jadi, kalau udah bakat jalaninnya bakal gampang dan gampang 
berhasil juga. Padahal dari dulu aku lebih suka memperhatikan orang lain 
daripada diriku, apa kesukaan mereka, keahliannya, dan macam-macam lainnya. 
Tapi 
ucapan Sarah menggetarkanku. 


Aku pegang ucapan Sarah itu dan bertekad akan mencari apa bakatku sebenarnya. 
Dari dulu, aku tak pernah fokus terhadap satu bidang. Saat TK, ada lomba 
mewarnai aku ikut, ada lomba melukis juga ikut, lomba baca puisi, peragaan 
busana sampai lomba sholat berjamaah aku ikuti. Saat SD juga sama. Tapi, 
prestasi yang aku capai dalam bidang-bidang tersebut juga biasa saja. 
Paling-paling juara harapan atau paling hebat juara III, tidak pernah menembus 
juara I. ”Yah...anak saya memang nggak bakat lukis bu...” itu ucapan ibu kepada 
Tante Mia, ibunya Mayang temanku, yang aku ingat saat mengantarku ikut lomba 
lukis dulu waktu aku kelas 3 SD di Taman Mini. Saat itu aku tidak menang 
sedangkan Mayang berhasil menggondol sebuah piala emas besar bertuliskan ”Juara 
I”. Saat itu aku hanya cengar-cengir saja. Wajar saja Mayang menang. Sejak TK, 
ia memang sudah sering menang perlombaan serupa. Waktu aku ke rumahnya, piala 
nya banyak sekali dan memang mayoritas dari hasil lomba melukis. Orangtua 
Mayang 
juga sangat mendukung anaknya dengan membelikan peralatan lukis yang 
bagus-bagus 
dan memasukannya ke sanggar lukis ternama. 


Jadi aku tidak menang karena aku tidak berbakat. Jadi aku santai saja. Mungkin 
memang bakatku tidak disitu. Pasti di tempat lain. Itu pikirku saat itu. Dan 
sampai sekarang, 10 tahun sejak peristiwa perlombaan itu, aku masih belum 
menemukan dimana bakatku. Kata orang bakat itu musti dicari. Kalau tak dicari, 
takkan ditemukan. Maka, perjalananku mencari bakat dimulai. 


Aku pernah mencoba menyanyi. Iseng-iseng ikut lomba karaoke saat 17 Agustusan 
di 
daerah rumahku. Sebelum tampil, nyaliku sedikit ciut karena peserta lain 
benar-benar memiliki suara yang aduhai. Saat giliranku tiba, aku makin 
deg-degan. Lagu dimulai. Aku mulai menyanyi perlahan. Aku merasa suaraku 
seperti 
suara kodok. Namun, aku tetap memaksakan diri tersenyum dan menyanyi karena di 
bawah panggung sana keluargaku memberiku semangat sambil bertepuk tangan. 
Sampai 
tiba pada bagian reff lagu, nada pada bagian itu cukup tinggi. Saat latihan 
pun, 
aku kadang kesulitan mencapai nada tersebut. Apalagi sekarang dalam suasana 
grogi dan dilihat banyak orang. Dan....hiiik. ..akhirnya aku tak berhasil 
mencapai nada tinggi tersebut. Suaraku seperti orang yang tercekik dan seketika 
itu pula para penonton riuh menertawakanku. Cukup sudah menyanyi! Tak ada bakat 
disana! 


Setelah peristiwa yang menjatuhkan harga diriku tersebut, aku benar-benar yakin 
bakatku bukan pada seni. Mungkin olahraga. Ya! Olahraga! Akhirnya mendaftarlah 
aku di tempat latihan karate Sarah. Dengan harapan mungkin disinilah bakatku. 
Walaupun aku pemula dan Sarah sudah jauh tingkatannya diatasku tapi aku tak 
peduli. Aku latihan tiga kali seminggu. Senin, Rabu, dan Jum’at. Awalnya aku 
bersemangat karena ini pertama kalinya aku ikut latihan bela diri seperti ini. 
Namun, lama-lama aku kelelahan sendiri. Latihan tiga kali seminggu dan sampai 
malam membuat kondisi fisikku drop. Belum lagi setiap pulang latihan badanku 
pasti pegal dan ngilu-ngilu. Duh! Bukannya bakat yang ditemukan, malah habis 
uang untuk beli balsem! 


Setelah itu aku mau mencari bakat yang tidak membuat fisikku sakit. Aku mau 
mencoba menulis. Ini karena Mia, teman sekampusku, yang sering sekali menulis. 
Ia sering menulis apa saja. Cerpen, puisi, ataupun artikel yang kemudian 
dipajang di mading kampus atau dikirimkannya ke majalah-majalah. Menulis tidak 
akan membuat badanku ngilu-ngilu seperti latihan karate. Maka aku mau 
mencobanya. 

”Mi, nulis susah gak sih?” tanyaku suatu ketika pada Mia.
”Nggak kok. Coba aja dulu. Nulis puisi kek atau apa gitu” 
”Lo awalnya kenapa tertarik nulis?” tanyaku lagi.
”Iseng aja sih awalnya. Eh, ternyata keterusan. Lagipula gue orangnya gak bakat 
ngomong. Gak bisa gue ngomong di depan orang banyak gitu. Jadi, gue lebih baik 
nulis. Mungkin bakat gue gak di ngomong, tapi di nulis” jelasnya.
Oh...bakat lagi. Makin mantap aku menulis. Mungkin disinilah bakatku ditemukan. 

Enam bulan kemudian aku berhenti menulis. Bukan...bukan karena badanku jadi 
pegal-pegal atau karena ditertawakan orang. Tapi aku kesal. Habis, ketika 
sedang 
semangat-semangatny a menulis aku bisa menulis sampai tiga buah puisi setiap 
harinya. Setiap minggu bisa menghasilkan satu artikel dan cerpen. Namun, setiap 
yang aku kirim ke majalah tidak pernah dimuat. Mading-mading kampus pun tak mau 
menerima. Kurang ilmiah katanya. Huh...padalah sudah semangat dan susah payah 
begini. Kalau bakat nggak mungkin ditolak, pikirku instan. Jadi, tinggalkan 
menulis. 


Bakatku pasti ada di suatu tempat dan telah memanggil-manggilku meminta untuk 
ditemukan sejak 20 tahun yang lalu. Tapi entah mengapa aku tidak pernah 
mendengar panggilan itu. Sayup-sayup nya pun tak pernah. Mungkin bakatku 
bersembunyi mengharap aku mencari dan menemukannya. Tapi karena sekian lama tak 
kucari-cari jangan-jangan ia bosan memanggilku. Hingga sampai sekarang ia 
sampai 
lupa keluar dari persembunyiannya. Duh...apa memang begitu ya? 

Pikiranku itu membuatku malas untuk mencari tahu lagi bakatku. Sudahlah, 
lupakan 
bakat. Jalani saja semuanya tanpa bakat. Toh, 20 tahun ini aku masih bisa hidup 
tanpa bakat. Sekarang, aku kembali lagi kepada kesukaanku yang dulu, 
memperhatikan orang-orang yang sudah atau sedang berusaha mencari bakat mereka. 
Aku makin senang memperhatikan Sarah yang makin cinta dengan karatenya, makin 
sering membaca tulisan-tulisan Mia, dan memperhatikan sikap-sikap serta 
kesukaan 
teman-temanku yang lain. 

Kebiasaanku mengamati orang ternyata membuatku cukup mendalami karakteristik 
seseorang. Makin lama, makin mudah bagiku untuk menganalisa mereka. Hal ini 
tanpa disadari membuatku tahu bakat-bakat terpendam mereka. Menyedihkan memang 
mengetahui bakat orang lain namun tak bisa menemukan bakat diri sendiri. Tapi 
biarlah, daripada capek memikirkan bakat sendiri lebih baik mengamati orang 
lain.
”Kalau aku lihat, bakatmu memang bukan di bidang menyanyi Ras” aku berujar 
sewaktu aku sedang bersama Laras, teman sejurusanku, di kantin.
Saat itu Laras sedang mempertanyakan mengapa hobi menyanyinya tak kunjung 
membuatnya berhasil. Setiap lomba yang diikutinya tak pernah menang. ”Padahal 
aku suka sekali menyanyi lho” ujarnya waktu itu.
”Yang aku lihat, kamu lebih berbakat di akting, bermain teater sepertinya cocok 
untukmu” tambahku.
”Masa sih? Lo tau darimana?” tanyanya heran.
”Gue inget waktu kita SMA dulu lo pernah main drama kan, akting lo bagus. Trus 
juga gue liat suara lo bisa membantu lo”
”Iya sih. Kadang gue juga ngerasa gitu. Tapi gue gak pede aja. Gak yakin gue 
bisa. Kalo nyanyi kan emang udah dari dulu gue hobi. Walau kaga menang-menang”

Dan setelah percakapan kami itu, beberapa hari kemudian ia mendaftarkan diri 
pada sebuah klub teater fakultas. Beberapa bulan kemudian, aku dengar dia 
mengalami kemampuan pesat. Ia anak baru namun sering mendapat peran utama 
setiap 
tampil. Ternyata hobi menyanyinya membantunya dalam teknik berbicara dalam 
teater. Suaranya lantang dan pengucapannya jelas.

”Ternyata suara gue emang bukan buat nyanyi kali yah. Lebih oke kalo gue pake 
buat teater” ujarnya beberapa bulan kemudian.
Setelah masalah Laras, aku makin suka menganalisa kemampuan seseorang. 

”Gak papa kamu gak jago statistik, kamu tuh oke banget di marketing” saranku 
pada Siska suatu waktu saat dia curhat tentang nilai statistiknya yang selalu 
bisa ditunjukkan hanya dengan jari di satu tangan.
”Gue liat lo gak suka hitungan. Lo lebih suka berhubungan dengan manusia 
daripada angka. Cara lo berbicara bisa mempengaruhi orang lain” tambahku.

Siska manggut-manggut mungkin sambil berpikir ’iya juga yah”. Setelah Siska, 
aku 
bertemu dengan Randy yang kulihat sangat berbakat bermain alat-alat musik. Jiwa 
musiknya kental sekali terlihat. Namun, bakatnya sering ia lupakan seiring 
kesibukan tugas kuliah. Padahal ia sungguh pemain musik yang sangat berbakat. 
Aku juga sempat berbincang dengan Galih, yang kuliahnya sering berantakan dan 
terlupakan, bahwa ia sebenarnya luar biasa berbakat dalam sepakbola. 


Setelah teman-teman kuliahku, aku juga sering menganalisa bakat-bakat dari 
murid-muridku di bimbel yang aku ajar. Awalnya hanya beberapa orang yang suka 
curhat padaku, tapi lama kelamaan menyebar dan hampir semuanya sering minta 
pendapatku ketika memilih jurusan untuk kuliah nanti.

”Kamu suka sekali membuat cerpen dan puisi, ditambah kecintaan kamu pada budaya 
Prancis, aku pikir kamu cocok di sastra, sastra Prancis mungkin” saranku pada 
seorang muridku.

”Kamu kan sering dimintai curhat dengan teman-temanmu, saran-saran kamu pun 
mereka anggap adalah saran yang terbaik. Psikologi aku rasa cocok” saranku pada 
murid kedua.

”Wah...kamu suka sekali baca koran kan? Kalau dengar kamu bicara, kepedulian 
kamu akan masa depan perekonomian Indonesia sangat besar. Ditambah nilai 
ekonomi 
kamu yang bisa dibilang sempurna dan kamu suka sekali berasumsi. Hmm..ilmu 
ekonomi” saranku pada murid yang lainnya.

Dan begitulah. Akhirnya aku lebih sering menggali apa bakat-bakat terpendam 
orang lain dan berusaha meyakinkan mereka bahwa mereka mampu di bidang itu. 
Sampai suatu saat seorang temanku bertanya, ”Kalo lo sendiri bakatnya apa?”. 
Aku 
hanya senyum-senyum mesem.

6 tahun kemudian.
------------ --------- ---
Pekerjaanku cukup menyenangkan. Ditambah dalam pekerjaan ini aku bisa bertemu 
banyak orang dan menganalisa mereka. Aku bekerja di bagian talent agent sebuah 
stasiun televisi swasta. Setelah sebelumnya aku bekerja di bagian HRD, dimana 
aku bisa menganalisa kemampuan dan minat dari seseorang, sekarang aku dipindah 
di bagian talent agent. 

Setelah sekian lama aku mencari bakatku dengan melukis, menyanyi, menulis, 
bahkan sampai karate akhirnya aku menemukan bakatku yang sudah bersembunyi 
sekian lama tersebut. Ternyata bakatku tidak perlu dicari seperti orang yang 
mencari jarum dalam jerami. Karena sebenarnya jerami-jerami itulah bakatku. Ia 
sudah ada sejak lama hanya aku tidak menyadarinya. Akhirnya aku tau bakatku: 
pencari bakat!

Sumber : www.women.multiply. com


 
________________________________
RAHMADSYAH
Motivator&Mind-Therapist I 081511448147 I Master PractitionerNLP 
Hypnotherapist I YM ; rahmad_aceh Iwww.facebook.com/rahmadsyah
________________________________
www.rahmadsyahnlp.blogspot.com

________________________________

Reply via email to