Ternyata, ketinggian peradaban dan kemajuan budaya bukan semata
karena faktor material. Bukan pula hanya karena kemajuan pengetahuan dan
teknologi. "Di masyarakat tempat berkembang IPTEK (ilmu pengetahuan dan
teknologi), manusia tidak pernah dan tidak akan menemukan hakekat dirinya.
Sungguh kami adalah bangsa yang sengsara, karena keterbelakangan dan krisis
moral. Negara-negara industri yang kini nampak maju dalam segi materi,
sesungguhnya secara perlahan sedang melangkah menuju kehancuran, kegelisahan dan
kesengsaraan hidup". Demikian Maurice Buccaile dalam bukunya Manusia Makhluk
Misterius.
Lalu, siapa yang dapat menjadi 'Juru Selamat' peradaban
manusia yang kini sedang menghadapi permasalahan krusial. Siapa yang mampu
menjadi 'Penentu Arah' kehidupan manusia. Siapa dan bagaimana umat manusia dapat
mempertahankan eksistensi hidupnya agar lebih bermakna dan memiliki nilai bagi
kemaslahatan bersama? Siapa dan siapa ……?
Seorang pemikir Barat
non-muslim Rene Dubos pernah mengungkap isi hati dan fikirannya dalam tulisannya
berjudul "So Human An Animal" (diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
"Insaniyatul-Insan"): "Yang dapat menyelamatkan manusia dari kondisi gelisah dan
krisis moral dalam kehidupan hanyalah hidup beragama".
Bagi umat Islam,
"hidup beragama" adalah beriman, berakhlak mulia, beribadah dan bertakwa kepada
Allah swt. dalam arti seluas-luasnya. Allah swt. memberikan isyarat bahwa umat
Islam pada hekekatnya adalah ummat yang layak mengusung peradaban umat manusia,
firman-Nya,
Dan demikianlah Kami jadikan kalian (umat Islam) umat yang
wasath (berkeadilan dan terpilih). ( Al-Baqarah: 143).
Allah menegaskan
kembali, bahwa umat Islam adalah umat tertinggi dari umat-umat yang lain dikala
mereka merealisasi keimanan yang merasuk dalam hati sanubari mereka, firman-Nya,
وأنتم الأعلون إن كنتم مؤمنين
"Dan kalian adalah umat tertinggi
jika kalian sebagai orang-orang yang mukmin" ( Ali Imran).
Peradaban
yang dikehendaki Islam bukan peradaban yang hanya memperhatikan aspek materi,
jasmani dan instink manusia atau kenikmatan dunia lainnya yang bersifat fana.
Peradaban yang diusung umat Islam adalah peradaban yang menghubungkan manusia
dengan Tuhannya, yang membina relasi antara bumi dengan langit.
Dunia
dalam persepsi setiap muslim, diciptakan sebagai sarana hidup dan kehidupan
menuju kehidupan abadi di akhirat. Karenanya, peradaban manusia yang dibangun
Islam adalah peradaban yang menggabungkan unsur spiritual dengan material,
sekaligus menyeimbangkan antara akal dengan hati, menyatukan ilmu dengan iman,
dan meningkatkan moral seiring dengan peningkatan material.
Untuk
membangun peradaban yang dikehendaki Islam itu, Allah tidak membiarkan manusia
terombang-ambing hanya mengandalkan kekuatan akal dan usaha kemanusiaannya saja.
Tetapi, Allah swt. membantu meringankan beban hidup manusia dalam menentukan
arahan dan bimbingan agar mampu membangun peradabannya di muka bumi.
Karenanya, Allah swt. dengan sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim-Nya mengutus
seorang rasul dengan ajaran yang sesuai dengan kriteria peradaban yang
dikehendaki. Ajaran yang perhatian kepada aspek spiritual dan material, aspek
idealis dan realistis. Ajaran yang rabbani dan insani, moralis dan konstrukstif,
juga yang peduli dengan aspek-aspek individual dan aspek sosial. Sehingga,
terwujud peradaban yang seimbang dan moderat yang menjadi dasar munculnya
ummatan wasathan, yang menuntun umat manusia menuju hidup berkeadilan.
Untuk keperluan 'mega proyek' manusia itu, Allah swt. menurunkan sebuah
Kitab Suci yang berisikan pesan-pesan wahyu yang berfungsi sebagai pengarah dan
petunjuk umat manusia dalam mengusung pembangunan peradaban yang berkeadilan.
Allah swt. menurunkan kitab suci, buku pedoman itu di bulan suci Ramadhan,
sebagaimana firman-Nya, “ Bulan Ramadhan diturunkan padanya Al-Qur'an sebagai
petunjuk bagi manusia dan keterangan-keterangan dari petunjuk itu dan sebagai
al-furqan (pembeda antara yang haq dan bathil) ” (Al-Baqarah: 185).
Sebuah bukti konkrit, bahwa mengemban amanat hidup, yakni membangun
peradaban manusia dengan nilai-nilai keadilan dan bermoral, tidak segampang
mengucapkan dan menceramahkannya dengan kata-kata indah memukau sekalipun.
Karena Allah swt. begitu perhatian-Nya, mengutus seorang rasul berbudi luhur dan
berkepribadian tinggi, sebagaimana memberikan pedoman dan petunjuk berupa
Al-Qur'an yang berisi pesan-pesan sarat makna dan esensi serta aspek-aspek hidup
dan kehidupan.
Diturunkannya Al-Qur'an pun tidak di sembarang waktu dan
tanpa perhatian dengan situasi dan kondisi. Tetapi, Al-Qur'an diturunkan pada
saat kesiapan moral spiritual sang penerima tugas, berada dalam kondisi mapan
dan dalam kesempatan dimana umat mendapat kewajiban ilahi dengan penuh ikhlas
dan penuh tanggung jawab. Mengapa …. ???
Karena untuk mengemban amanat
pembangunan peradaban yang dikehendaki Islam, memerlukan manusia-manusia berdaya
dan berkualitas, yakni insan mukmin seutuhnya. Merekalah yang siap menjunjung
tinggi dan memberikan keharuman semerbak bagi peradaban rabbani tersebut.
Mereka itulah orang-orang yang disebut-sebut Al-Qur'an sebagai
"muttaqin", yaitu manusia mukmin yang multazim (komitmen) terhadap Islam secara
utuh: akidah, ibadah, dan muamalah. Sehingga, kehidupan yang dijalankannya tidak
dengan cara-cara arogan tanpa pertimbangan yang matang. Manusia yang senantiasa
berhati-hati dalam bersikap dan berperilaku, agar sikap dan perilakunya tidak
menyimpang dari jalan yang digariskan "Sang Pemberi" amanat.
Suatu
ketika, sahabat Umar bin Khathab ra. bertanya kepada sahabat Ubay bin Ka'ab:
"Maa haqiqat at-taqwa" (apa hakekat takwa?). Sahabat Ubay balik bertanya kepada
Umar ra: “Pernahkah engkau berjalan pada jalan yang penuh dengan duri ?”.
"Pernah" jawab Umar. ra. "Apa yang engkau lakukan saat itu wahai Umar ?", Tanya
Ubay kembali. Umar bin Khathab menjawab: "Tentunya aku berjalan dengan sangat
berhati-hati".
Kemudian Ubay bin Ka'ab menjelaskan: "wa dzaalika haqiqat
at-taqwa" (itulah hakekat takwa). Sehingga, Umar r.a memberikan definisi takwa
dengan kata-kata beliau: "at-Taqwa hiya al-masy-yu fil ghobati bil-hadzar"
(takwa adalah berjalan di hutan dengan hati-hati).
Maka, takwa tidak
hanya identik dengan rasa takut di dalam mesjid saja. Takwa harus tercermin pada
sikap hati-hati dan takut kepada Allah swt. dalam semua dimensi kehidupan,
keyakinan, ideologi, sosial, politik, ekonomi, termasuk juga budaya dan
peradaban.
Allah swt. merekayasa sebuah syariat di bulan Ramadhan untuk
maksud dan tujuan tertentu. Shaum (bisa dibaca: Shiyam) selama bulan Ramadhan
diwajibkan bagi seluruh orang beriman untuk menunaikannya. Diharapkan, penunaian
kewajiban itu mampu menjadikan para pelaku shiyam menjadi orang-orang yang
bertakwa sejati, yaitu jujur dalam keimanannya, ikhlas dalam amal ibadahnya,
lurus pemikirannya, mulia akhlaknya, santun sikap dan perilakunya, serta benar,
adil, dan ihsan dalam menjalankan tugas-tugas hidupnya di berbagai aspek
kehidupan.
Karenanya, kegitan-kegiatan Ramadhan mengarah kepada
pembentukan manusia yang memiliki kualifikasi kemampuan mengemban misi peradaban
ilahiah, sebagaimana juga memiliki kepribadian utuh dalam aspek ruhian, aqliah,
dan jasadiah.
Dari aspek ruhiah, kita dapatkan berbagai aktivitas
Ramadhan yang membimbing setiap mukmin memelihara dan meningkatkan
kerohaniannya. Sebut saja shalat taraweh atau qiyamullail (shalat malam),
tilawah Al-Qur'an, i'tikaf dan sebagainya.
Dalam memenuhi kebutuhan
aqliah, setiap mukmin dapat merasakan nikmat mendengarkan kuliah shubuh lewat
beragam acara di media massa atau langsung di mesjid-mesjid. Ia juga dapat
menghadiri kuliah Zhuhur atau ceramah tarawih. Atau barangkali ada yang mampu
membuat planning program membaca buku-buku tertentu selama Ramadhan. Semuanya
dilakukan dalam rangka menambah wawasan keislamannya, agar ia dapat melaksanakan
ibadah kepada Allah swt. dengan landasan ilmu, bukan sekadar taklid buta. Juga
bermanfaat untuk menimba pengetahuan umum lainnya yang tidak ia dapat di luar
Ramadhan.
Demikian pula arahan-arahan yang berorientasi jasmani. Dapat
kita cermati dari syariat-syariat selama shaum Ramadhan, seperti: makan sahur,
sebagaimana dalam hadits "Lakukanlah makan sahur, karena padanya terdapat
keberkahan" (Al-Hadits), atau syariat mensegerakan ifthar (berbuka puasa) dengan
makanan yang halal, sehat dan bergizi. Juga syariat larangan makan dan minum
yang berlebihan (isrof) seperti dalam firman Allah swt., "Makan dan minumlah,
jangan berlebihan".
Jika makna "manusia beradab" adalah ia yang memiliki
moralitas agama yang mulia. Dalam bulan Ramadhan ini, setiap mukmin dilatih
selama sebulan untuk menjadi manusia seperti itu. Karena, ia dilatih selama
sebulan untuk memelihara lisan, bersikap dan berperilaku moralis, serta mampu
mengendalikan hawa nafsunya.
Masyarakat berperadaban adalah masyarakat
ideal yang dicita-citakan Islam, yaitu sosok masyarakat yang diwarnai oleh
jalinan solidaritas sosial yang tinggi, rasa persaudaraan yang solid antara umat
manusia.Masyarakat seperti itu bukan khayalan, bukan sesuatu yang utopis, karena
masyarakat seperti itu pernah wujud di Madinah di bawah bimbingan dan arahan
Rasulullah saw.
Ramadhan merupakan peluang besar untuk melakukan
training menjadi manusia yang adil dan beradab, yakni manusia yang memiliki jiwa
sosial dan solidaritas, manusia bersih dan peduli terhadap lingkungan dan
masyarakat. Pada saat itu, setiap mukmin dilatih melakukan sedekah, infak atau
zakat, sebagai indikasi bersih dan peduli. Ia juga dilatih untuk dapat merasakan
keletihan dan rasa lapar, agar ia memiliki rasa welas, kasih sayang kepada si
miskin papa, tidak bersikap beringas, keras tanpa ada sedikit rasa kemanusiaan.
Sudahkah kriteria manusia muttaqin itu kita raih? Sudahkah sifat dan
sikap beradab tersebut kita miliki? Sudahkah nilai-nilai Ramadhan tersebut
tercermin pada kehidupan masyarakat dan bangsa kita ?
Tentunya
masing-masing yakin, bahwa manusia-manusia yang menjiwai Ramadhan dalam diri
mereka dan shaum yang dilakukan, telah mampu menjadikan dirinya manusia yang
adil dan beradab. Maka, niscaya jiwa dan hati mereka akan terpanggil untuk
membantu saudara-saudaranya yang tengah mengalami kesulitan dan kesempitan,
secara moril maupun materil.
Kita pun yakin, bahwa manusia semacam itu
tidak akan tega membiarkan umat Islam di Aceh, Maluku, Nusa Tenggara, bahkan di
Palestina, Kasymir, Sudan serta tempat lainnya yang dalam kesengsaraan yang
tiada henti. Mereka juga tidak menginginkan bangsa ini terpecah belah. Sebab,
kesatuan dan persatuan adalah motto peradaban yang tinggi, menuju masyarakat
global yang beriman kepada Allah swt.
Harapan dan cita-cita itu dapat
kita wujudkan dengan tekad bulat dan hati nurani yang bersih, manakala kita
mampu menjadikan Ramadhan sebagai momen mewujudkan takwa dalam berbudaya dan
berperadaban, yaitu dengan membuat "Planning Ramadhan" yang efektif dan efesien.
Semoga…
Sumber : 30 Tadabur Ramadhan - Menjadi Hamba Rabbani -
IKADI