|
Oleh : Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani
-rahimahullah-
Kiranya sangat bermanfaat untuk
disajikan di sini sedikit atau sebagian perkataan mereka, dengan harapan,
semoga di dalamnya terdapat pelajaran dan peringatan bagi orang yang
mengikuti mereka, bahkan bagi orang yang mengikuti selain mereka yang
lebih rendah derajatnya dari taqlid buta, dan bagi orang yang berpegang
teguh kepada madzab-madzab dan perkataan-perkataan mereka, sebagaimana
kalau madzab-madzab dan perkataan-perkataan itu turun dari langit.
Allah Subhanahu Wa Taala, berfirman: "Ikutilah apa
yang diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selainnya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran
(dari padanya)". (QS. Al-Araf :3)
I. ABU
HANIFAH
Yang pertama-tama diantara mereka adalah Imam Abu
Hanifah An-Numan bin Tsabit. Para sahabatnya telah meriwayatkan banyak
perkataan dan ungkapan darinya, yang semuanya melahirkan satu kesimpulan,
yaitu kewajiban untuk berpegang teguh kepada hadits dan meninggalkan
pendapat para imam yang bertentangan dengannya.
1. "Apabila hadits
itu shahih, maka hidits itu adalah madzhabku." (Ibnu Abidin di dalam
Al-Hasyiyah 1/63)
2. "Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk
berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami
mengambilnya". (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Intiqau fi Fadha ilits
Tsalatsatil Aimmatil FuqahaI, hal. 145)
3. Dalam sebuah riwayat
dikatakan: "Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk
memberikan fatwa dengan perkataanku".
4. Di dalam sebuah riwayat
ditambahkan: "sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan
pada hari ini dan meralatnya di esok hari". 5. "Jika aku mengatakan
suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah dan kabar Rasulullah
salallahu alaihi Wa Sallam, maka tinggalkanlah perkataanku". (Al-Fulani di
dalam Al-Iqazh, hal. 50)
II. MALIK BIN ANAS
Imam
Malik berkata: 1. "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang
salah dan benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang
sesuai dengan kitab dan sunnah, ambillah dan setiap yang tidak sesuai
dengan Al Kitab dan sunnah, tinggalkanlah". (Ibnu Abdil Barr di dalam
Al-Jami, 2/32)
2. "Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu
Alaihi Wa Sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang
ditinggalkan, kecuali Nabi Salallhu Alaihi Wasallam". (Ibnu Abdil Hadi di
dalam Irsyadus Salik, 1/227)
3. Ibnu Wahab berkata, "Aku mendengar
bahwa Malik ditanya tentang menyelang-nyelangi jari di dalam berwudhu,
lalu dia berkata, "tidak ada hal itu pada manusia. Dia berkata. Maka aku
meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya.
Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu, maka dia berkata: Apakah
itu? Aku berkata: Al-Laits bin Saad dan Ibnu Lahiah dan Amr bin Al-Harits
dari Yazid bin Amr Al-Maafiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al
Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia
berkata, "Aku melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam menunjukkan
kepadaku dengan kelingkingnya apa yang ada diantara jari-jari kedua
kakinya. Maka dia berkata, "sesungguhnya hadist ini adalah Hasan, Aku
mendengarnya hanya satu jam. Kemudian aku mendengarnya, setelah itu
ditanya, lalu ia memerintahkan untuk menyelang-nyelangi jari-jari.
(Mukaddimah Al-Jarhu wat Tadil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)
III. ASY-SYAFII
Adapun perkataan-perkataan yang
diambil dari Imam Syafii di dalam hal ini lebih banyak dan lebih baik, dan
para pengikutnya pun lebih banyak mengamalkannya. Di antaranya:
1.
"Tidak ada seorangpun, kecuali dia harus bermadzab dengan Sunnah
Rasulullah dan menyendiri dengannya. Walaupun aku mengucapkan satu ucapan
dan mengasalkan kepada suatu asal di dalamnya dari Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wa Sallam yang bertentangan dengan ucapanku. Maka peganglah sabda
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Inilah ucapanku." (Tarikhu
Damsyiq karya Ibnu Asakir, 15/1/3)
2. "Kaum muslimin telah sepakat
bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wa Sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena
untuk mengikuti perkataan seseorang." (Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani,
hal. 68)
3. "Apabila kamu mendapatkan di dalam kitabku apa yang
bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka
berkatalah dengan sunnah rasulullah Salallahu alaihi Wa sallam, dan
tinggalkanlah apa yang aku katakan." Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,
3/47/1)
4. "Apabila Hadist itu Shahih, maka dia adalah madzhabku."
(An-Nawawi di dalam Al-Majmu, Asy-Syarani, 10/57)
5. "kamu (Imam
Ahmad) lebih tahu dari padaku tentang hadist dan orang-orangnya (Rijalu
l-Hadits). Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun
ia adanya, baik ia dari kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila
ia shahih, akan bermadzhab dengannya." ( Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj
bisy-SyafiI, 8/1)
6. "Setiap masalah yang didalamnya kabar dari
Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam adalah shahih bagi ahli naqli dan
bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku meralatnya di dalam
hidupku dan setelah aku mati." (Al-Harawi, 47/1)
7. "Apabila kamu
melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang
bertentangan dengannya shahih, maka ketahuilah, sesungguhnya akalku telah
bermadzhab dengannya." (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Muaddab)
8. Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari nabi salallahu
alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan
perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu,
janganlah kamu mengikutiku." (Aibnu Asakir, 15/9/2)
IV. AHMAD
BIN HAMBAL
Imam Ahmad adalah salah seorang imam yang paling
banyak mengumpulkan sunnah dan paling berpegang teguh kepadanya. Sehingga
ia membenci penulisan buku-buku yang memuat cabang-cabang (furu) dan
pendapat Oleh karena itu ia berkata:
1. "Janganlah engkau mengikuti
aku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafii, Auzai dan Tsauri, Tapi
ambillah dari mana mereka mengambil." (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di
dalam Al-Ilam, 2/302)
2. "Pendapat AuzaI, pendapat Malik, dan
pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama,
sedangkan alasan hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar." (Ibnul Abdl Barr
di dalam Al-Jami, 2/149)
3. "Barang siapa yang menolak hadits
Rasulullah Salallahu alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada
di tepi kehancuran." (Ibnul Jauzi, 182).
Allah berfirman: "Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan
yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya" (An-Nisa:65),
dan firman-Nya: "Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya
takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih."
(An-Nur:63).
Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata: "Adalah menjadi kewajiban bagi setiap orang yang telah sampai
kepadanya perintah Rasulullah Salallahu Alaihi Wa Sallam dan mengetahuinya
untuk menerangkannya kepada umat, menasehati mereka dan memerintahkan
kepada mereka untuk mengikuti perintahnya. Dan apabila hal itu
bertentangan dengan pendapat orang besar diantara umat, maka sesungguhnya
perintah Rasulullah salallahu alaihi wa Sallam itu lebih berhak untuk
disebarkan dan diikuti dibanding pendapat orang besar manapun yang telah
bertentangan dengan perintahnya di dalam sebagian perkara secara
salah. Dan dari sini, para sahabat dan orang-orang setelah mereka
telah menolak setiap orang yang menentang sunnah yang sahih, dan
barangkali mereka telah berlaku keras dalam penolakan ini. Namun demikian,
mereka tidak membencinya, bahkan dia dicintai dan diagungkan di dalam hati
mereka. Akan tetapi, Rasulullah Salallahu alaihi wa Sallam adalah lebih
dicintai oleh mereka dan perintahnya melebihi setiap makhluk lainnya.
Oleh karena itu, apabila perintah rasul itu
bertentangan dengan perintah selainnya, maka perintah rasul adalah lebih
utama untuk didahulukan dan diikuti. Hal ini tidak dihalang-halangi
oleh pengagungan terhadap orang yang bertentangan dengan perintahnya,
walaupun orang itu mendapat ampunan. Orang yang bertentangan itu tidak
membenci apabila perintahnya itu diingkari apabila memang ternyata
perintah Rasulullah itu bertentangan dengannya. Bagaimana mungkin mereka
akan membenci hal itu, sedangkan mereka telah memerintahkan kepada para
pengikutnya, dan mereka telah mewajibkan mereka untuk meninggalkan
perkataan-perkataan yang bertentangan dengan sunnah."
(Di sadur
dari Mukaddimah Kitab Shifatu Shalatiin Nabii SAW, karya Al-Imam
Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullah).
|