INDONESIA

Saudi Menjadi Modern, Indonesia Menjadi “Primitif”?
Masyarakat Islam Saudi kini telah bergeliat menuju “umat modern”, sementara 
(sebagian) kaum Muslim Indonesia justru sedang bereuforia menjadi “masyarakat 
klasik”. Berikut paparan Sumanto al Qurtuby.Sejak beberapa tahun terakhir 
mengajar di sebuah universitas riset di Arab Saudi, saya melihat ada perubahan 
sosio-kultural-keagamaan yang sangat fundamental di negara-kerajaan ini. 
Mungkin perubahan ini luput dari pengamatan para peneliti, sarjana, akademisi, 
jurnalis, maupun pembuat kebijakan publik."Wajah kultural” Saudi dulu dan kini 
sudah sangat berbeda, setidaknya di kawasan urban bukan dicountryside atau di 
"daerah pedesaan”. Dulu, ketika membicarakan hal-ikhwal yang berkaitan dengan 
Saudi, kita langsung membayangkan Afganistan di zaman Taliban. Tapi sejak 
dekade terakhir, banyak perubahan positif dan signifikan di negara yang kini 
dipimpin oleh Raja Salman.Perubahan sosio-kultural itu terjadi hampir di semua 
sektor dan isu: pendidikan, ketenagakerjaan, perekonomian, perbankan, peranan 
perempuan, tata-busana, bahasa, makanan-minuman, interaksi sosial, persepsi 
keagamaan, dlsb. Beberapa kali saya mengadakan survei ditambah dengan wawancara 
dan obrolan dengan ratusan warga Saudi, kesimpulannya juga sama: "wajah 
kultural” Saudi sedang mengalami perubahan besar.Fenomena menarik Ada beberapa 
fenomena menarik yang bisa dijadikan sebagai alat ukur perubahan sosial ini. 
Misalnya, dulu tradisi berpakaian disini memang sangat "tradisional”. Yang 
laki-laki mengenakan jubah putih panjang (thaub) lengkap dengan kain penutup 
kepala dan kadang-kadang dilengkapi dengan pedang seperti penggunaan keris 
untuk pelengkap busana bagi orang Jawa jaman dulu. Desain jubah dan penutup 
kepala ini bermacam-macam. Masing-masing daerah dan suku di Saudi memilki adat 
dan tata-cara berbusana yang berlainan.Penulis: Sumanto al QurtubyTapi sekarang 
pemandangan ini sudah susah didapat, kecuali mungkin di kampung-kampung atau di 
daerah pinggiran yang belum terjamah oleh globalisasi dan modernisasi. 
Masyarakat laki-laki Saudi, khususnya generasi tua, sekarang lebih suka 
mengenakan "jubah nasional” ketimbang "jubah suku” mereka. Sementara kalangan 
mudanya lebih memilih pakaian kasual seperti jeans, kaos, kemeja, "katok-kolor” 
alias celana training, dlsb.Yang perempuan juga sama. Dulu, kaum perempuan 
Saudi, jika di area publik, hanya berbusanaabaya hitam gelombor lengkap dengan 
kain penutup wajah, baik itu bernama niqab, burqa ataukhimar. Kini, perempuan 
Saudi mengenakan bermacam-macam desain dan jenis busana. Abaya tidak lagi 
melulu berwarna hitam polos tapi warna-warni (colorful), dan bahkan dilengkapi 
dengan pernak-pernik bordir yang sangat menawan. "Abaya bordir” yang 
warna-warni ini menjadi trendperempuan Saudi modern. Bahkan kini banyak desain 
abaya yang dibuat "slim fit” seukuran tubuh, tidak lagi gelombor ala "jilbab 
Syahrini”. Menurut murid-murid Saudiku, desain abaya slim fit ini supaya tampak 
lebih modern, gaul, dan seksi tentunya.   
   -    
5 HAL YANG TIDAK BOLEH DILAKUKAN PEREMPUAN ARAB SAUDI
   
Menyetir Mobil
Tidak ada UU resmi yang larang perempuan menyetir mobil. Tetapi kepercayaan 
keagamaan yang mendalam melarangnya. Menurut ulama Arab Saudi, perempuan yang 
menyetir "tidak mengindahkan nilai-nilai sosial". 2011 sekelompok perempuan 
mengorganisir kampanye "Women2Drive" dengan menempatkan foto-foto mereka ketika 
menyetir mobil untuk membangkitkan kesadaran perempuan. Kampanye tidak sukses.

12345Bukan hanya itu, banyak perempuan Saudi yang kini hanya mengenakan abaya 
dan hijab (kain penutup kepala) saja tanpa dilengkapi dengan kain penutup 
wajah, khususnya mereka yang tinggal di Jeddah atau kota-kota metropolitan mini 
di Provinsi Ash-Sharqiyah. Jika mereka sedang liburan ke manca negara, baik di 
Arab Teluk (khususnya Uni Emirat Arab) apalagi ke negara-negara Barat, banyak 
dari mereka yang bahkan tidak mengenakan abaya, apalagi kain penutup kepala dan 
penutup wajah, melainkan pakai celana panjang "pantalon" atau "busana perempuan 
modern” lain. Fenomena ini sudah menjadi "rahasia umum”. Tentu saja masih 
banyak juga yang tetap memelihara tradisi berbusana "ala Saudi” meskipun berada 
di luar Saudi.Kebangkitan perempuanContoh perubahan sosial lain adalah tentang 
"gerakan feminisme” yang cukup menggeliat sejak dekade terakhir. Memang 
dibanding dengan negara-negara Arab Teluk lain seperti Uni Emirat Arab atau 
Qatar, Arab Saudi agak terlambat menanggapi isu-isu peranan perempuan ini. 
Tetapi bukan berarti tidak ada perubahan sama sekali menyangkut hak-hak kaum 
perempuan Saudi. Misalnya, sudah sejak Raja Faisal, kaum perempuan mendapatkan 
kesempatan menuntut ilmu sampai perguruan tinggi, bukan hanya di bangku-bangku 
madrasah. Saudi bahkan memiliki "kampus perempuan” terbesar di dunia bernama 
Princess Nora University.   
   -    
PEREMPUAN MUSLIM TERKAYA SEDUNIA
   
Putri Ameerah al Taweel dari Arab Saudi
Putri Ameerah al Taweel lahir 6 November 1983. Dia istri Pangeran al Waleed bin 
Talal, yang termasuk keluarga kerajaan Arab Saudi. Pangeran al Waleed (58 
tahun) adalah seorang pengusaha, dan menurut majalah Forbes menduduki ranking 
ke-26 dalam daftar pria terkaya dunia.

123456789Sejak Raja Abdullah bertahta, kaum perempuan memiliki kesempatan dan 
posisi lebih besar. Bukan hanya menikmati dunia pendidikan saja tetapi juga 
kesempatan bekerja di semua sektor publik (kecuali kemiliteran). Bahkan 
sejumlah perempuan menjadi penggerak dunia bisnis, industri, penerbitan, 
teknologi, dlsb. Sejumlah elit perempuan juga menjadi anggota "Shura Council” 
yang bertugas memberi nasehat dan masukan-masukan kepada raja terkait berbagai 
isu menyangkut pemberdayaan perempuan.Kolegaku Mark Thompson, spesialis kajian 
Arab Saudi dari Inggris, menyatakan bahwa kelompok elit perempuan inilah yang 
berada di balik perubahan sosial menyangkut hak-hak kaum perempuan Saudi. Mark 
Thompson telah menulis sebuah buku berjudul Saudi Arabia and the Path to 
Political Change yang merekam dengan baik proses-proses perubahan 
sosial-politik-kultural di Saudi.   Peran elit agama dipreteli, polisi syariat 
dipangkas fungsinyaWajah keagamaan juga mengalami perubahan besar. Kelompok 
Islam konservatif-radikal-ekstrimis semakin terisolasi dan kehilangan pengaruh 
publik. Sejak mendiang Abdullah bin Abdulaziz Al Saud memegang tapuk kekuasaan 
dan kendali pemerintahan, baik saat menjadi Putra Mahkota di era Raja Fahd 
maupun ketika menjadi raja, berbagai reformasi pemikiran dan praktik keagamaan 
serta kebijakan publik dilakukan untuk mendorong terwujudnya wajah keislaman 
yang modern, toleran, moderat, dan damai. Beliaulah yang memprakarsai dialog 
kultural-nasional dengan para tokoh dan komunitas Syiah. Beliau jugalah yang 
membuka peluang lebar-lebar bagi warga Syiah Saudi untuk bekerja di semua 
sektor publik.Beliau juga yang "memereteli” pengaruh dan peran sejumlah elit 
agama konservatif serta memangkas fungsi "Polisi Syariat” yang dulu sangat 
dominan mengontrol "kesalehan publik”. Berbagai kebijakan Raja Abdullah 
tersebut dilanjutkan dan bahkan ditingkatkan ritmenya oleh Raja Salman saat 
ini. Sejak beberapa tahun terakhir, Saudi juga memerangi kaum teroris-ekstrimis 
yang sering berbuat onar dan menganggu stabilitas politik-ekonomi negara.Putra 
Mahkota Muhammad Bin Nayef menjadi aktor utama yang memimpin langsung perang 
melawan "terorisme gobal” dan "kekerasan domestik”. Sehingga dengan begitu 
tidak memberi ruang secuilpun pada kelompok radikal-ekstrimis untuk berkembang 
biak dan melampiaskan kekerasan di jalan-jalan dan arena publik lain. Saudi 
adalah negara yang sangat mementingkan "keamanan dan kenyamanan nasional” 
sehingga segala tindakan massa dan "kekerasan sipil” yang dipandang mengganggu 
atau berpontensi mengancam stabilitas kerajaan dan masyarakat akan ditindak 
tegas. Kontras dibanding IndonesiaSejumlah fenomena perubahan sosio-kultural di 
Saudi dewasa ini cukup kontras dengan dinamika perkembangan di Indonesia 
belakangan ini, khususnya sejak lengsernya Presiden Suharto dari kursi 
kepresidenan. Sejumlah kelompok Islam di Indonesia bukannya menjadi lebih 
modern, progresif, toleran, dan damai tetapi justru semakin "kolot”, 
konservatif, intoleran, dan keras.Wajah keislaman di Indonesia dewasa ini, 
khususnya di Jakarta dan beberapa kawasan urban, dipenuhi dengan munculnya 
berbagai ormas Islam ekstrim yang serba anti dengan minoritas agama: Syiah, 
Ahmadiyah, non-Muslim, dan berbagai sekte agama lain, termasuk agama-agama dan 
kepercayaan lokal.   
   -    
KEHANCURAN MEKKAH DAN MADINAH
   
Ambisi Haji
Sejak jatuhnya harga minyak, pemerintah Arab Saudi ingin lebih cepat 
mengembangkan wisata Haji sebagai salah satu pondasi perekonomian. Salah satu 
proyek terbesar adalah perluasan Masjid al Haram di Mekkah dan pembangunan 
berbagai hotel berbintang di sekitarnya. Namun proyek tersebut bergulir dengan 
mengorbankan berbagai situs bersejarah dari era kelahiran Islam.

12345678Sejumlah aksi kekerasan, verbal maupun fisik, yang dilakukan oleh 
sejumlah kelompok Islam atas kaum minoritas beserta properti keagamaan mereka 
juga menjamur di berbagai daerah. "Polisi Syariat” yang sudah dipreteli 
wewenangnya di Saudi malah berkembang biak di Indonesia, bukan hanya di Aceh 
saja tetapi juga di berbagai daerah di Jawa Barat, Banten, dan lainnya.Sejumlah 
massa dan kelompok sipil yang mengatasnamakan agama dan umat Islam juga 
bertebaran di sejumlah daerah. Mereka begitu gagah dan "pede”-nya mengaku 
sebagai "asisten Tuhan” untuk memusnahkan apa yang mereka anggap dan yakini 
sebagai "kemaksiatan” dan "kemungkaran”. Fenomena "kekerasan kolektif” yang 
diprakarsai oleh sejumlah ormas Islam ini "genuine” Indonesia yang tidak pernah 
saya temukan di Saudi yang memang melarang keras warganya untuk melakukan 
tindakan kekerasan komunal.Berbagai elemen ormas Islam dan tokoh-tokoh Muslim 
juga bereuforia dengan "simbol-simbol keislaman” klasik, termasuk simbol-simbol 
kebudayaan Arab zaman dulu yang kini sudah ditinggalkan oleh masyarakat Arab 
kontemporer seperti tradisi tata-busana yang saya sebutkan di atas. Pula, 
sejumlah umat Islam, khususnya kaum Muslim kota, bereuforia dengan Bahasa Arab 
yang menurut mereka sebagai "bahasa agamis” dan "bahasa surga” seraya 
"mengkafirkan” Bahasa Inggris. Padahal di Saudi sendiri (dan juga kawasan Arab 
Teluk lain), penggunaan Bahasa Inggris kini telah berkembang pesat, bukan hanya 
di dunia pendidikan saja tetapi juga di sektor bisnis-perekonomian dan 
komunikasi sehari-hari.Apakah berbagai fenomena sosial-kultural yang cukup 
kontras terjadi di kedua negara berpenduduk mayoritas Muslim ini menunjukkan 
bahwa masyarakat Islam Saudi kini telah bergeliat menuju "umat modern”, 
sementara (sebagian) kaum Muslim Indonesia justru sedang bereuforia menjadi 
"masyarakat klasik” dan bahkan "komunitas primitif” --khususnya mereka yang 
hobi melakukan tindakan barbar dan kekerasan? Wallahu ‘alam bi-shawab.   
   -    
BUAH HARAM WAHABISME
   
Wahabisme Telurkan Radikalisme?
Sejak 2013 silam parlemen Eropa mewanti-wanti terhadap paham Wahabisme. Bahkan 
Dewan Fatwa Malaysia menilai faham tersebut kerap melahirkan pandangan radikal 
dan bisa berujung pada tindak terorisme. Pasalnya Wahabisme menganut prinsip 
pemurnian Islam. Bentuknya yang cenderung eksklusif dan intoleran terhadap 
ajaran lain membuat penganut Wahabisme rentan terhadap radikalisasi.

1234567891011Penulis:Sumanto Al QurtubyDosen Antropologi Budaya dan Kepala 
Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and 
Minerals, Arab Saudi. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University. Ia 
telah menulis lebih dari 17 buku, antara lain Religious Violence and 
Conciliation in Indonesia (London & new York: Routledge, 2016). 

Kirim email ke