Membedah buku May Swan terbaru

== THE LETTER ==

                   Sepertikarya-karya novel May Swan lainnya, THELETTER ditulis 
dalam bahasa Inggeris. Disini saya ingin memperkenalkan isikarya dan makna yang 
terungkap dalam novelnya yang ke sembilan ini.


                Cerita berkisar pada perjalanan emosi Francisca Goh,anak gadis 
dari keluarga Goh yang kaya raya di Singapura. Pada suatu ketika,secara 
kebetulan ia mendengar bahwa dirinya bukanlah anak kandung dari orangtuanya. Ia 
hanyalah seorang anak pungut. Diuraikan secara mendalam betapa pedihhati anak 
ini ketika tiba-tiba berhadapan dengan kenyataan itu. Jiwanya merasasangat 
terpukul. Perasaan sedih menyayat bercampur marah dan perasaan tidakadil 
membelut jiwa Francisca yang diembannya bertahun-tahun.

Rasa percaya dirinya barupulih setelah ia bertemu dengan Walter Sim, chief 
editor dari sebuah harian diSingapura. Francisca akhirnya bekerja sebagai 
jurnalis pada kantor harianWalter, dan selanjutnya mereka mendirikan rumah 
tangga. Kehidupan suami-isteriini sangat bahagia, mereka saling mengisi dalam 
pekerjaan dan perkembangan. Takkurang, kehidupan seksual suami-isteri inipun 
digambarkan sangat meriah danberwarna.

                 Kerusuhan Mei 1998 menjadi bagian dari jalan ceritanovel. 
Kasus dimulai dengan kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa.Kehancuran asset, 
perkosaan dan korban jiwa manusia diuraikan dengan luas.Dibeberkan juga 
faktor-faktor yang menyebabkan runtuhnya Orde Baru dari segiekonomi, politik, 
social dan peran demonstrasi mahasiswa terbesar dalam sejarahIndonesia yang 
menuntut diadakannya reformasi dalam berbagai bidang.

                 Francisca berangkat ke Jakarta untuk mengarungikejadian itu. 
Selama di Jakarta ia berkesempatan berkenalan dekat denganbeberapa anak muda 
aktivis yang notabene adalah ahli-ahli hukum dan freelance journalists.Maksud 
kedatangannya adalah mencari informasi dilapangan, namun apa yang iadapati jauh 
lebih luas daripada apa yang dikira sebelumnya. Pengalamannya diJakarta telah 
membuka lebar pandangannya terhadap Indonesia. Ia mulai melihatadanya rasa 
persaudaraan dan solidaritas yang sangat erat diantara generasimuda, dan rasa 
tanggung-jawab atas nasib dan hari depan bangsa.   Adanya kekuatan potensial 
dengan komitmenyang tinggi, sewaktu-waktu akan menerobos kungkungan kekuasaan 
suppressive,mengadakan perubahan, memperjuangkan reformasi social. Dan inilah 
yang telahterjadi.


 
Kritikpada Komunitas Eksil Pasca 65.

                 Daripembicaraan dengan Abraham, salah seorang dari para 
aktivis muda di Jakarta,Francisca dapat mengenal dari jauh mengenai kehidupan 
masyarakat diasporaIndonesia di Eropa umumnya. Khususnya komunitas eksil 
Indonesia pasca 65.Melalui dialog ini sebenarnya penulis sedang menyampaikan 
kritik terhadapkehidupan social politik komunitas eksil di Eropa (halaman 167 
s/d halaman190). Kritik serupa pernah diajukan penulis dalam tulisan pendeknya 
berjudul”Surat Untuk Teman, eksil” pada bulan Juni 2014.

                 Penulis memahami latar belakang para eksil yangsebagian besar 
adalah ex-mahid, para pemuda-pemudi dengan semangat yang tinggi,diresapi oleh 
ideologi politik progresif pada jaman itu, penuh dengan ambisiyang membara 
untuk setelah selesai studi kembali pulang untuk ikut membangunIndonesia, 
sebagai satu-satuna tujuan hidup mereka. Tetapi penulismenyayangkan, setelah 50 
tahun lebih berlalu para eksil tetap hidup dalamlingkungan ketat terisolasi 
(continued living in a secluded close-knitenvironment), diikat oleh latar 
belakang social politik dan kultur yang sama,membangun kehidupan nyaman dan 
aman disekitar kepompong lingkungan yang merekakenal ( built their lives 
comfortably and securely around the cocoon offamiliar environment ).


Penulis menyayangkan kenapasetelah susah payah berhasil mendapat suaka dan 
hidup dinegeri Barat yangdemokratis, namun tidak menggunakan kesempatan itu 
untuk masuk dalam arus masyarakatmainstream, bahkan turut mengambil peran dalam 
pimpinan politik seperti banyakmasyarakat imigran lainnya di Eropa. Padahal 
diantara komunitas eksil Indonesiadi Eropa tidak kurang yang berpotensi. 
Bayangkan alangkah banyak yang dapatdikerjakan untuk Indonesia jika ada 
diantara mereka yang duduk dilembagakepemimpinan negara di Eropa dimana mereka 
bermukim. Tapi nyatanya tidak adayang menggunakan kesempatan ini. Ini dikritik 
tajam oleh penulis melaluidialoque antara Francisca dan Abraham.

                 Disini sekal lagi kita menyaksikan kelebihan MaySwan dalam 
menilai situasi. Ia tidak langsung menerima arus pandangan umum yangberlaku, 
berani keluar dari kungkungan stereotyping dalam berkarya.

               Kalau kita perhatikan, masyarakat Eropa sudahtertata. Sistim 
demokrasi berjalan selayaknya. Umumnya adalah welfare states.Sejujurnya, kalau 
ditilik dari peluang mencapai self-fulfilment dinegeri-negeri Eropa cukup 
besar. Masalah-masalah mereka tidak lagi serumitmasalah-masalah kita di 
Indonesia. Dalam setiap kampanye Pemilu perdebatanantara partai-partai politik 
pada pokoknya berkisar pada bagaimana membagi-bagihasil pemasukan negara secara 
adil menurut pandangan masing-masing.


Sungguh sayang peluang initidak pernah digunakan. Banyak peran eksekutif baik 
dipusat maupun didaerahditangani oleh orang-orang berlatar-belakang imigran 
yang berasal dari duniaketiga. Nah, kalau mereka bisa, kenapa orang kita tidak 
bisa? Pertanyaan initelah dijawab oleh May Swan dengan tajam namun benar: 
”Karena mereka tidakbersedia melangkah keluar dari suasana eksil, suasana yang 
mengemban perasaanfrustasi karena pernah diperlakukan tidak adil”. Dengan kata 
lain, perasaantakut kehilangan identity, kehilangan basis.

                 Dalam konteks kritik ini, sejak reformasi bergulir, sudahtidak 
terhitung banyaknya pakar ilmu social politik, sejarawan, profesor 
dariperguruan tinggi baik nasional maupun internasional, para mahasiswa 
pascasarjana dan wartawan dari berbagai media melakukan riset mengenai 
komunitaseksil pasca 65 di Eropa. Sudah banyak buku ditulis dan artikel-artikel 
dimuatdi berbagai media sebagai hasil penelitian dan wawancara. Tak kurang 
pulafilm-film dokumenter telah dibuat mengenai kehidupan mereka. Sebut 
sajabeberapa contoh misalnya David T. Hill, Emiritus Professor of Southeast 
AsianStudies and Fellow, Asia Research Centre for Social, Political and 
EconomicChange Murdoch University, Perth, Australia, sekurangnya sudah tiga 
kaliberkeliling ke Eropa melakukan riset, menerbitkan buku dan mengeluarkan 
tulisan-tulisanakademis tentang kehidupan para eksil pasca Tragedi Nasional 65. 
Disertasi AriJunaedi mengambil tema kasus  para eksilsetelah berkunjung dan 
tinggal seminggu lebih dengan para eksil di Swedia. Sampaisekarangpun masih ada 
PhD student kita di Uttrecht, Negeri Belanda, mengambil kisahpara eksil pasca 
65 sebagai oral history dalam satu bagian Bab disertasinya.Walau berbeda dalam 
tingkat kedalamannya, namun tedapat kesamaan dalammengangkat masalah, yakni 
hanya dari segi penderitaan mereka terbuang dariTanahair, tentang pengalaman 
dan perjalanan sebagai eksil intelektual dariTimur ke Barat, tentang rasa cinta 
pada Tanahair yang tak pernah padam, tentanganak bangsa menuai badai, tentang 
tersia-sianya potensi mereka, tentang bagaimanapara eksil tetap terkoneksi 
dengan tanah tumpah darahnya baik dalam kehidupansehari-hari maupun dalam 
ikatan bathin. Tulisan-tulisan itu hanya sampaidisitu. Baru kali ini ada yang 
menyorot dari segi yang berlainan, yang disampaikandalam bentuk kritik tajam 
oleh May Swan dalam bukunya The Letter. Sayangkritik-kritik itu sangat 
terlambat. Nampaknya May Swan juga menyadari ini; iamenutup kritiknya dengan 
menaruh harapan pada generasi berikutnya: ”May be thenext generation will be 
different”, katanya.

                 The Letter juga membuka secara mendalam lembaransejarah 
terbentuknya Federasi Malaya yang kemudian menjadi Federasi 
Malaysia.Perkembangan sejarah Malaya pasca Perang Dunia Ke II diuraikan dengan 
sangatmendetail dan dramatis melalui pembicaraan dengan Leng Chai, seorang 
survivordari keluarga korban Batang Kali massacre yang sangat kejam. Kasus 
pembunuhanmassal tersebut terjadi pada periode the Malayan Emergency, yaitu 
perang antaragabungan tentara Inggeris dan Australia melawan Anti British 
Liberation Armydibawah pimpinan Partai Komunis Malaya, Chin Peng. The Malayan 
Emergencyberlangsung dari tahun 1948 hingga 1960.

                 The Letter adalah sebuah novel yang berlatar belakangsejarah 
dan current affairs di Singapura, Malaysia dan Indonesia, diungkapmelalui jalur 
literature. Jalan cerita cukup menarik, hidup dan mudah diikuti,namun penuh 
dengan pendapat dan pandangan yang memprovokasi pikiran (thoughtprovoking). 
Mengajak pembaca keluar dari conventional thinking yang menyumbatpikiran, dan 
memperkenalkan adanya horizon yang luas terbentang di depan mata.


 
Tom Iljas

Stockholm, Jan. 2017.


 

Attachment: Membedah buku May Swan terbaru - THE LETTER.docx
Description: MS-Word 2007 document

Kirim email ke