Anda bisa lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia disini: 
http://kbbi.co.id/arti-kata/Cina apakah bung Chan mau mengajukan protes ke KBBI 
utk menghapus kata "cina" dari perbendaharaan katanya?
Kemelut kata cina dan tionghoa bukan dari pemerintahan China, tetapi justru 
dari dalam negeri sendiri, terutama dari perseteruan LPKB dan Baperki. Hal ini 
justru menunjukkan kenyataan diantara keturunan Tionghoa di Indonesia ada yg 
memilih kata tionghoa ada yg cina. Saya rasa biarlah generasi yg sekarang ini 
yg memilih mau pakai kata apa, mau dua2nya juga nggak ada masalah.
Bung Chan, anda sebaiknya belajar dari sejarah dan tidak perlu mengulangin 
keributan para orang tua itu yg tidak perlu sudah bukan jamannya lagi. Yg jelek 
adalah kalau hal itu dilandasin oleh pemaksaan.

 

    On Wednesday, February 1, 2017 7:45 PM, Chan CT <sa...@netvigator.com> 
wrote:
 

 Oouuuh, rupanya mengarah ke KCIC itu Kereta Cepat Indonesia, ... yang masih 
TETAP GUNAKAN CHINA! Penafsiran saya begini, CHINA di Indonesia itu menjadi 
TIONGKOK, bukan dan tidak mesti menjadi CINA! Tiongkok nampaknya masih 
mempertahankan sikap dimasa ORBA dahulu, boleh gunakan CHINA dan tidak gunakan 
CINA, sekalipun kalian mengatakan itulah bhs. Indonesia! Yaa, terserah sama 
pihak Tiongkok saja, mereka kalau lebih suka menggunakan CHINA atau Tiongkok, 
tapi tidak dengan CINA sekalipun kalian bilang itulah bhs. Indonesia dari 
CHINA! Memangnya kenapa kalau mereka hendak di gunakan CHINA atau Tiongkok, 
...? Salah dan itu berarti melecehkan Indonesia? Bukan sebaliknya kalau kita 
yang memaksakan sebutan CINA pada mereka itu yang tidak tahu aturan bahkan 
biadab? Coba saja sekarang kalau anda sudah menyatakan tidak suka dipanggil 
Bagong, lalu saya tetap saja panggil anda Bagong? Apa nggak jadi berantem, ... 
dan saya dibilang dableg dan kurang ajar??? Salam,ChanCT   From: Jonathan Goeij 
jonathango...@yahoo.com [GELORA45] Sent: Thursday, February 2, 2017 12:10 AMTo: 
Yahoogroups Subject: Re: [GELORA45] Museum peranakan Tionghoa di tengah Pasar 
Lama Tangerang ; Toleransi antar etnis di "Kota Cina Kecil" Lasem   Bung Chan, 
saya sepenuhnya setuju statement anda ini "menggunakan sebutan nama satu 
NEGARA/BANGSA sepenuhnya adalah HAK NEGARA/BANGSA yang bersangkutan, sesuai 
kehendak nya yang dianggap paling disukai" tetapi saya tidak pernah mendapat 
referensi resmi pernyataan anda ini "Tapi yang PASTI, RRT selama ini TIDAK BISA 
menyetujui negaranya disebut Republik Rakyat CINA." Dalam konteks Kereta Cepat 
Indonesia Cina (KCIC) justru yg dipakai malah kata Cina. Dalam konteks 
internasional ternyata yang dipilih nama China yg terbukti dengan nama resmi 
The People's Republic of China di PBB. Sedang kata China kalau diterjemahkan 
kebahasa Indonesia tentu Cina, sedang kata Tionghoa tentu terjemahan dari kata 
Zhonghoa lafal hokkian dari nama Zhonghoa Renmin Gongheguo 中華人民共和國. Dilihat 
disini sebenarnya kedua kata itu okey saja dan boleh dipakai. Baik kata Cina 
ataupun Tionghoa menurut saya kata2 yang netral saja. Dalam konteks politik 
tempo hari waktu perdebatan pemilihan kata cina dan tionghoa saya berdiri 
dipihak kata tionghoa menuntut pencabutan SE yg memaksa pemakaian kata Cina dan 
menghapus Tionghoa itu. Tetapi setelah itu saya rasa sebaiknya dikembalikan 
lagi pada masyarakat secara bebas mau pakai kata apa bagi dirinya. Mengutip 
kembali kata2 anda "menggunakan sebutan nama satu NEGARA/BANGSA sepenuhnya 
adalah HAK NEGARA/BANGSA yang bersangkutan, sesuai kehendak nya yang dianggap 
paling disukai" adalah suatu kenyataan ada yg memilih sebutan tionghoa dan ada 
yg memilih cina. Dalam konteks Kereta Cepat Indonesia Cina seharusnya kalau 
anda keuhkeuh seharusnya anda protes kenapa kok dipakai kata Cina, hal ini 
pernah saya tanyakan pada anda tempo hari tapi tidak pernah dijawab. ---In 
GELORA45@yahoogroups.com, <SADAR@...> wrote :

Bung Goei, bukankah menurut saya, menggunakan sebutan nama satu NEGARA/BANGSA 
sepenuhnya adalah HAK NEGARA/BANGSA yang bersangkutan, sesuai kehendak nya yang 
dianggap paling disukai. Termasuk HAK merubah dan mengganti dengan sebutan yang 
yang lain. Jadi, mengenai sebutan negara The People’s Republic of China di PBB 
maupun dinegara-negara didunia lainnya, itu sepenuhnya terserah saja pada RRT 
bisa menerima atau tidak. Begitulah sebutan CHINA dalam bhs. Inggris yg 
digunakan sejak 1911, dibentuknya Republic of China. Tapi yang PASTI, RRT 
selama ini TIDAK BISA menyetujui negaranya disebut Republik Rakyat CINA seperti 
dimasa ORBA Suharto berkuasa! Itu hanya menunjukkan sikap Suharto yang BIADAB, 
tidak tahu aturan, ...!  Yang bung Ajeg maksudkan KCIC itu apa, ya? 
Salam,ChanCT  From: ajeg ajegilelu@... [GELORA45]Sent: Wednesday, February 1, 
2017 5:11 PMTo: GELORA45@yahoogroups.comSubject: Re: [GELORA45] Museum 
peranakan Tionghoa di tengah Pasar Lama Tangerang ; Toleransi antar etnis di 
"Kota Cina Kecil" Lasem Bagaimana dengan KCIC? --- jonathangoeij@... wrote:
Bung Chan apakah bisa menjelaskan pemakaian kata China pada nama negara The 
People's Republic of China, kenapa nama China yang dipakai dan bukannya 
Tionghoa atau Zhonghoa bukankah nama aslinya Zhonghoa Renmin Gongheguo 中華人民共和國.
--- SADAR@... wrote :

SETUUJUUUU, ... mang Radi! Sebenarnya saja sebutan NEGARA/BANGSA sepenuhnya 
adalah HAK bangsa itu sendiri hendaknya, sukanya disebut apa dan merubahnya 
sebutan yang dirasakan lebih pantas dan nyaman bangsa itu sendiri! Kita yang 
bersahabat dengan bangsa tsb. tentu WAJIB mengikuti dan nurut saja. Hanya saja 
selama lebih 32 tahun jenderal Soeharto berkuasa, dan bertujuan merusak 
hubungan persahabatan “MESRAH” dengan rakyat TIongkok yang dijalin oleh 
Presiden Soekarno itu, dengan biadab memaksakan gunakan sebutan CINA yang 
berkonotasi melecehkan dan penghinaan itu untuk menggantikan penggunaan sebutan 
Tiongkok/Tionghoa, ... yaitu dengan resmi keluarkan Surat Edaran Presidium 
Kabinet Ampera Nomor SE.06/Pres.Kab/6/1967. Dengan demikian, sejak 28 Juni 1967 
itulah RI secara resmi merubah sebutan Tiongkok/Tionghoa menjadi CINA! 
Sekalipun pihak RRT berulangkali secara resmi pun menentang dan mengecam keras 
penggunaan CINA itu! Namun ingat, setelah Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera 
No. SE.06/Pres.Kab/6/1967 tgl 28 Juni 1967 dengan RESMI DICABUT oleh SBY 
menjelang akhir jabatannya dengan Surat Keputusan Presiden no.12, tanggal 12 
Maret 2014, menetapkan kembali menggunakan sebutan Tiongkok/Tionghoa, dan 
dengan tegas pula menghentikan penggunaan sebutan “CINA” yang semula digunakan 
untuk menghina Tiongkok dan melecehkan Tionghoa di Indonesia itu. Saya yakin, 
sejak 12 Maret 2014 itu, Pemerintah RI dalam hubungan resmi dengan Tiongkok, 
baik pembicaraan lisan maupun tertulis SUDAH menggunakan kembali sebutan 
Tiongkok/Tionghoa sebagaimana kehendak bangsa Tionghoa dan Negara Tiongkok! 
Sementara ini dalam pergaulan masyarakat dan sementara media masih saja 
menggunakan sebutan CHINA bahkan CINA! Dan selama ini pihak pemerintah RI juga 
mendiamkan, membiarkan saja, ... Aneh, tapi itulah kenyataan yang terjadi! Dan 
sayapun yakin, diantara mereka yang tetap gunakan sebutan China/Cina, tentu ada 
kelompok rasialis yg justru makin anti-pati pada TIONGKOK timbul KEBENCIAN luar 
biasa pada kemajuan RRT 30 tahun terakhir ini! Sengaja bertahan dengan 
ngototnya menggunakan sebutan CINA untuk menghina Tiongkok yang makin JAYA! 
Dikira dengan sebutan CINA yang meenghina itu RRT bisa tumbang, ...! Biarlah 
anjing-anjing GILA itu menggonggong sepuasnya, selama tidak menggigit. Hehehee, 
... Begitu juga dalam pergaulan sehari-hari, saya mengambil sikap membiarkan 
mereka masih saja menggunakan sebutan China dan Cina selama tidak digunakan 
untuk menghina Tiongkok dan melecehkan Tionghoa, ... TERBIASA sudah gunakan 
CINA! Begitu kalau ditegur! Ada lagi anak muda yang saya tanya merasa lebih 
enak gunakan Cina dan sesuai dengan bhs. Indonesia, katanya! Tapi, dalam 
pembicaraan dengan saya, setelah ditegur mereka juga merubah dengan 
Tiongkok/TIonghoa! Itu namanya orang-orang yang bisa dinamakan BERADAB! Sampai 
sekarang saya belum bertemu dengan orang yang BIADAB, atau wong EDAN yang 
ngotot bertahan gunakan sebutan CINA. Tapi, saya kira juga tidak perlu berkeras 
mempersoalkan sebutan Cina, apalagi harus baku-hantam hanya karena sebutan CINA 
itu! Bagi saya yang lebih PENTING bagaimana SIKAP mereka sesungguhnya dalam 
menggunakan sebutan CINA itu, ... karena kenyataan CINA sudah tidak lagi 
digandoli Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE.06/Pres.Kab/6/1967 yang 
memang bertujuan menghina Tiongkok dan melecehkan Tionghoa di Indonesia itu. 
Sebagaimana permintaan mang Radi, saya lampirkan pidato lengkap Presiden 
Soekarno dihadapan Pembukaan Kongreske-8 BAPERKI tahun 1963, untuk mengikuti 
kembali bagaimana sikap Bung Karno terhadap Tionghoa Indonesia! Salam,ChanCT  
From: Dharmawan IsaakSent: Tuesday, January 31, 2017 5:10 AM Saja kira, kalau 
saja bertanja kepada saudara2 bangsa Indonesia SUKU BANGSA TIONGHOA;Apakah 
mereka setudju dengan adjaran Bung Karno,pasti sebagian besar dari mereka akan 
mendjawab setudju, bahkan banjak diantara mereka akan mengaku sukarnois.
Tapi anehnja suku Tionghoa, masih banjak jang suka menggunakan kata 
"Tjina/Cina" di tempat  Tionghoa atau Tiongkok. Menurut saja toleransi dan 
persatuan tidak bisa ditjapai dengan penjerahan, persatuan dan toleransi harus 
dihasiklkan oleh perdjuangan. Jang saja maksud perdjuangan, tidak berarti 
mendjadi radikal atau melakukan tindakan kekerasan seperti dilakukan 
gerombolan2 intoleransi.
Dalam hubugan ini saja menghimbau pimpinan GELORA 45, supajamempublikasi pidato 
Bung Karno di kongres Baperki. Bung Chan pasti tau pidato mana jang saja 
maksudkan. 21 Maret 2010 pukul 17:07 Orang awam minta tolong kepada semua 
orang2 yang pandai, sampai sekarang saya merasa jadi seorang konservatif, 
pembuktiannya sangat sederhana, saya tidak bisa mengatakan kata Cina atau 
menulisnya. Padahal saya sudah melihat ada beberapa orang Indonesia sukubangsa 
Tionghoa (ini istilah Bung Karno) menulis atau berkata dengan lancar 
menggunakan Cina.Ditinjau dari kesukuan padahal saya ini “asli” Sunda.Yang 
menyebabkan orang awam tetap konservatif pun sangat sederhana. Di jaman 
baheula, jaman ost indiesche, memang sering mendengar secara kembar kata2 Cina 
maupun Tiongkok dan Tionghoa, sesudah jaman sigundul kata2 Cina menyusut, kata2 
Tiongkok dan Tionghoa jadi dominan. Sesudah berdirinya RI dibawah pimpinan Bung 
Karno, secara resmi yang digunakan adalah untuk nama negeri Tiongkok, sedangkan 
untuk bangsa, bahasa digunakan Tionghoa. Penggunaan kata2 ini tidak kebetulan 
tapi merupakan sikap politik resmi dari pemerintah RI waktu itu, ialah untuk 
membedakan Taiwan yang menamakanukan diri “Republik Cina”padahal sesungguhnya 
hanya boneka Amerika, sedangkan disana di seberang laut, yang sering dinamakan 
daratan berdiri Republik Rakyat Tiongkok.Ternyata sejarah berjalan lain, di 
Indonesia terjadi perebutan kekuasaan oleh rezim fasis Suharto, sesudah dia 
mentancapkan kuku kekuasaannya dengan kuat, maka dikeluarkannya se-banyak2nya 
peraturan yang represi, satu diantara lain; peraturan MPR No.25 yang isinya 
pelarangan PKI dan ajran marxisme,juga dilarang menggunkan kata2 Tiongkok dan 
Tionghoa, dilarang merayakan tahun baru Imlek, dan dilarang Kong Fu Chuisme 
dianut sebagai agama, diharuskan mengganti nama yang diberikan oleh nenek 
moyangnya dan yang dipakai sebagai tanda budaya, juga diwajibkan mengganti 
agama.Menggantikan sebutan Tiongkok dan Tionghoa dengan Cina.Ditinjau dari ini 
jelas bahwa kata Cina di Indonesia adalah lambang penindasan yang kejam dan 
diskriminasi, terhadap bangsa senbdiri/Indonesia suku Tionghoa.Dalam hal ini 
pernah seorang kenalan muda, menanyakan, bagaimana dalam bahasa Inggris   dan 
beberapa bahasa asing lainnya tidak Tiongkok tetapi Cina, dalam hal ini saya 
hanya bisa jelaskan, pertama masalah yang kita bicarakan bukan mengapa orang 
asing mengunakan kata Cina, tapi membicarakan sikap orang Indonesia terhadap 
kata "cina" yang dipaksakan oleh rezim otoriter fasis Suharto, kedua saya 
merasa tidak punyak hak untuk membicaraan soal itu karena tidak menguasai basa 
asng. Yang paling penting saya tidak tunduk kepada kepada peraturan rezim 
fasis. 2017-01-30 2:45 GMT+01:00 Chan CT <sadar@...>:

 
 
    
Museum peranakan Tionghoa di tengah Pasar Lama Tangerang
 ·         29 Januari 2017 http://www.bbc.com/indonesia/ majalah-38786706 Hak 
atas fotoBBC INDONESIA Image captionBangunan Museum Benteng Heritage 
diperkirakan berusia 200 tahun. Di tengah keramaian pasar di Kota Tangerang 
Banten, terdapat sebuah museum yang menyimpan kekayaan budaya dan sejarah 
peranakan Tionghoa di Indonesia. Wartawan BBC Indonesia Sri Lestari mengunjungi 
Museum Benteng Heritage yang didirikan pria keturunan Tionghoa atau Cina 
Benteng. Suasana Imlek tampak kental di Pasar Lama Kota Tangerang, sejumlah 
pedagang menjual lampion, amplop untuk ang pau dan ornamen berbentuk ayam untuk 
menyambut Tahun Ayam Api. Tak ketinggalan kuliner khas Imlek, antara kue 
keranjang, dan bandeng. Sejumlah orang tampak berdoa sambil memegang dupa di 
Klenteng Boen Tek Bio yang berada di di tengah pasar yang merupakan cikal bakal 
Kota Tangerang ini. Kawasan ini dulu disebut Benteng, yang merujuk pada 
bangunan benteng di pinggir Sungai Cisadane yang dibangun untuk melindungi 
Vereenugde Oostindische Compagnie  VOC dari serangan pasukan Kesultanan 
Banteng. Orang Tionghoa sudah berada di Tangerang sejak 1407 melalui Teluk 
Naga, jauh sebelum kedatangan VOC, keturunan mereka kemudian disebut dengan 
istilah Cina Benteng. §  Melongok Museum Benteng Heritage di Tangerang §  
Toleransi antar etnis di "Kota Cina Kecil" Lasem Di sekitar klenteng yang 
dibangun pada 1775 masih ada beberapa bangunan tua yang sebagian besar 
digunakan sebagai toko. Salah satu bangunan tua itu digunakan Museum Benteng 
Heritage, yang hampir tidak terlihat karena tertutup lapak para pedagang pasar. 
Hak atas fotoBBC INDONESIA Image captionBangunan Museum Benteng Heritage berada 
di tengah pasar. Di dalam museum tampak beberapa pengunjung tengah mendengarkan 
penjelasan dari seorang pemandu di sebuah ruang makan yang dihiasi ornamen 
peranakan Tionghoa. Di lantai dua yang digunakan untuk menyimpan benda-benda 
bersejarah, tampak pemilik dan pendiri Museum Benteng Heritage Udaya Halim atau 
Lim Cin Peng meladeni sejumlah tamu. Meski tinggal di Australia, Udaya secara 
rutin kembali ke tanah air. Kecintaannya terhadap budaya leluhur dan 
pendidikan, membuat pria yang menghabiskan masa kecilnya di kawasan Pasar Lama 
membeli bangunan ini lalu menjadikannya sebagai museum. "Saya sendiri lahir di 
Tangerang sebagai orang Tionghoa, orang Cina Benteng," kata Udaya, "Kebetulan 
lagi saya suka dengan budaya dan kebudayaan Tionghoa sudah mengakar di 
Indonesia, seharusnya lebih diperkenalkan lagi agar keindonesiaan orang 
Tionghoa itu juga bisa diakui sebagaimana mestinya". Hak atas fotoBBC INDONESIA 
Image captionUdaya Halim mendirikan museum untuk memperkenalkan budaya 
peranakan Tionghoa di Indonesia. Dia membeli bangunan yang diperkirakan 
didirikan pada abad ke 17 ini dari sebuah keluarga yang telah menempatinya 
selama delapan generasi, dengan kondisi yang tidak terawat. "Saya dulu tinggal 
di rumah itu" kata Udaya sambil menunjuk sebuah rumah yang terletak di seberang 
museum, "Tapi kemudian pindah karena orangtua tak mampu, dulu waktu kecil saya 
suka main ke rumah ini". 
Upaya restorasi
 Udaya kemudian merestorasi bangunan ini selama dua tahun dengan berkonsultasi 
dengan para koleganya yang merupakan ahli sejarah dan arsitektur di berbagai 
negara. Selain itu, Udaya pun mengunjungi sejumlah kota di Indonesia dan 
Malaysia yang memiliki bangunan tua peninggalan keturunan Cina untuk mengkaji 
hubungan sejarahnya. "Ke Malaka saya sudah 36 kali sudah sejak saya bangun ini, 
dan ke Penang sudah lebih dari 10 kali dan saya juga riset ke tempat-tempat 
yang tua ke Lasem, Palembang dan dalam negeri juga, nah saya cari historical 
link nya , jadi dari jejak bangunannya dan saya lihat jejak bangunannya sama 
dengan yang ada di Malaka pada abad 17 akhir 18," jelas Udaya. Hak atas fotoBBC 
INDONESIA Image captionSeorang pemandu tengah menjelaskan ornamen di ruang 
makan di Museum Benteng Heritage kepada pengunjung.Hak atas fotoBBC INDONESIA 
Image captionRelief yang bercerita tentang kisah Jenderal Kwang Kong yang 
merupakan bagian dari legenda Sam Kok. Dia berupaya untuk mengembalikan 
karakter asli bangunan tersebut, dan tidak mengganti bagian dari bangunan. 
Sebagai contoh, keramik yang menutupi lantai asli bangunan tersebut berupa 
tegel kemudian dibongkar. Di salah satu bagian bangunan terdapat semacam ukiran 
dari pecahan keramik, yang bercerita tentang seorang tokoh dalam legenda Sam 
Kok, yaitu Jenderal Kwang Kong yang dikenal oleh masyarakat di negeri Cina 
dengan sifat yang jujur, gagah dan berani. Udaya mengatakan masuk dulu 
merupakan tempat tinggal, tetapi dia menduga bangunan ini awalnya didirikan 
sebagai rumah komunitas Tionghoa karena terletak di bagian belakang klenteng. § 
 Warga keturunan Tionghoa terbelah soal Ahok §  Benarkah sentimen anti-Cina di 
Indonesia kini menguat? 
Dari kebaya sampai perabot
 Setelah upaya restorasi, Udaya mengisi bangunan ini dengan berbagai koleksi, 
antara lain, kebab encim, berbagai macam timbangan, uang kuno, serta perabot 
tua. Dia mendapatkan benda-benda dengan berbagai cara. "Setiap keping ini saya 
dapatkan mulai saya beli sendiri, saya dapat dari masyarakat atau bahkan saya 
lihat menggeletak di gudang," jelas Udaya kemudian menunjukkan sebuah meja 
dengan hiasan lukisan dari kerang. Meja ini didapat dari sebuah gudang milik 
rekannya dalam kondisi sudah rusak berkeping-keping. Udaya kemudian 
merestorasinya selama enam bulan, kemudian diketahui meja yang berasal dari 
Cina ini diduga sudah berada di Indonesia sejak 200 tahun lalu. Hak atas 
fotoBBC INDONESIA Image captionSepatu tradisional perempuan Tionghoa dipamerkan 
di museum.Hak atas fotoBBC INDONESIA Image captionSejumlah timbangan kuno 
merupakan koleksi Museum Benteng Heritage. Di sebuah ruang khusus di lantai 
dua, Udaya menyimpan koleksi kamera dan gramafon tua, serta piringan hitam 
langka, antara lain lagu genjer-genjer yang dinyanyikan Bing Slamet dan lagu 
Indonesia Raya karya WR Supratman yang direkam pada tahun 1950an yang sempat 
diperdengarkan sore itu. Mantan Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan 
Kebudayaan Kota Tangerang Nurul Huda mengatakan Museum Benteng Heritage ini, 
sudah menjadi salah satu cagar budaya di kawasan Pasar Lama Tangerang. Hak atas 
fotoBBC INDONESIA Image captionPasar Lama merupakan cikal bakal Kota Tangerang. 
 
 
Berita terkait
 ·        
Toleransi antar etnis di "Kota Cina Kecil" Lasem
 
Sri LestariWartawan BBC Indonesia
 ·         19 Februari 2015 http://www.bbc.com/indonesia/ 
berita_indonesia/2015/02/ 150219_lasem_toleransi  
(Message over 64 KB, truncated)


#yiv5093344526 #yiv5093344526 -- #yiv5093344526ygrp-mkp {border:1px solid 
#d8d8d8;font-family:arial;margin:10px 0;padding:0 10px;}#yiv5093344526 
#yiv5093344526ygrp-mkp hr {border:1px solid #d8d8d8;}#yiv5093344526 
#yiv5093344526ygrp-mkp #yiv5093344526hd 
{color:#628c2a;font-size:85%;font-weight:700;line-height:122%;margin:10px 
0;}#yiv5093344526 #yiv5093344526ygrp-mkp #yiv5093344526ads 
{margin-bottom:10px;}#yiv5093344526 #yiv5093344526ygrp-mkp .yiv5093344526ad 
{padding:0 0;}#yiv5093344526 #yiv5093344526ygrp-mkp .yiv5093344526ad p 
{margin:0;}#yiv5093344526 #yiv5093344526ygrp-mkp .yiv5093344526ad a 
{color:#0000ff;text-decoration:none;}#yiv5093344526 #yiv5093344526ygrp-sponsor 
#yiv5093344526ygrp-lc {font-family:arial;}#yiv5093344526 
#yiv5093344526ygrp-sponsor #yiv5093344526ygrp-lc #yiv5093344526hd {margin:10px 
0px;font-weight:700;font-size:78%;line-height:122%;}#yiv5093344526 
#yiv5093344526ygrp-sponsor #yiv5093344526ygrp-lc .yiv5093344526ad 
{margin-bottom:10px;padding:0 0;}#yiv5093344526 #yiv5093344526actions 
{font-family:verdana;font-size:11px;padding:10px 0;}#yiv5093344526 
#yiv5093344526activity 
{background-color:#e0ecee;float:left;font-family:verdana;font-size:10px;padding:10px;}#yiv5093344526
 #yiv5093344526activity span {font-weight:700;}#yiv5093344526 
#yiv5093344526activity span:first-child 
{text-transform:uppercase;}#yiv5093344526 #yiv5093344526activity span a 
{color:#5085b6;text-decoration:none;}#yiv5093344526 #yiv5093344526activity span 
span {color:#ff7900;}#yiv5093344526 #yiv5093344526activity span 
.yiv5093344526underline {text-decoration:underline;}#yiv5093344526 
.yiv5093344526attach 
{clear:both;display:table;font-family:arial;font-size:12px;padding:10px 
0;width:400px;}#yiv5093344526 .yiv5093344526attach div a 
{text-decoration:none;}#yiv5093344526 .yiv5093344526attach img 
{border:none;padding-right:5px;}#yiv5093344526 .yiv5093344526attach label 
{display:block;margin-bottom:5px;}#yiv5093344526 .yiv5093344526attach label a 
{text-decoration:none;}#yiv5093344526 blockquote {margin:0 0 0 
4px;}#yiv5093344526 .yiv5093344526bold 
{font-family:arial;font-size:13px;font-weight:700;}#yiv5093344526 
.yiv5093344526bold a {text-decoration:none;}#yiv5093344526 dd.yiv5093344526last 
p a {font-family:verdana;font-weight:700;}#yiv5093344526 dd.yiv5093344526last p 
span {margin-right:10px;font-family:verdana;font-weight:700;}#yiv5093344526 
dd.yiv5093344526last p span.yiv5093344526yshortcuts 
{margin-right:0;}#yiv5093344526 div.yiv5093344526attach-table div div a 
{text-decoration:none;}#yiv5093344526 div.yiv5093344526attach-table 
{width:400px;}#yiv5093344526 div.yiv5093344526file-title a, #yiv5093344526 
div.yiv5093344526file-title a:active, #yiv5093344526 
div.yiv5093344526file-title a:hover, #yiv5093344526 div.yiv5093344526file-title 
a:visited {text-decoration:none;}#yiv5093344526 div.yiv5093344526photo-title a, 
#yiv5093344526 div.yiv5093344526photo-title a:active, #yiv5093344526 
div.yiv5093344526photo-title a:hover, #yiv5093344526 
div.yiv5093344526photo-title a:visited {text-decoration:none;}#yiv5093344526 
div#yiv5093344526ygrp-mlmsg #yiv5093344526ygrp-msg p a 
span.yiv5093344526yshortcuts 
{font-family:verdana;font-size:10px;font-weight:normal;}#yiv5093344526 
.yiv5093344526green {color:#628c2a;}#yiv5093344526 .yiv5093344526msonormal 
{margin:0 0 0 0;}#yiv5093344526 o {font-size:0;}#yiv5093344526 
#yiv5093344526photos div {float:left;width:72px;}#yiv5093344526 
#yiv5093344526photos div div {border:1px solid 
#666666;height:62px;overflow:hidden;width:62px;}#yiv5093344526 
#yiv5093344526photos div label 
{color:#666666;font-size:10px;overflow:hidden;text-align:center;white-space:nowrap;width:64px;}#yiv5093344526
 #yiv5093344526reco-category {font-size:77%;}#yiv5093344526 
#yiv5093344526reco-desc {font-size:77%;}#yiv5093344526 .yiv5093344526replbq 
{margin:4px;}#yiv5093344526 #yiv5093344526ygrp-actbar div a:first-child 
{margin-right:2px;padding-right:5px;}#yiv5093344526 #yiv5093344526ygrp-mlmsg 
{font-size:13px;font-family:arial, helvetica, clean, sans-serif;}#yiv5093344526 
#yiv5093344526ygrp-mlmsg table {font-size:inherit;font:100%;}#yiv5093344526 
#yiv5093344526ygrp-mlmsg select, #yiv5093344526 input, #yiv5093344526 textarea 
{font:99% arial, helvetica, clean, sans-serif;}#yiv5093344526 
#yiv5093344526ygrp-mlmsg pre, #yiv5093344526 code {font:115% 
monospace;}#yiv5093344526 #yiv5093344526ygrp-mlmsg * 
{line-height:1.22em;}#yiv5093344526 #yiv5093344526ygrp-mlmsg #yiv5093344526logo 
{padding-bottom:10px;}#yiv5093344526 #yiv5093344526ygrp-msg p a 
{font-family:verdana;}#yiv5093344526 #yiv5093344526ygrp-msg 
p#yiv5093344526attach-count span {color:#1e66ae;font-weight:700;}#yiv5093344526 
#yiv5093344526ygrp-reco #yiv5093344526reco-head 
{color:#ff7900;font-weight:700;}#yiv5093344526 #yiv5093344526ygrp-reco 
{margin-bottom:20px;padding:0px;}#yiv5093344526 #yiv5093344526ygrp-sponsor 
#yiv5093344526ov li a {font-size:130%;text-decoration:none;}#yiv5093344526 
#yiv5093344526ygrp-sponsor #yiv5093344526ov li 
{font-size:77%;list-style-type:square;padding:6px 0;}#yiv5093344526 
#yiv5093344526ygrp-sponsor #yiv5093344526ov ul {margin:0;padding:0 0 0 
8px;}#yiv5093344526 #yiv5093344526ygrp-text 
{font-family:georgia;}#yiv5093344526 #yiv5093344526ygrp-text p {margin:0 0 1em 
0;}#yiv5093344526 #yiv5093344526ygrp-text tt {font-size:120%;}#yiv5093344526 
#yiv5093344526ygrp-vital ul li:last-child {border-right:none 
!important;}#yiv5093344526 

   

Kirim email ke