Iran dan Tiongkok Tantang Trump dengan Unjuk Kekuatan Militer
 Selasa, 07 Februari 2017      11:41 WIB


Jakarta -- Tiongkok dan Iran, dua negara yang dianggap sebagai musuh Amerika 
oleh Presiden Donald Trump, membalas permusuhan Trump dengan unjuk kekuatan 
lewat latihan militer di kawasannya masing-masing.

Iran menggelar latihan militer dan sekaligus pamer senjata barunya yang disebut 
para pemimpinnya akan memperkuat pertahanan negara itu, sedangkan Tiongkok 
menguji coba peluru kendali terbarunya menyusul sentilan Trump di Twitter atas 
manuver Tiongkok di Laut China Selatan.

Menteri Pertahanan Iran Brigjen Hossein Dehqan mempertontonkan senjata baru 
Iran, termasuk peluru kendali, peluncur granat dan pistol. Senjata-senjata ini 
akan meningkatkan kemampuan militer Iran dalam pertempuran individual dan 
pertahanan udara, kata Dehqan kepada Kantor Berita Tasnim.

Iran juga memperingatkan jika diserang maka peluru kendalinya akan menghajar 
Armada AS yang berbasis di Bahrain, instalasi-instalasi militer AS di Samudera 
Hindia dan ibu kota Israel, Tel Aviv.

"Titik-titik ini ada dalam jangkauan tembak sistem peluru kendali Iran, dan 
semuanya akan rata dengan tanah jika musuh berbuat salah," kata Mojtaba Zonour, 
anggota Komisi Keamanan Nasional dan Luar Negeri Parlemen Iran. "Dan hanya 
perlu tujuh menit bagi peluru kendali Iran untuk menghajar Tel Aviv."

Sementara itu, Tiongkok mengujicoba peluru kendali berkepala nuklir yang 
berjangkauan 600 mil yang bisa menyasar Taiwan, Korea dan Jepang, selain 
kapal-kapal yang bergerak di lautan.

Peluru kendali DF-16 ini diluncurkan dari peluncur bergerak yang membuatnya 
sulit dihancurkan sebelum meluncurkan rudalnya. Peluru kendali ini dirancang 
untuk memperluas kemampuan laut militer Tiongkok.

Uji coba ini dilakukan setelah Trump menganggap Tiongkok sebagai ancaman. Trump 
memang langsung memberikan sinyal bermusuhan kepada Tiongkok dengan menerima 
telepon dari Presiden Taiwan, menyatakan AS tak terikat dengan kebijakan "Satu 
Tiongkoka", dan menuduh Tiongkok sengaja mendevaluasi Yuan untuk memukul 
produk-produk impor dari AS, demikian USA Today.

Kirim email ke