*MENTOR KAKEKNYA ANIES ADALAH LIEM KOEN HIAN*

Klaim Anies Baswedan bahwa PAI (1934) yang pertama menyatakan dukungan kepada 
Indonesia, itu menyesatkan opini. Tahun 1932, Liem Koen Hian sudah mendirikan 
Partai Tionghoa Indonesia (PTI), yang tanpa henti menyerukan kepada peranakan 
Tionghoa untuk memberikan loyalitas politiknya kepada Indonesia.

*Liem Koen Hian juga adalah salah satu founding fathers Indonesia yang ikut 
menjadi anggota BPUPKI.*

Pembentukan asosiasi Arab oleh kakek Anies "nyontek" asosiasi Tionghoa karena 
belajarnya dari situ.

Ini penjelasan sejarah yang lebih rinci tentang klaim tersebut (Artikel lengkap 
bisa dilihat disini: 
https://tirto.id/yang-tidak-dikatakan-anies-baswedan-di-markas-fpi-ce1b):   
_Anies: Mereka menyatakan sumpah tanah air Indonesia sebelum Indonesia-nya ada. 
Tidak ada yang lain yang melakukan itu kecuali keturunan Arab di Indonesia. 
Enggak ada. 

Sebelum PAI berdiri dan mendeklarasikan kesetiaan pada tanah air Indonesia, 
sekelompok orang Tionghoa sudah lebih dulu mendirikan Partai Tionghoa Indonesia 
(PTI) pada 25 September 1932. PTI adalah organisasi yang mempromosikan 
pandangan agar warga keturunan Tionghoa (yang lahir) di Indonesia menjunjung 
tinggi tanah air Indonesia.

Bagi PTI, Indonesia adalah tanah airnya, dan mau berjuang untuk kemerdekaan 
Indonesia. 

*PTI didirikan oleh Liem Koen Hian. Siapa dia? Dia adalah mentor A.R. Baswedan 
(kakek Anies) dalam jurnalisme dan politik. Liem pula yang mengundang A.R. 
Baswedan untuk bergabung dengan Sin Tit Po, koran yang dipimpin oleh Liem. 
Bahkan PAI sendiri terinspirasi dari PTI.* 

*Natalie Mobini Kesheh, dalam The Hadrami Awakening: Community and identity in 
the Netherlands East Indies, 1900-1942 (hal. 135) menulis: [L]iem's ideas were 
an important influence upon his own, and that the PTI was a model for PAI which 
Baswedan founded two years later.”*

PTI sendiri terinspirasi dari Indische Partij, sebuah organisasi radikal yang, 
saking radikalnya, tidak pernah disahkan oleh pemerintah kolonial. Kendati juga 
berisi orang-orang bumiputera, dengan Soewardi dan Tjipto sebagai tokoh 
utamanya, tapi anggota Indische Partij *yang berlatar belakang keturunan 
Belanda atau Eropa lima kali lipat* lebih banyak dari orang bumiputera.

Oleh: Amrih Widodo


Yang Tidak Dikatakan Anies Baswedan di Markas FPI

Calon Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memenuhi undangan diskusi FPI di 
Petamburan, Jakarta. FOTO/Doc.Istimewa 9.9k Shares   Reporter: Zen RS
06 Januari, 2017dibaca normal 9 menitAnis Baswedan Bicara Blak Blakan di Depan 
Habib Rizieq, Soal Pilkada DKI
https://www.youtube.com/watch?v=lYfQYH3VNS4 a.. Menguji apa yang luput 
disampaikan Anies Baswedan tentang sejarah saat berbicara di Markas FPI 
  b.. Anies Baswedan keliru, alpa, dan mungkin luput atau lupa beberapa detail 
terkait ceramahnya di Markas FPI
Kelompok Arab bukanlah kelompok yang pertama menyatakan setia terhadap 
Indonesia. Sebelum deklarasi Persatoean Arab Indonesia (PAI), sekelompok orang 
Tionghoa mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada 1932.tirto.id - Anies 
adalah satu-satunya calon gubernur DKI yang berkarier di bidang akademik. 
Sylviana Murni juga pernah menjadi dosen, tapi ia calon wakil gubernur, bukan 
calon gubernur. Ahok dan Agus sama-sama mencicipi pendidikan pascasarjana, tapi 
hanya Anies yang menekuni karier di bidang akademik. Hanya Anies pula yang 
meraih gelar Doktor atau PhD, menduduki jabatan rektor di Universitas 
Paramadina, dan menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. 

Nalar akademik yang bertahun-tahun digeluti Anies diuji selama proses kampanye 
Pilkada DKI. Reputasi Anies sebagai seorang terpelajar yang mengajar (bahkan 
menginisiasi program Indonesia Mengajar) dan peneliti dihadapkan dengan 
realisme politik yang sama sekali tidak membutuhkan catatan kaki. 

Salah satu ujian itu datang saat ia mendatangi markas Front Pembela Islam (FPI) 
di Petamburan, Jakarta. Terutama, justru, karena Anies membuka pidatonya dengan 
uraian tentang keilmiahan sebuah paper. Ceramah itu kemudian masuk ke soal-soal 
sejarah, khususnya sejarah Islam di dunia dan kelompok Arab di Indonesia.  

Tulisan ini adalah usaha pengecekan fakta, atau bisa juga disebut sebagai upaya 
melengkapi ceramah itu dengan hal-hal yang luput diutarakan Anies.

TENTANG JALUR REMPAH

Anies: Apa barang yang dibawa di jalur sutra itu? Yang dibawa adalah 
rempah-rempah. Dibawanya dari mana? Dari Maluku. Ketika kemudian jalur sutra 
itu ditutup, yang pegang adalah pedagang Islam. ... Bahwa rempah itu dibawanya 
dulu memang Jalur Sutra, tapi kemudian menggunakan jalur laut. Jauh lebih 
murah, jauh lebih efisien ... Dan di sanalah yang namanya transmultinasional 
muslim itu terjadi. Bentangannya kira-kira dari Maroko hingga ke Maluku. ... 
60% GDP dunia di tangan mereka. Dan apa bahasa internasionalnya? Bahasa 
internasionalnya adalah bahasa Arab. Lingua franca di semua titik menggunakan 
bahasa Arab.

Pertama, Jalur Sutra merujuk rute transportasi perdagangan yang menghubungkan 
Timur dan Barat, terutama dari Asia Daratan khususnya Cina ke Laut Mediterania, 
yang dari sana berlanjut hingga ke dunia Eropa. Ini adalah jaringan perdagangan 
berusia tua yang sudah dimulai setidaknya sejak Dinasti Han, satu atau dua abad 
sebelum Masehi.

Apa yang dibawa di Jalur Sutra? Tentu saja: sutra. Tentu ada barang-barang yang 
lain, termasuk rempah-rempah. Selain sutra dan rempah, perdagangan di Jalur 
Sutra menjual berbagai komoditas, mulai dari kertas, besi, logam berharga 
(giok), teh, gading, kulit, dan lain-lain.

Seluruh uraian Anies tentang Jalur Rempah merujuk perdagangan melalui jalur 
laut. Benar, selain lewat jalur darat, komoditas sutra juga memang 
didistribusikan melalui jalur laut. Maka, ada istilah Jalur Sutra Laut 
(Maritime Silk Routes). Namun, laut bukanlah rute awal dan utama. 

Ketika Jalur Sutra dijadikan Situs Warisan Dunia oleh Unesco, area yang 
ditetapkan adalah Koridor Chang'an-Tianshan yang merentang dari Cina, 
Kazakhstan, dan Kyrgystan. Mayoritas situs-situs yang ada dalam koridor 
tersebut berada di darat. Hanya ada dua situs dalam Koridor Chang'an-Thianshan 
yang merujuk pada Jalur Sutra Laut.

Kedua, Anies benar mengatakan rute transportasi laut adalah tulang punggung 
perdagangan rempah. Namun, Anies tidak mengatakan bahwa transportasi laut tidak 
hanya mengangkut rempah-rempah dan tidak hanya dikuasai pedagang muslim. 

Seperti halnya Jalur Sutra yang juga menjual komoditas yang lain, transportasi 
laut yang disebut Anies sebagai Jalur Rempah sudah lebih dulu melayarkan 
komoditas dupa atau bahan wewangian aromatik. Maka, ada istilah Incense Road 
(atau Jalur Menyan). 

Selain menghidupkan rute transportasi dari Laut Mediterania ke wilayah-wilayah 
tengah Afrika melalui jalur darat melintasi Gurun Sahara, Jalur Menyan ini juga 
melalui Laut Merah dan Teluk Arab. Ia menautkan kawasan Arab dengan Eropa dan 
Afrika. Jalur Menyan ini sudah ada sebelum Yesus lahir, artinya sejak zaman 
sebelum Masehi.

Komoditas yang dilayarkan lewat Jalur Menyan ini salah satunya adalah—harus 
menggunakan kata "terutama" ketimbang "salah satunya" jika memang ingin 
menghidupkan peran Indonesia dalam sejarah transportasi-perdagangan 
dunia—kamper. Komoditas kamper inilah yang mempopulerkan nama Barus, 
diperkirakan terletak di pantai timur Sumatera, hingga ke kota-kota dan 
bandar-bandar penting dunia. 

Jika "Barousai" dalam peta Ptolemeus memang merujuk Barus, maka Sumatera dan 
transportasi laut di Samudera Hindia sebenarnya sudah ramai sejak awal Masehi 
(Ptolomeus hidup antara tahun 90 sampai 168 Masehi), sekurang-kurangnya pada 
abad ke-11 jika merujuk Prasasti Tamil.

Transportasi laut ini juga sudah lebih dulu dihidupkan berbagai kebudayaan dari 
bermacam-macam bangsa sebelum—merujuk ucapan Anies—Utsman menutup rute (kurang 
jelas apakah Utsman yang dirujuk adalah Utsmaniyah di Turki atau Khalifah 
Utsman bin Affan). Dari Yunani, Romawi, Phoenicia, Carthage, Alexandria, 
Hindustan, Cina, hingga Venesia. Agamanya macam-macam: mulai dari Pagan, 
Buddha, Syiwa, Kristen, hingga akhirnya Islam.

Ketiga, kurang tepat jika perdagangan rempah menggunakan laut dikaitkan dengan 
"lebih murah dan lebih efisien." Jalur utama perdagangan rempah-rempah sejak 
awal sudah menggunakan laut karena produsen-produsen utama rempah banyak berada 
di kawasan-kawasan pantai. Menggunakan jalur darat kadang dilakukan, namun 
lebih ramai melalui laut. 

Untuk beberapa kawasan bahkan tidak ada opsi selain melalui laut, misalnya 
untuk Maluku yang disebut Anies. Bukankah Maluku adalah kepulauan? Jangankan 
menjangkau Istanbul atau Hadramaut, menjangkau Makassar pun tidak bisa 
dijangkau dengan perjalanan darat.

Keempat, yang juga absen dalam uraian Anies adalah: perdagangan rempah yang 
memperkenalkan Maluku kepada dunia adalah perdagangan rempah tahap kesekian. 
Jauh sebelum itu, ada kawasan lain yang menjadi produsen rempah. 

Salah satunya dikenal sebagai Land of Punt (sebagian menyebutnya di Afrika, ada 
juga yang percaya di Arab selatan) yang dihidupkan oleh Laut Eritrea, nama kuno 
untuk perairan yang meliputi area dari Tanjung Harapan di Afrika hingga Teluk 
Arab. Sebelum itu, kawasan Kerala di India menjadi produsen penting 
rempah-rempah, sampai-sampai Kerala disebut sebagai "spice garden of India". 
Sisi barat dan selatan Kerala berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. 

Kelima, Jalur Rempah sulit menggantikan istilah Jalur Sutra. Bukannya rempah 
tidak pernah diperdagangkan di jalur daratan Asia, karena India juga mengirim 
rempah ke Cina melalui darat, namun karena sutralah yang memang menjadi 
komoditas andalan Cina di awal pembukaan jalur itu. Untuk rute yang memang 
diinisiasi oleh Cina ini, rempah memang bisa dinomorduakan.

Ini tidak sesederhana, atau dalam istilah Anies, "cepat-cepatan klaim". Ini 
pertarungan diskursus, perihal dunia wacana yang sesungguhnya tidaklah netral, 
namun ikut ditentukan oleh konstelasi kekuasaan.

Tentu Anies tahu hal ini. Maka, dalam uraian di Petamburan ia menyebut "Barat 
Tengah" untuk apa yang lebih lazim disebut “Timur Tengah”. Ia mengerti istilah 
"Timur Tengah" memuat bias Eropa. Sebab “timur” dalam “Timur Tengah” berarti 
diukur berdasar posisi berdiri dari Eropa. Anies menggunakan Barat Tengah untuk 
menjelaskan bahwa jazirah Arab memang berada di barat jika dipandang dari 
Indonesia. 

Edward Said, penulis yang berupaya membongkar nalar eurosentrisme, menyebut hal 
ini sebagai "imaginative geography" di dalam buku klasik Orientalism.

TENTANG KETURUNAN ARAB DAN POLITIK INDONESIA

Anies: [D]ulu orangtua kami itu dulu pendiri Partai Arab Indonesia, yang Partai 
Arab Indonesia itu mendeklarasikan; satu, tanah airnya Indonesia. Dan 
mengatakan tanah air Indonesia di tahun '34. Bapak-bapak ibu sekalian, orang 
Arab mengatakan tanah airnya Indonesia tahunnya '34. 

Anies benar bahwa pada 1934 (tepatnya 4 Oktober 1934) memang ada semacam 
pertemuan keturunan Arab, didominasi anak muda, yang menyatakan tanah airnya 
adalah Indonesia, bukan lagi Arab (lebih tepatnya: Hadramaut). Namun pada 1934 
tidak ada yang namanya Partai Arab Indonesia (PAI). Yang ada adalah Persatoean 
Arab Indonesia. PAI sebagai partai baru muncul dalam Kongres PAI IV yang 
berlangsung pada 18-25 April 1940.

Kelupaan tentu dapat dimaklumi. Ini hal biasa. Namun agar tidak menyepelekan 
perbedaan antara “Persatuan” atau “Partai”, perlu diterangkan bahwa perubahan 
dari “Persatuan” menjadi “Partai” memuat cerita yang tidak sepele. Banyak hal 
terjadi dari 1934 sampai 1940, baik di luar masyarakat keturunan Arab maupun di 
dalam masyarakat keturunan Arab. Di antara sesama keturunan Arab sendiri 
berlangsung dinamika yang tidak ringan. 

Dinamika ini terkait banyak isu, namun salah satunya adalah perdebatan alot 
yang tidak tuntas pada 4 Oktober 1934: orientasi keturunan Arab itu harus 
diarahkan pada tanah asal, homeland, yaitu Hadramaut ataukah kepada Indonesia? 

Perdebatan internal ini yang tidak disebutkan dalam pidato Anies. Agar lebih 
lengkap, supaya tidak simplisistis pada detail cerita, perlu disampaikan bahwa 
ada keturunan Arab yang memilih tetap merujuk Hadramaut sebagai orientasi 
kesetiaannya. 

Memang benar bahwa deklarasi 1934 mendeklarasikan PAI bertanah air Indonesia. 
Juga benar bahwa Abdul Rahman Baswedan, kakek Anies sebagai tokoh utamanya, 
sangat bersungguh-sungguh menganggap Indonesia sebagai tanah air. Namun tidak 
semua keturunan Arab menyepakati itu. Penolakan ada, bahkan ramai.

A.R. Baswedan bahkan merasakan sendiri tantangan dari sesama keturunan Arab. 
Disertasi Husein Haikal, profesor sejarah di Universitas Negeri Yogyakarta, 
Indonesia-Arab dalam Pergerakan Kemerdekaan Indonesia, mengisahkan ancaman 
kepada A.R. Baswedan bahkan sampai berupa ancaman fisik. Husein Haikal bahkan 
menyebut para penentang A.R. Baswedan nyaris berhasil melaksanakan niatnya 
namun urung dilakukan karena melihat fisik A.R. Baswedan yang kurus (baca 
laporan Tempo edisi 15 Desember 2008).

PAI jelas tidak begitu saja menjadi suara mayoritas. Bahkan, pada 1938 lahir 
Indo Arabisch Beweging (IAB) yang diinisiasi oleh M.B.A Alamudi. Delapan tahun 
sebelumnya, orang yang sama mendirikan Indo Arabisch Vereniging (IAV). 
Orientasi keduanya sama: menjunjung tinggi homeland, Hadramaut, alih-alih 
menjunjung nasionalisme Indonesia. Di kemudian hari, Alamudi bahkan menjadi 
semakin dekat dengan Belanda, bahkan berada di sisi Belanda, walaupun 
proklamasi sudah dinyatakan. Dan ia tentu tak sendiri, ada segmen keturunan 
Arab yang berada di belakangnya.

Jika lebih rinci lagi, isunya lebih kompleks dari sekadar pro Hadramaut atau 
Indonesia atau PAI vs IAB. Ada soal sayyid dan non-sayyid hingga soal 
pernikahan beda “kasta”, hingga konflik antara Al-Irsyad dengan Arrabitah. 

Namun hal-hal di atas rasanya sudah cukup untuk memperbaiki apa yang 
disampaikan Anies sebagai: “Dan ini (mendeklarasikan Indonesia sebagai tanah 
air) yang melakukan siapa? Seluruh kelompok (keturunan Arab)“. Pernyataan Anies 
itu, sejujurnya, terlalu simplisistis—jika bukan keliru.

Anies: Apa sih yang terjadi itu? Nekat. Tahun 34 nekat. Apakah Indonesia sudah 
ada. Belum. Belum. Kalau orang Jawa mengatakan “saya Indonesia”, ternyata 
Indonesia tidak terjadi dia tetap Jawa. [...] Lha ini orang Arab mengatakan 
saya Indonesia barangnya belum ada. Kalau ternyata Indonesia tidak terjadi, mau 
ngaku Jawa gak bisa, mau ngaku Arab dia bilang “ente udah bilang Indonesia, 
cari aja sana Indonesia di mana”. Ndak ada barangnya. 

Indonesia tentu saja belum eksis sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. 
Bahkan bagi Belanda, 17 Agustus 1945 itu tak membuat Indonesia ada. Belanda 
baru mengakui Indonesia pada 1949 melalui Konferensi Meja Bundar. 

Namun, agar tidak menjadi glorifikasi asal-usul sendiri, bolehlah disampaikan 
bahwa soal nekat-nekatan ini sesungguhnya juga terjadi pada nasionalis beretnis 
Jawa atau Minang atau Makasar sekalipun. Bahkan Sukarno, Hatta, atau Tan Malaka 
pun tak tahu apakah Indonesia akan merdeka, sementara mereka sudah bersikap 
radikal dan terbuka menentang Belanda. 

Belum lagi pejuang-pejuang anonim, atau yang bukan profil kelas atas, yang 
nasibnya benar-benar tak menentu jika tertangkap Belanda. Orang seperti Mas 
Marco atau Haji Misbach yang dibuang ke Papua itu tak pernah tahu mereka bisa 
kembali ke Jawa atau tidak. Mereka bisa berharap bebas jika Indonesia merdeka, 
tapi tak ada yang tahu itu akan terjadi kapan.

Menjadi Indonesia alias memutuskan berpihak pada gagasan tentang tanah air 
Indonesia, saat kolonialisme masih menancap dalam, hampir selalu membutuhkan 
kenekatan. Tanpa kecuali. 

Siapa bilang nasionalis Indonesia dari Jawa tidak memikul risiko jika Indonesia 
akhirnya tidak merdeka? Perdebatan tentang kesetiaan harus diarahkan kepada 
Jawa ataukah kepada identitas baru bernama Indonesia juga bukannya tidak 
sengit. Dan yang berpihak pada identitas baru Indonesia ini, selain harus 
bersiap dipenjara, seringkali juga dianggap sudah bukan lagi Jawa di mata 
orang-orang konservatif.

Anies: Mereka menyatakan sumpah tanah air Indonesia sebelum Indonesia-nya ada. 
Tidak ada yang lain yang melakukan itu kecuali keturunan Arab di indonesia. 
Enggak ada. Dan ini yang melakukan siapa? Seluruh kelompok. [...] 

Sebelum PAI berdiri dan mendeklarasikan kesetiaan pada tanah air Indonesia, 
sekelompok orang Tionghoa sudah lebih dulu mendirikan Partai Tionghoa Indonesia 
(PTI) pada 25 september 1932. Sebagaimana PAI, PTI adalah organisasi yang 
mempromosikan pandangan agar warga keturunan Tionghoa (yang lahir) di Indonesia 
menjunjung tinggi tanah air Indonesia. Bagi PTI, Indonesia adalah tanah airnya 
serta menuntut persamaan hak dan kewajiban dengan orang pribumi yaitu mau 
berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dan percaya bahwa nasib mereka terikat 
dengan nasib orang Indonesia pribumi.

PTI didirikan oleh Liem Koen Hian. Siapa dia? Dia mentor A.R. Baswedan dalam 
jurnalisme dan politik. Liem yang mengundang A.R. Baswedan untuk bergabung 
dengan Sin Tit Po yang dipimpin Liem. Bahkan PAI sendiri terinspirasi dari PTI. 
Hanya beda “A” dan “T” dari penamaan dalam bentuk singkatan. 

Natalie Mobini Kesheh, dalam The Hadrami Awakening: Community and identity in 
the Netherlands East Indies, 1900-1942 (hal. 135) menulis: [L]iem's ideas were 
an important influence upon his own, and that the PTI was a model for PAI which 
Baswedan founded two years later.”

PTI sendiri terinspirasi dari Indische Partij, sebuah organisasi radikal yang, 
saking radikalnya, tidak pernah disahkan oleh pemerintah kolonial. Kendati juga 
berisi orang-orang bumiputera, dengan Soewardi dan Tjipto sebagai tokoh 
utamanya, tapi anggota Indische Partij yang berlatar belakang keturunan Belanda 
atau Eropa lima kali lipat lebih banyak dari orang bumiputera. 

Kendati berdarah Eropa, biasa disebut Indo(-Eropa), mereka menganggap Hindia 
sebagai tanah airnya, bukan Belanda atau Eropa. Bukan hanya menganggap Hindia 
sebagai tanah air belaka, mereka juga meyakini bahwa tanah Hindia ini “bukan 
negeri milik Anda (penjajah Belanda). Negeri ini adalah negeri milik kami, 
Tanah Air kami. Kelak negeri akan bebas selamanya”.

Kalimat itu milik Douwes Dekker, seorang Indo-Eropa. Orang ini juga yang pada 
1913 menulis sebuah surat dukungan saat Soewardi dan Tjipto dibuang Belanda. 
Katanya: “Sekarang akhirnya kita merasakan bahwa kita tidak saling lawan; kita, 
bangsa Hindia, tidak juga bersebelahan satu sama lain, melainkan bersatu. 
Dengan terkejut kita menyadari apa yang terjadi: urusan mereka adalah urusan 
kita. Penderitaan mereka adalah penderitaan kita. Serentak segalanya menjadi 
begitu tajam dan jelas bagi kita: Kita bersaudara: kita adalah satu.” 

Apakah Liem Koen Hian atau Douwes Dekker dan sesama rekan-rekan yang 
mendukungnya tidak mengambil risiko dan tidak nekat? Tentu tidak. 

Risiko mereka juga terang: sebagai Cina, tentu Liem tahu bahwa stereotipe dan 
kebencian terhadap mereka itu ada, sedangkan Dekker jelas akan selalu dianggap 
oleh bumiputera sebagai “orang-sana” karena berkulit putih dan berhidung 
mancung. Liem dan Dekker juga sama-sama menganut agama minoritas. 

Mengikuti penalaran Anies, jika Indonesia tidak merdeka, mereka akan dianggap 
bukan Tionghoa dan Eropa (karena sudah mendukung tanah air Hindia/Indonesia). 
Jika Indonesia merdeka, belum tentu mereka diakui sebagai sepenuhnya WNI oleh 
bumiputera.

Seperti halnya ada keturunan Arab pendiri IAV yang menolak menjunjung Indonesia 
sebagai tanah air, tentu saja keturunan Cina dan Indo juga sangat banyak yang 
tidak mau bergabung dengan nasionalisme Indonesia. Mayoritas keturunan Indo 
bisa dikatakan sangat ragu, bahkan menolak, mendukung gagasan Dekker. 

Namun cukuplah dikatakan: kalimat Anies yang berbunyi “Tidak ada yang lain yang 
melakukan itu kecuali keturunan Arab di Indonesia” jelas keliru. 

Anies: Apa yang terjadi? Begitu Indonesia merdeka partainya membubarkan diri. 
Bapak-bapak ibu sekalian cari di dunia mana ada sebuah partai membubarkan diri 
karena tujuan telah tercapai. [...] Membubarkan diri, bukan dibubarkan. [...] 
mengambil sikapnya non-kooperatif. gabungan sesudah itu dengan MIAI, Majelis 
Islam A’la Indonesia.

Membubarkan diri ini problematis atau masih sumir. MIAI jelas dibubarkan oleh 
Jepang, lalu dibentuklah Masyumi. Bagaimana dengan PAI? Hamid Algadri, salah 
seorang tokoh keturunan Arab, dalam buku Politik Belanda Terhadap Islam dan 
Keturunan Arab Indonesia menulis di halaman 130: “Setelah bermanis-manis dengan 
Indonesia beberapa waktu, semua partai politik dibubarkan oleh Jepang, di 
antaranya PAI.”

Kemungkinan “membubarkan diri” dalam istilah Anies adalah setelah kemerdekaan, 
ketika Maklumat X yang menyerukan pendirian partai-partai diparaf Hatta pada 3 
November 1945, PAI sempat dibentuk lagi. Namun, karena partai-partai yang ada 
sudah membuka diri kepada keturunan Arab, maka tidak diperlukan lagi PAI. PAI 
pun dibubarkan.

Anies keliru ketika menyebut PAI (atau juga MIAI di mana PAI akhirnya 
bergabung—dalam hal ini Anies benar) berkiprah dalam politik masa itu dengan 
berhaluan non-kooperatif. Istilah non-kooperatif merujuk sikap/pendirian yang 
tidak bersedia bekerja sama dengan pemerintah kolonial. PKI dan PNI-Baru jelas 
non-kooperatif, tapi PAI tidak pernah bersikap non-kooperatif. 

Jika bersikap non-kooperatif, mustahil PAI diizinkan berdiri. Pada 1934, 
konservatisme pemerintah kolonial sedang kuat-kuatnya. Sukarno, Hatta, dan 
Sjahrir dibuang. Tidak ada lagi main-main dengan partai-partai progresif dan 
revolusioner. 

Kalau mau eksis dan aman, berpolitiklah dalam kerangka sistem kolonial—yang 
untuk sebagian berarti mengakui dan bersedia bergabung di Volksraad. A.S. 
Alatas, Ketua PAI yang terpilih menggantikan AR Baswedan yang sakit pada 1938, 
adalah anggota Volksraad.

Sikap non-kooperatif terkesan lebih heroik, atau mengesankan sikap keras dan 
tanpa kompromi kepada Belanda. Tentu Anies tidak ingin sedang mengatrol level 
heroisme keturunan Arab ketika menyebut PAI sebagai partai non-kooperasi. 
Anies, sekali lagi, sepertinya lupa, atau barangkali luput soal detail. 

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan menarik lainnya Zen RS 

(tirto.id - zen/msh)

Kirim email ke