Andre Barahamin dan Perjuangan Agraria March 21, 2017 by kristenhijau Leave a comment
(sumber: plus.google.com/+AndreBarahamin666) AndreBarahamin adalah penulis dan pemikir muda progresif yang amat produktif. Selainmenjadi salah satu editor media indoprogress, tulisan-tulisannyabanyak mengisi kolom-kolom opini di berbagai media online. Usianya baru 30 tahun, tapi ulasan-ulasan politiknya, khususnyamengenai isu-isu agraria, menunjukkan tingkat kematangan yang tinggi. Dalam isianrubrik wawancara yang pertama ini, Kristen Hijau memilih bung Andresebagai narasumber. Kita akan bercakap-cakap sedikit mengenai isu agraria dinegeri ini. Selamat menyimak dan semoga bermanfaat. Sudah berapa lamakah bung Andre bergulatdengan isu-isu agraria? Bisa diceritakan pemicunya dan alasan kenapa masihbertahan sampai hari ini? Saya mulaimendalami isu agraria di petengahan tahun 2003. Latar belakang keluarga adalahsalah satu pemicunya. Saya berasal dari sebuah komunitas adat yang terletak didaerah perbatasan antara Indonesia dan Filipina. Namanya Nanusa, di bagianpaling utara Indonesia. Kami adalah keturunan para pemburu hiu dan bajak lautyang sangat bersandar kepada laut dan tentu saja pertanian musiman sepertikelapa. Daerah kami terkenal sebagai wilayah tuna sirip biru (bluefin tuna).Orang-orang menyebutnya sebagai cakalang(Katsuwonus pelamis). Di awaldekade 90-an, saya menyaksikan bagaimana hasil laut kami digeruk habis-habisandan dijual murah ke kapal-kapal penampung. Biasanya mereka merupakan kapal yangdimiliki pengusaha Korea, Taiwan atau Jepang. Sementara nasib ekonomi paranelayan di tempat kami tak kunjung membaik. Sebabnya, mereka semua terjeratdengan para pengusaha lokal yang juga berperan sebagai tengkulak. Para nelayanterjebak hutang dan menghabiskan tenaga dan bayaran yang tidak seberapa untukmelunasi hutang. Sementara, sektor pertanian tidak bisa diandalkan karena hargajual kopra yang murah. Kondisi ini terus berlanjut hingga saya SMA. Masa SMA,saya sudah ikut bekerja di kapal-kapal penangkap cakalang. Menghabiskan malamhingga dini hari di atas laut dengan bayaran kecil. Sebabnya kami dianggapsebagai tenaga cadangan dadakan dengan kemampuan minim dan belum menjadi kruresmi dari satu kapal. Ini pengalaman penting yang di kemudian hari menjadisalah satu penanda mengapa saya memilih jalan hidup seperti saat ini. Ketika mulaikuliah, saya terlibat dengan salah satu serikat pelajar dan mulai menjadirelawan di sebuah NGO. Saya juga mulai sering mendaki gunung dan berkemah dipantai-pantai indah di pulau-pulau bagian utara Sulawesi. Tempat-tempat yangtidak ada dalam buklet turisme. Kegiatan ini biasanya dilakukan sendirian ataudengan satu dua orang kawan dekat. Aktivisme di dalam kampus dan keterlibatandengan gerakan sipil menjadi salah satu pintu masuk bagaimana saya mengenalWahana Lingkungan Hidup (WALHI). Saya kemudianikut bersolidaritas ketika WALHI Sulawesi Utara ketika tensi advokasi dampakburuk limbah tailing PT. Newmont Minahasa Raya -anak perusahaan Newmont MiningCorporation yang berbasis di Amerika Serikat. Kasus warga Buyat Pante melawanNewmont dan dinamika advokasinya menjadi pelajaran penting dan esensial bagisaya. Saya menyaksikan sendiri bagaimana masyarakat disingkirkan, kalah dankemudian dipaksa mengubah nasib karena perusahaan tambang. Di akhirtahun 2006, saya memutuskan keluar dari serikat pelajar dan di awal tahunberikutnya secara penuh mulai terlibat dengan Mawale Movement. Ini adalahgerakan kebudayaan yang menggunakan seni -terutama sastra dan teater- sebagaimedium untuk mengorganisir anak-anak muda di kampung-kampung di Minahasa. Iniadalah periode ketika diskusi-diskusi dengan (RIP) Prof. A.B. Lapianberlangsung intens. Saya juga mulai dilibatkan dalam beberapa penelitianmengenai masyarakat adat dan budaya maritim. Untuk hal ini, saya harusberterima kasih kepada Prof Emeritus Alex Ulaen -antropolog dan pakar maritimyang dahulu menjadi mentor saya di kampus. Keterlibatan ini makin meradikalisirpemahaman saya dan terus berlanjut hingga ketika saya mendapatkan kesempatanbelajar di luar Indonesia di tahun 2010. Ketikamemutuskan pulang ke Indonesia di akhir tahun 2015, saya berkesempatan untukbekerja sekaligus belajar banyak dari dua sosok penting di Yayasan PUSAKA. EmilOla Kleden, sosok terkemuka di gerakan masyarakat adat dan pakar mengenai FPIC(Free, Prior, Informed and Consent), dan Franky Samperante, aktivis lawas yangjejak advokasi dan pengorganisirannya di Papua sulit ditandingi. Keduanya bukanhanya membantu saya melewati masa adaptasi dengan baik, tapi juga memberikanruang tumbuh dan dukungan luar biasa. Lapisan-lapisanperistiwa itu yang membuat saya tetap bersikeras bertahan hingga saat ini. Bung Andre tentu telah mendengar soalPdt. Sugianto yang dipenjara karena mendampingi petani-petani Tulang Bawangyang berhadapan dengan korporasi. Sebagai orang yang berpengalaman danberkecimpung langsung dalam isu-isu ini, bagaimana bung menilai keterlibatanumat Kristiani atau gereja selama ini? Sependekpengetahuan saya, gereja berperan sangat minim di isu-isu menyangkut konflikatas tanah antara negara versus masyarakat adat, orang asli dan petani. KasusPdt. Sugiono menurut saya memiliki dua sisi. Pertama, iaadalah anomali di tengah sikap gereja yang apatis dan cenderung menghindari persoalan-persoalankrusial seperti ini. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa gerejaadalah salah satu aktor penguasa tanah itu sendiri. Di Papua misalnya. Gerejamenguasai tanah-tanah milik orang asli yang proses penguasaan tanahnya begitu lekatdengan manipulasi. Sebab, ada relasi yang tidak setara antara gereja denganwarganya. Warga gereja dituntut harus submisif sehingga berpengaruh padamandulnya daya kritis di tengah masyarakat. Belum lagi menyoal bagaimana parapendeta dan pastur adalah orang-orang yang apolitis dan dungu. Mereka yangmemandang Kekristenan semata-mata sebagai urusan spiritual: surga-nerakabelaka. Akibatnya, persoalan-persoalan esensial seperti konflik agraria tampakmenjadi tidak penting. Soalberikutnya, munculnya Pdt. Sugiono bisa jadi adalah pertanda positif. Bahwa ditengah-tengah buruknya sikap gereja, ada orang-orang yang memaknai semangatperjuangan Yesus secara kontekstual dan membebaskan. Ini sinyal yang pentinguntuk digaungkan untuk menjangkau mereka yang masih ragu-ragu. Orang-orang yangberempati namun ketakutan untuk meradikalkan sikap Kekristenannya karena tidakingin bermasalah dengan struktur kekuasaan negara dan kapital yang menyokongimperium gerejawi. Dalam Nawacita, “Reforma Agraria”menjadi salah satu poinnya. Bagaimana bung menilai kontinuitas konten kampanyeJokowi tentang pokok ini dengan penerapannya selama hampir 3 tahun terakhir?Bagaimana pula bung memandang program “bagi-bagi tanah” yang sedang disiapkanpelaksanaannya? Reforma Agraria Jokowi adalah omong kosong. Jargonkosong yang tidak menyasar persoalan mendasar dari ketimpangan kepemilikan danakses atas tanah. Reforma Agraria yang sejati bukan sekedar bagi-bagi tanah.Sebaliknya, reforma mesti menyasar lebih jauh mengenai sejarah perampasan tanahdi Indonesia yang dilanggengkan negara setelah mewarisi kekuasaan dari kolonialBelanda. Reforma agraria juga memberikan solusi yang holistik dan tidak bolehparsial mengenai menyempitnya lahan pertanian, monopoli tanah oleh korporasidan negara, pengingkaran terhadap sistem tenurial di kalangan masyarakat adatdan orang asli, persoalan urbanisasi, persoalan agribisnis berbasis komunal,daya dukung ekologis dan daya dukung sosial dan masih banyak lagi. Poin-poinini jelas absen dalam reforma agraria Jokowi. Hal di atas tidaklain datang dari ketiadaan komitmen politik Jokowi. Banyak orang yang pura-purabuta dan tuli bahwa Jokowi adalah seorang presiden yang terobsesi denganpembangunan infrastruktur dan perluasan agribisnis. Yang kita saksikan selamatiga tahun ini adalah perwujudan obsesi tersebut yang menyebabkan masifnyaperampasan tanah-tanah petani, masyarakat adat dan orang asli. Percaya ReformaAgraria Jokowi itu macam percaya omong kosong setan. Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria(KPA) menunjukkan bahwa Jawa Timur menempati posisi kedua dalam jumlah konflikagraria sepanjang tahun 2016 (43 kasus). Bagaimana bung melihat kespesifikanproblem agraria di provinsi ini? Inipertanyaan yang sulit. Ada beberapa persoalan yang membuat saya mungkin tidakdapat menjawab secara khusus. Pertama, sayatidak terlalu mengikuti perkembangan mengenai kasus konflik agraria di JawaTimur. Hanya beberapa saja yang pernah saya dengar atau baca sekilas. Kasuslumpur Lapindo, kasus konflik tanah masyarakat Blitar dan terakhir mengenairencana pertambangan di Tumpang Pitu, Banyuwangi. Kedua, angka43 yang dicatat oleh KPA juga merupakan angka yang umum. Saya misalnya tidaktahu sebaran jenis kasus ini secara spesifik. Misal, sektor mana yang palingbermasalah. Apakah di sektor infrastruktur atau perkebunan atau sektor yanglain. Hal ini sangat penting untuk kemudian dapat digunakan sebagai upayameradikalisir pemahaman yang umum di atas. Jika kitadapat menjawab pertanyaan nomor dua, bukan berarti semuanya aman. Sebaliknyaada tantangan berikutnya. Yaitu minimnya ketersediaan material dasar yang dapatdigunakan untuk membaca soal problem agraria di Jawa Timur. Material dasar yangsaya maksud misalnya menyangkut pemetaan aktor. Hal inipun bisa dijadikansebagai pemicu untuk kemudian memperdalam analisis. Sebagai contoh, aktor pelaku kekerasan paling dominandalam kasus konflik agraria di sana apakah negara atau non-negara? Jika negara,apakah polisi atau tentara. Jika tentara, mana yang paling bermasalah? Apakahangkatan darat atau angkatan udara atau angkatan laut? Jika non-negara, apakahia ormas-ormas pemukul warisan Orde Baru seperti Pemuda Pancasila, IkatanPemuda Karya, Gerakan Pemuda Kabah atau ormas berbasis sentimen kedaerahansemisal Brigade Manguni di Sulawesi Utara atau Forum Betawi Rembug di Jakarta? Memetakan pelakukekerasan yang berkonflik dengan masyarakat menjadi penting bagi kita untukbisa melihat kekhususan sebuah masalah di sebuah wilayah. Hal ini yang paling sering luput dan menjadi kekurangan palingesensial gerakan advokasi konflik-konflik agraria. Persoalannya adalah,tiadanya dokumentasi yang memadai untuk kemudian kita bisa melihat adanya pola. Analisis-analisisdasar yang menunjukkan pola ini dapat menjadi basis dasar untuk kemudianmenarik partikularitas sebuah wilayah menyangkut sebuah fenomena nasional, yangdalam kasus ini adalah menyangkut konflik agraria. Iniberimplikasi pada pentingnya kawan-kawan di daerah Jawa Timur untuk melakukanpemetaan sosial. Analisis yang tidak hanya bersandar pada pendekatankuantitatif semata, tapi juga mampu bertaut dengan penjabaran kualitatif agarmembuat angka memiliki makna. Kritik saya terhadap model pencatatan tahunankasus-kasus konflik agraria yang dilakukan KPA adalah absennya upaya untukmenyingkap kespesifikan dari gerak modal dan para aktor pendukungnya. Inimembuat kita tidak menggunakan kacamatan yang holistik untuk melihatkasus-kasus konflik agraria di tiap daerah. Akibat seriusnya adalahterisolirnya kasus-kasus ini dan kebutaan permanen untuk melihat mata rantaioligarki yang menjadi dalang dari semua kekacauan ini. Isolasi inimembuat kita sulit membangun jejaring solidaritas antar korban. Sehingga solusiamburadul yang sering ditempuh adalah membangun solidaritas berbasis regionyang beragam dan lebih tampak berupa kepingan-kepingan yang tidak terhubung.Akibat yang terjadi adalah setiap kelompok korban akan memandang dirinya jauhlebih menderita atau kasusnya jauh lebih penting dari kelompok yang lain. Inihalangan serius untuk menggeneralisir energi perjuangan bersama. Sebagai contoh, banyak orang misalnya tidak bisamelihat hubungan antara perampasan tanah di wilayah Kendeng untuk pendirianpabrik semen dengan rencana megalomaniak Jokowi untuk membangun 1.2 juta hektarsawah baru di Merauke dan upaya Jusuf Kalla melalui Group Kalla membangunbendungan di seantero Sulawesi -dari Seko di selatan hingga Kuwil di utara. Banyak dari anggota (dan calon anggota)Kristen Hijau masih hijau dalam isu ini. Bisakah bung menjelaskan problemmendasar apa di balik maraknya konflik agraria ini yang harus kita pahami, danbagaimana merancang strategi perlawanan yang efektif berbekal pemahaman tadi? Musuh utama dan biang kerok dari semua konflik agrariaadalah neoliberalisme. Ini sudah jelas. Hanya saja, ini jawaban yang belumcukup. Kita harus mampu menjelaskan lebih lanjut apa dan bagaimananeoliberalisme beroperasi di tataran praktis dan siapa yang mengemudikan atauberselancar di gelombang konflik-konflik agraria ini. Itu mengapa,penjelasan saya di atas menjadi penting. Karena kita hanya bisa merancangstrategi perlawanan jika kita tahu apa dan siapa yang sedang kita hadapi. Pergike medan perang tanpa pengetahuan sudah pasti akan mendapatkan kekalahan.Kecuali memang, strategi perlawanan tersebut memang telah didesain untukmendapatkan kekalahan terus menerus. Semacam sadomasokisme dalam tubuh gerakansosial yang tidak menjadikan kemenangan sebagai tujuan. Sudah, segitu saja. Sekali lagi, terimakasih banyak bung untuk kesediaannya. Semoga tidak terlalu merepotkan. Sama-sama.Terima kasih. Demikianlahwawancara yang kami adakan. Kata-kata yang disampaikan bung Andre kami biarkantertuliskan apa adanya. Mohon maaf apabila ada pembaca yang kurang berkenan.Maklum, memang begitulah gaya bahasa beliau. Harapan kami, apa yang disampaikanbung Andre ini memicu diskusi kita lebih lanjut. Para pembaca, anggota dancalon anggota Kristen Hijau bebas untuk setuju atau tidak setuju.