Wleeeh, ... ternyata Sidang atas diri Ahok Penista Agama yang sudah berlangsung 
lebih 5 bulan ini (16 X Sidang) CACAT HUKUM! Sedang tuntutan “PENJARAKAN Ahok” 
tetap makin gencar saja, ... dimana letak KEADILAN sesungguhnya?!

  a.. "Di situ jelas mengatakan, bahwa 156 a KUHP tidak bisa dijeratkan tanpa 
peringatan keras terlebih dahulu," tutup Trimoelja. 
  b.. Pertama pasal 156 jelas-jelas kasus penodaan hanya ditujukan bagi 
golongan dan bukan soal agama. 
  c.. Pada dakwaan pasal alternatif yang lain adalah pasal 156a KUHP yang juga 
dinilai tak mengenai substansi persoalan. 
  d.. Alasan kedua, dia juga menyinggung seharusnya ada upaya penyelesaian oleh 
pemerintah pusat sebelum dibawa ke ranah pidana. Ini seusai dengan Penetapan 
Presiden Republik Indonesia tahun 1965 yang sudah diubah menjadi UU Nomor 
1/PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan agama.


From: Jonathan Goeij jonathango...@yahoo.com [GELORA45] 
Sent: Friday, March 31, 2017 6:48 AM





Membedah dakwaan Ahok yang dinilai cacat hukum

Kamis, 30 Maret 2017 09:03
Reporter : Wisnoe Moertia.. 

Sidang ke-16 Ahok. ©2017 merdeka.com/muhammad luthfi rahman


Merdeka.com - Setelah menjalani 15 kali persidangan, kasus dugaan penistaan 
atau penodaan agama akan memasuki babak baru. Semua saksi baik dari pihak JPU 
maupun terdakwa Basuki Tjahaja Purnama ( Ahok) telah diperiksa. Persidangan 
selanjutnya akan mengagendakan tuntutan dari jaksa penuntut umum (JPU). Jaksa 
menjerat Ahok dengan Pasal 156 dan pasal alternatif 156a Kitab Undang-Undang 
Hukum Pidana.
Sejak awal bergulirnya kasus ini di pengadilan, dakwaan jaksa dianggap janggal 
dan cacat hukum. Menengok ke belakang di saat masa-masa sidang awal, pengacara 
Ahok sempat protes karena JPU menjerat Ahok dengan Pasal 156a. Ada persyaratan 
formil yang dilewatkan jaksa sebelum membawa kasus Ahok ke ranah pidana. 
Sebelum seseorang terjerat Pasal 156a KUHP harus mendapatkan peringatan keras 
terlebih dahulu dari Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Aturan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang 
Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Dengan dalil itu, JPU tidak 
dapat dengan serta merta menggunakan Pasal 156a untuk menjerat Ahok.
"Pasal 156a KUHP tidak bisa dijeratkan pada seseorang tanpa melalui peringatan 
keras lebih dahulu oleh Menteri Agama, Mendagri dan Jaksa Agung," pengacara 
Ahok, Trimoelja D. Soerjadi di PN Jakarta Utara, Jalan Gadjah Mada, Jakarta 
Pusat, Selasa (20/12/2016).
Mantan Pengacara Marsinah ini menuturkan, kliennya belum pernah sekalipun 
diberikan peringatan keras mulai dari tersangka hingga berujung berstatus 
terdakwa. Sehingga, Pasal 156a KUHP tidak dapat menjerat Gubernur DKI Jakarta 
nonaktif tersebut.
"Di situ jelas mengatakan, bahwa 156 a KUHP tidak bisa dijeratkan tanpa 
peringatan keras terlebih dahulu," tutup Trimoelja.
Tim Kuasa Hukum Ahok lainnya, Sirra Prayuna berpendapat, JPU tidak bisa 
menjerat Ahok dengan pasal tersebut sebab yang dituduhkan JPU tidak berdampak 
sebagaimana delik hukum materil.
"Makanya tidak bisa dong pendapat jaksa itu delik formil. Cukup dengan 
perbuatannya terjadi tidak perlu mempertimbangkan akibat dari perbuatannya itu. 
Itu definisi delik formil. Kalau delik materil kan titik tekan akibat yang 
ditimbulkan. Peristiwa itu harus nyata nyata ada dan berakibat karena sikap 
batin si pelaku harus berkolerasi dengan maksud kehendak itu," jelas Sirra.
Majelis hakim bergeming. Hakim tidak sependapat dengan keberatan tersebut. 
"Menimbang bahwa pendapat penasihat hukum yang mendalilkan bahwa terdakwa harus 
diperingatkan terlebih dahulu sebelum diproses perkaranya di peradilan sesuai 
mekanisme yang diatur dalam UU Nomor 1 PNPS Tahun 1965, pengadilan menilai 
bahwa dalil tersebut tidak benar," kata majelis hakim saat membacakan putusan 
sela.
Dalam kacamata majelis hakim, objek yang dimaksud dalam PNPS Nomor 1 Tahun 1965 
adalah organisasi atau aliran kepercayaan. Majelis hakim menimbang, Pasal 156a 
huruf a KUHP yang dikenakan kepada Ahok merupakan pasal baru setelah PNPS 1965. 
Dari situ hakim menilai Ahok tak masuk kriteria di PNPS 1965 dan tak perlu 
diperingatkan terlebih dahulu.
"Atas dasar ketentuan Pasal 4 UU Nomor 1/PNPS/1965 sehingga penerapan Pasal 156 
a KUHP tidak perlu melalui proses peringatan keras terlebih dahulu," tutur 
majelis hakim.
Kejaganggalan dakwaan ini kembali mencuat di sidang pemeriksaan saksi terakhir. 
Tim pengacara Ahok menghadirkan saksi ahli hukum pidana I Gusti Ketut Ariawan. 
Dia menilai, dakwaan yang ditujukan kepada Ahok sebenarnya cacat hukum. Ada dua 
alasan hal tersebut bisa terjadi. Pertama, dua pasal yang ditujukan kepada 
mantan Bupati Belitung Timur itu tidak tepat. Karena pada akhirnya tidak 
substansi terkait penodaan agama.
"Ada dua pasal alternatif yang dikenakan. Pertama pasal 156 jelas-jelas kasus 
penodaan hanya ditujukan bagi golongan dan bukan soal agama," katanya di 
Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Rabu (29/3).
Pada dakwaan pasal alternatif yang lain adalah pasal 156a KUHP yang juga 
dinilai tak mengenai substansi persoalan. Dari sisi historisnya, pasal tersebut 
digunakan untuk menghindari perpecahan. "Pasal itu untuk menghindari hadirnya 
kepercayaan-kepercayaan baru di Indonesia pada masa itu (dikeluarkan pasal 
156a). Jadi dakwaannya tidak jelas dan tak dapat diterima," jelas Ariawan.
Alasan kedua, dia juga menyinggung seharusnya ada upaya penyelesaian oleh 
pemerintah pusat sebelum dibawa ke ranah pidana. Ini seusai dengan Penetapan 
Presiden Republik Indonesia tahun 1965 yang sudah diubah menjadi UU Nomor 
1/PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan agama.
"Harusnya diselesaikan dengan ketentuan prosedur yang ada. Tapi ini tidak, 
langsung pakai hukum," katanya.
Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) milik Noor Aziz Said yang dibacakan 
pengacara Ahok juga menilai dakwaan penodaan agama tidak terjadi. Dalam BAP, 
ahli hukum pidana Universitas Soedirman itu mengatakan, Ahok tidak bersalah 
karena pernyataan Gubernur nonaktif DKI Jakarta tersebut di Pulau Pramuka pada 
27 September 2016 silam tidak mengandung unsur penodaan agama sesuai dengan 
Pasal 156 dan 156a KUHP yang disangkakan JPU. Noor juga menganggap mantan 
Bupati Belitung Timur itu tidak memiliki niat untuk memusuhi agama Islam, 
apalagi melakukan penistaan. Menurut dia, walaupun menyinggung surat Al Maidah 
ayat 51, Ahok tidak menyampaikan kebencian kepada umat muslim.
"Apa yang dikatakan Pak Basuki tidak memenuhi unsur 156 KUHP. Karena tidak 
bermaksud memusuhi membenci umat Islam. Untuk dapat masuk pada pasal 156 KUHP 
harus masuk delik hukum barang siapa dan unsur dengan sengaja."
Menurutnya, Pendapat dan Sikap Keagamaan (PSK) yang dikeluarkan Majelis Ulama 
Indonesia (MUI) yang menyebut Ahok melakukan penistaan agama tak bisa dijadikan 
landasan hukum untuk kasus pidana.
"Pendapat dan sikap keagamaan bukan sumber hukum nasional dan tak bisa 
dijadikan landasan untuk menuduh seseorang melakukan tindak pidana," kata salah 
seorang penasihat hukum Basuki atau akrab disapa Ahok itu membacakan BAP Noor 
di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Rabu (29/3).
Sumber hukum lain yang bisa dijadikan landasan adalah seperti yurisprudensi 
maupun doktrin. Sehingga PSK MUI tidak bisa membuat seseorang terjerat dengan 
hukum pidana.
"Jadi PSK MUI tak punya kekuatan hukum. Sikap keagamaan MUI tak bisa dijadikan 
ukuran ada atau tidaknya tindak pidana di Pasal 156 atau 156a KUHAP," tegasnya.
Cacat hukum kasus ini juga sempat disampaikan saksi ahli hukum pidana C Djisman 
Samosir pada persidangan sebelumnya. Dia sempat menceritakan sejarah pasal yang 
menjerat Ahok yakni Pasal 156a KUHP yang merupakan hasil dari Penetapan 
Presiden (PNPS) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965.
"Ada kondisi-kondisi di negara ini, yang menurut penglihatan pemimpin negara, 
ada persoalan-persoalan keagamaan. Sehingga disisipkan lah 'a'-nya untuk 
membedakan antara Pasal 156 dengan 156a," katanya di Auditorium Kementerian 
Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa (21/3).
Pemerintah mengeluarkan PNPS karena KUHP tidak secara tegas mengatur hukum 
untuk tindakan penodaan agama. Walaupun sebenarnya sudah ada pasal-pasal yang 
membahas tindakan penodaan atau terkait kebencian terhadap suatu golongan.
"Ada sebenarnya pasal yang mengatur (hukuman untuk tindakan) penodaan agama, 
tetapi saya berpendapat, tidak diatur secara tegas, secara eksplisit. Sementara 
hukum pidana itu harus gramatikal, mengatur secara tegas," tegas Djisman.
Dia menyampaikan alasannya memaparkan itu semua. Tujuannya agar jalannya sidang 
kasus dugaan penodaan agama berlaku adil. Djisman khawatir jika prosedur keliru 
dijalankan, maka jalannya persidangan akan ke arah sesat.
"Tidak ada hukuman tanpa kesalahan. Jika tidak, muncullah peradilan yang 
sesat," tutupnya.
[noe]



  • ... Jonathan Goeij jonathango...@yahoo.com [GELORA45]
    • ... 'Chan CT' sa...@netvigator.com [GELORA45]
    • ... 'Karma, I Nengah [PT. Altus Logistic Service Indonesia]' ineng...@chevron.com [GELORA45]
      • ... 'Chan CT' sa...@netvigator.com [GELORA45]
        • ... jonathango...@yahoo.com [GELORA45]
          • ... Chalik Hamid chalik.ha...@yahoo.co.id [GELORA45]
    • ... 'Karma, I Nengah [PT. Altus Logistic Service Indonesia]' ineng...@chevron.com [GELORA45]

Kirim email ke