From: Salim Said Sent: Saturday, July 15, 2017 10:30 AM
Pembahasan RUU Pemilu Yang Merangkak Lamban. Sebuah surat kabar ibu kota terbitan 15 Juli 2017 melaporkan, "Presiden Joko Widodo mencermati dinamika alotnya pembahasan Rancangan Undang-Undang Peyelenggaraan Pemilu, termasuk tarik-menarik kepentingan politik. Presiden mengingatkan semua pihak untuk tetap mengedepankan kepentingan jangka panjang." Pada kesempatan yang sama, Sektaris Kabinet, Dr. Pramono Anung mengingatkan, pembahasan RUU tersebut sudah melampau target yang direncanakan. Akibat molornya waktu , pihak KPU (Komisi pemilihan umum) terlihat gelisah. "Hal yang dibutuhkan KPU adalah kepastian bahwa RUU itu segera disahkan sehingga KPU bisa segera melakukan langkah-langkah persiapan pemilu 2019," kata Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi. Makin panjang waktu yang dikonsumsi bagi penyelesaian RUU tersebut, masih sempit pula waktu kerja yang tersisa untuk KPU. Untuk dimaklumi sengketa utama yang yang memperlambat penyelesaian RUU itu menyangkut soal ambang batas bagi pemilihan presiden. Pihak pemerintah bersama beberapa partai pendukungnya berpendirian hanya partai yang mendapatkan paling sedikit sedikit dukungan 20 persen yang boleh mencalonkan presiden. Pihak di seberangnya menolah gagasan tersebut. Kabarnya -- dengan alasan pemilu serentak -- mereka bahkan menolak adanya ambang batas. Di balik posisi yang bertentangan tajam ini jelas ada kepentingan politik yang juga berbeda secara tajam. Kalau diputuskan ambang batas 20 persen, diperkirakan yang bisa maju pilpres paling banyak dua pasangan.Yang diperhitungkan berpotensi besar tampil adalah pasangan Jokowi dengan cawapres yang masih akan dipilihnya. Sekarang tentu masih terlalu dini menebak-nebak siapa saja yang berpotensi maju pilpres. Karena itu yang sebaiknya kita bicarakan sekarang wacana di balik kontroversi yang muncul akibat proses tarik menarik antara pemerintah dan kekuatan lawannya di Parlemen. Dalam rangka inilah menarik memperhatikan komentar Menteri Dalam Negeri(Mendagri) Tjahjo Kumolo -- tersiar di koran yang sama pada hari yang sama -- yang menyoroti tidak sulidnya suara partai koalisi pendukung pemerintah dalam pembahasan RUU tsb. Mendagri meyakini tidak sulidnya koalisi itulah penyebab molornya pengesahan Undang-Undang Penyelnggaraan Pemilu. Tjahjo menekankan, "Partai-partai yang mendukung pemerintah tentu harus kosekuen dan konsisten untuk memperkuat sistem presidensial." Tjahjo mengeluhkan melemahnya etika politik berkoalisi "karena setiap partai memikirkan kepentingan jangka pendek semata. Enteng , ringan saja meninggalkan etika berkoalisi," Menurut Mendagri, "Sebagai sebuah koalisi yang membentuk pemerintahan saat ini, seharusnya semua keputusan politik bisa dilaksanakan, diamankan dan diperjuangkan bersama dan beriringan," Lanjut Tjahjo, " Koalisi seharusnya mengedepankan kepentingan pemerintah, masyarakat, bangsa dan negara dalam membangun sistem yang konsisten." Katanya pula,"Tidak elok koalisi ditinggal lari sendiri di tengah jalan. Tidak elok berkoalisi, tetapi menikam dari belakang." Yang diucapkan Tjahjo Kumolo memang seharusnya demikian. Pertanyaannya apakah memang ada koalisi seperti yang dibayangkan Bapak Mendagri itu? Sebagian partai yang kini dianggap sebagai pendukung pemerintah sekarang sebenarnya bukan bagian dari kekuatan yang mendukung pemerintahan Presiden Jokowi sejak awal. Mereka datang bergabung kemudian karena kepandaian Jokowi "merayu" mereka. Tentu saja "rayuan" Bapak Presiden tidak gratis. Dengan latar seperti ini kita memang sulit mengharapkan partai anggota koalisi harus konsisten dan konsekuen sepakat dan tunduk kepada keputusan pemimpin koalisi. Sulit menghindari kenyataan, koalisi pendukung pemerintahan Presiden Jokowi sekarang terbentuk karena kesepakatan kepentingan yang nyaris tidak berlandaskan ideologi, agenda dan program. Dari latar belakang seperti ini kita juga tidak mudah mengerti harapan Mendagri yang mengharapkan partai-partai anggota koalisi "mengedepankan kepentingan pemerintah, masyarakat, bangsa dan negara dalam membangun sistem yang konsisten." Tanpa kesepakatan ideologi, agenda dan rencana, partai-partai berkecenderungan mempunyai tafsiran sendiri-sendiri terhadap apa yang disebut sebagai kepentingan pemerintah, masyarakat, bangsa dan negara. Bung Salim. -- Anda menerima pesan ini karena berlangganan grup "diskusi kita" di Google Grup. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke diskusi-kita+unsubscr...@googlegroups.com. Untuk opsi lebih lanjut, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.