(Tiada) Proklamasi Indonesia Tanpa Wikana 
https://tirto.id/-tiada--proklamasi-indonesia-tanpa-wikana-b1Nj

 Wikana [Gambar/Sabit] 2.1k Shares    
mailto:?subject=(Tiada)%20Proklamasi%20Indonesia%20Tanpa%20Wikana&body=https://tirto.id:443/-tiada--proklamasi-indonesia-tanpa-wikana-b1Nj
 Reporter: Petrik Matanasi 
https://tirto.id/author/petrikmatanasi?utm_source=internal&utm_medium=topauthor
 10 November, 2016dibaca normal 5 menit

 Wikana jadi juru bicara dan pemimpin kelompok muda Hatta berkeras tak mau 
dipaksa untuk segera proklamasi Tanpa Wikana Proklamasi tak akan berjalan 
lancar terjadi
 Proklamasi 17 Agustus 1945 tak bisa dilepaskan dari peran Wikana dan 
pemuda-pemuda lain yang bersamanya mendesak golongan tua yang ragu untuk 
menyegerakan pernyataan kemerdekaan.

 
 tirto.id https://tirto.id/?utm_source=internal&utm_medium=Article - Golongan 
tua, yang kemudian dicap kolaborator Jepang, karena terpaksa bekerjasama dengan 
Pemerintah Militer Balatentara Jepang, merasa ngeri jika tergesa-gesa untuk 
proklamasi. Mereka terjepit dalam situasi akhir Perang Dunia: Jepang yang 
sebentar lagi kalah, namun hanya Jepang yang (pernah) menjanjikan mendukung 
kemerdekaan. Masalahnya, jika Jepang tak segera memerdekakan, namun pada saat 
yang sama Sekutu kadung memenangkan Perang Dunia, maka janji Jepang niscaya 
kasip dan Sekutu belum tentu menyetujui kemerdekaan Indonesia. Jika segera 
memerdekakan diri secara sepihak, masalahnya Jepang masih eksis sebagai 
penguasa.  

Golongan muda, kebanyakan mahasiswa dan pemuda yang tinggal di asrama-asrama 
sekitar Menteng, pernyataan kemerdekaan harus sesegera mungkin diumumkan. Tak 
hanya selekas-lekasnya, namun juga mesti dinyatakan tanpa campur tangan Jepang. 
 Jika tidak, kemerdekaan Indonesia hanyalah hadiah dari Jepang. 

Darah muda mereka yang bergejolak itu bahkan tak peduli dengan berbagai risiko, 
katakanlah jika Jepang mengamuk karena proklamasi tersebut. Golongan tua, yang 
punya banyak perhitungan politik, lebih memilih menghindari korban jiwa. Mereka 
menunggu kepastian. Mencoba mengharapkan Jepang bisa secepatnya memerdekakan 
Indonesia, sebagaimana dijanjikan oleh petinggi Jepang sepekan sebelumnya di 
Vietnam kepada Sukarno-Hatta. 

Tapi waktu tak bisa menunggu. Sjahrir memberitahu bahwa Jepang sudah menyerah 
kalah. Sekutu sudah pasti akan datang mempertahankan status quo sebagaimana 
situasi sebelum Jepang masuk. Proklamasi kemerdekaan terancam. 

Di sinilah angkatan muda, dengan Wikana jadi juru bicara dan pemimpinnya, 
memainkan peranan. Mereka mengambil langkah yang sebenarnya berbahaya, yaitu 
membawa Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok. Rencananya: mereka akan memaksa 
Sukarno-Hatta memproklamirkan Indonesia. Tapi siasat itu gagal. Sukarno-Hatta 
tetap tidak mau melakukannya. Mereka masih belum yakin dengan kebenaran kabar 
menyerahnya Jepang.

Pada petang 16 Agustus 1945, Sukarno-Hatta kembali ke Jakarta karena situasi 
sudah kelewat genting. Kabar tentang menyerahnya Jepang sudah nyaris tidak bisa 
lagi dibantah. Malam 16 Agustus itu juga, Sukarno-Hatta meminta keterangan 
kepada pihak Jepang dan barulah mereka tahu bahwa berita menyerahnya Jepang 
memang benar.

Justru karena itulah mereka tak bisa lagi menuntut Jepang memenuhi janjinya. 
Sebab Jepang adalah pihak yang kalah sehingga harus memenuhi permintaan Sekutu 
untuk menjaga status quo. Jepang sendiri mengklaim mereka bersedia 
memfasilitasi kemerdekaan Indonesia jika Sukarno-Hatta ada di Jakarta pada pagi 
sampai sore 16 Agustus 1945 itu. Tapi keduanya masih di Rengasdengklok.

Sukarno, dan terutama Hatta, enggan mengakui peranan angkatan muda. Bagi 
keduanya, jika mereka tak dibawa paksa ke Rengasdengklok, Indonesia bisa 
merdeka pada siang hari 16 Agustus. Peristiwa Rengasdengklok menunda proklamasi 
Indonesia.

Masalahnya: jika Indonesia merdeka pada 16 Agustus, maka Indonesia sulit 
menghindar dari dakwaan bahwa proklamasi adalah pemberian Jepang, 
sekurang-kurangnya berkat perlindungan Jepang. Inisiatif Wikana, dkk., memang 
gagal mendesak Sukarno secepat-cepatnya mengumumkan kemerdekaan sebagaimana 
direncanakan. Namun di luar skema itu, Wikana, dkk., justru berhasil mencegah 
proklamasi kemerdekaan diumumkan dalam kerangka Jepang.

Wikana dalam Proklamasi

Semuanya terjadi karena sebagian pemuda dan Mahasiswa yang berhasil mendapatkan 
berita penyerahan Jepang tanpa syarat kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945 di 
kapal perang USS Missouri. Berita itu menyebar di kalangan terbatas. Tak hanya 
menyebar, berita itu juga disikapi para pemuda. Mereka segera berkumpul esok 
harinya, 15 Agustus 1945, di bawah pohon. Masih  di sekitar Cikini. Wikana 
hadir di sana.

Rapat sederhana itu memutuskan mengirim delegasi pemuda untuk berbicara pada 
golongan tua agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Mereka begitu 
bersemangat. Bahkan ketika itu, Ahmad Aidit, pemuda asal Belitung, mengusulkan 
Sukarno sebagai Presiden setelah Proklamasi. Mengenai siapa yang akan mereka 
kirim, telah dipilih Suroto Kunto, Subadio, Wikana dan Aidit untuk bicara para 
Soekarno yang dianggap wakil angkatan tua.

Malam harinya, keempat pemuda tadi menemui Soekarno di kediamannya, Jalan 
Pegangsaan Timur 56, yang kini menjadi Tugu Proklamasi. Kebetulan, rumah 
Sukarno sedang ramai oleh orang-orang Golongan Tua. Sukarno dan Hatta ketika 
itu baru saja pulang dari Saigon menemui Marsekal Terauchi di sana.  

Seperti rencana rapat di bawah pohon, Wikana mendesak agar kemerdekaan 
diumumkan secepat-cepatnya. Jika perlu pada 16 Agustus 1945. Sukarno yang tak 
suka dipaksa, enggan menuruti mau para pemuda itu. Soekarno tak bisa ambil 
keputusan sendiri. Harus ada pembicaraan dengan golongan tua yang lain dulu 
untuk proklamasi. 

Wikana dan kawan-kawan pemuda yang ikut dengannya mempersilakan para golongan 
tua untuk berunding dan pemuda menunggu di beranda rumah. Mohamad Hatta keluar 
menemui pemuda-pemuda itu. Hatta berkeras mereka tak mau dipaksa untuk segera 
proklamasi karena menanti penyerahan kekuasaan dari Balatentara Jepang. Tak 
lupa Hatta menantang pemuda yang dianggap tak mau mengerti tadi. Yang dimau 
golongan tua berharap golongan muda bersabar.

“Jika saudara-saudara memang sudah siap dan sanggup memproklamasikannya, 
cobalah! Saya pun ingin lihat kesanggupan saudara-saudara.,” kata Hatta pada 
para pemuda itu.

“Jika besok siang belum juga diumumkan, kami, para pemuda akan bertindak dan 
menunjukan kesanggupan yang saudara kehendaki,” balas Wikana. Kepada Sukarno, 
Wikana juga mengancam, “Jika tidak mau memproklamasikan, maka esok akan terjadi 
pembunuhan dan pertumpahan darah.”

Menurut Suhartono Pranoto, dalam Kaigun Angkatan Laut Jepang Penentu Krisis 
Proklamasi (2007), Sukarno tak mempan dengan ancaman tersebut dan balik 
menantang, “Ini leher saya, seretlah saya ke pojok itu, sudahilah nyawa saya...”

Tekanan proklamasi tak hanya dari golongan muda, tapi juga datang dari Sutan 
Sjahrir. Sore sepulang Sukarno-Hatta kembali dari Vietnam, ia mendesak Hatta 
untuk segera mengumumkan kemerdekaan Indonesia. 

“Sjahrir menjumpai Hatta, menceritakan kepadanya tentang cerita-cerita 
penyerahan itu, dan mendesaknya supaya membuat Proklamasi Kemerdekaan diluar 
kerangka Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dengan alasan bahwa 
sekutu yang menang pasti tidak mau berurusan dengan suatu negara yang 
disponsori Jepang,” tulis Ben Anderson dalam bukunya Revolusi Pemoeda (1988).

Akhirnya, pada 16 Agustus 1945, para pemuda menujukan kesanggupannya. Bukan 
memproklamasikan sendiri. Tapi untuk mendesak lebih jauh. Dengan cara, Sukarno 
dan Hatta mereka culik. Begitu juga istri Soekarno, Fatmawati, dan anak yang 
masih kecil, Guntur, terpaksa jadi satu paket dengan Sukarno. Para pemuda 
menyebut jika PETA dan Heiho akan berontak, jadi Sukarno-Hatta diamankan para 
pemuda. Dengan memakai dua mobil, mereka dibawa ke Rengasdengklok , Karawang. 
Daerah ini dirasa aman, karena komandan PETA di wilayah itu menjamin keamanan 
Bung Karno dan Bung Hatta. 

Pemberontakan itu tak pernah terjadi. 

Ahmad Soebardjo sempat mengira Angkatan Darat Jepang menangkap Sukarno-Hatta.  
Begitu pun Laksamanan Maeda, yang menjadi wakil Angkatan Laut Jepang di 
Jakarta. Nishijima, asisten Laksamana Maeda, lalu menemukan Wikana di Asrama 
Indonesia Merdeka dan memaksa Wikana menunjukan di mana Sukarno-Hatta. 
Perdebatan emosional sempat terjadi. Perdebatan itu berakhir setelah ada 
jaminan bahwa Nishijima dan Maeda akan bekerjasama untuk mengumumkan 
proklamasi. Tanpa menujukkan di mana Sukarno-Hatta, Wikana mengatur kepulangan 
keduanya ke Jakarta. 

Subardjo lalu menjemput ke Rengasdengklok sore harinya. Tiba di sana, hari 
sudah senja. Soebardjo meyakinkan para penjaga bahwa Laksamana Maeda mendukung 
proklamasi tersebut. Pukul delapan malam, mereka semua kembali ke Jakarta. 
Malam itu juga, begitu sudah tiba lagi di Jakarta, Sukarno-Hatta begadang 
bersama yang lain. Di rumah Maeda, naskah Proklamasi pun lahir. Esok paginya, 
17 Agustus 1945, dibacakan di rumah Soekarno di Pegangsaan Timur 56. 

Setelah itu, segalanya telah dicatat oleh sejarah!

 share infografik


Adik Seorang Digulis

Wikana bukan pemuda hasil bentukan Jepang. Wikana bahkan tergolong anti-fasis 
Jepang meski dia bekerja untuk Angkatan Laut Jepang dalam Asrama Indonesia 
Merdeka yang didirikan pada Oktober 1944. Maeda yang mendirikan asrama 
tersebut. Diam-diam Maeda agak berseberangan dengan militer Jepang di 
Indonesia. Soebardjo selaku pimpinan asrama mempekerjakan Wikana karena 
pengaruhnya di Gerindo. Wikana sepintas terlihat bekerja untuk Jepang. Hal ini 
membuat Wikana terlindung dari mata-mata Jepang yang benci dengan komunis 
pengikut Tan Malaka macam dirinya. 

Dalam pergerakan nasional zaman kolonial Hindia Belanda, menurut Ben Anderson, 
Wikana adalah anak didik Sukarno dan pernah menjadi anggota Barisan Pemuda 
Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Wikana adalah ketua pertama Gerindo. Wikana 
juga dekat dengan Sekolah Taman Siswa di Jawa Barat. Pada 1940, Wikana 
tertangkap karena menyebarkan buletin komunis ilegal Menara Merah. 

Pergerakan dan Komunisme memang bukan hal aneh bagi Wikana. Winanta, abangnya, 
adalah seorang Digoelis yang telah menulis novel Antara Hidup dan Mati atau 
Buron dari Boven Digul. Winanta dianggap terlibat Pemberontakan PKI 1926. Tidak 
banyak catatan soal abangnya. 

Wikana dan Winanta adalah anak dari Raden Haji Soelaiman, pendatang Jawa asal 
Demak yang tinggal di Sumedang, Jawa Barat. Setelah melewati pendidikan barat 
di ELS dan MULO, Wikana masuk pergerakan nasional sejak 1930an. Wikana yang 
kelahiran Sumedang, pada 16 Oktober 1914 itu, tak berbeda jauh dengan abangnya. 
Keduanya hanya beda zaman dalam bergerak. 

Di zaman Jepang, menurut Harry Poeze dalam Madiun 1948 PKI Bergerak (2011), 
meski tak sebebas di zaman kolonial Hindia Belanda, Wikana masih berpolitik. 
Kali ini dengan resiko besar. Di masa pendudukan Jepang itu, Aidit dan Lukman, 
bakal pimpinan Central Comite (CC) Partai Komunis Indonesia (PKI), berhasil 
direkrutnya masuk asrama. Mereka mendirikan Gerakan Indonesia Merdeka 
(Gerindom). 

Setelah kemerdekaan Indonesia, ia terlibat dalam peristiwa Madiun 1948 yang 
diinisiasi oleh Front Demokrasi Rakyat FDR. Sebelum Peristiwa Madiun, Wikana 
adalah Gubernur Militer di Solo. Di FDR, Wikana diserahi urusan kepemudaan. 
Setelah peristiwa Madiun 1948, dia menghilang dan baru muncul kembali pada awal 
1950-an. 

Wikana melanjutkan karier politiknya dengan menjadi anggota CC PKI. Meski dulu 
pernah bersama Aidit dan Lukman di zaman pendudukan Jepang, Wikana kemudian 
terbuang dari lingkaran kepemimpinan PKI setelah kedua tokoh itu jadi pemimpin 
besar PKI. Saat meledak peristiwa 1965, Wikana adalah anggota Majelis 
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). 

Dia pernah tinggal di sekitar Jalan Dempo, Matraman Plantsoen.  Ketika G30S 
berlangsung, Wikana sedang menghadiri hari Nasionalis Tiongkok di Beijing. 
Pulang dari Beijing pada 10 Oktober 1965, Wikana disembut tentara yang kemudian 
menggiringnya ke KODAM Jaya. Setelah menginap di KODAM dia dibebaskan. Setelah 
sekian bulan di rumah, pada Juni 1966, dia dibawa lagi oleh tentara. Dan sejak 
itu ia tak pernah kembali. 

Wikana sendiri punya keinginan tertentu jika ajalnya tiba. “Kalau harus mati, 
saya pilih mati di tanah air,” kata Wikana seperti dikatakan cucu menantunya 
yang dilansir H 
http://historia.id/persona/sepakterjang-pemuda-dari-sumedangistoria 
http://historia.id/persona/sepakterjang-pemuda-dari-sumedang.  Abriyanto, cucu 
menantunya, sedang menyusun biografi Wikana. 

Wikana jelas sosok yang patut dicatat dalam sejarah Indonesia. Dalam skripsinya 
Orang-orang Di Persimpangan Kiri Jalan (1969), Soe Hok Gie, mencatat: tanpa 
Wikana Proklamasi Indonesia tak akan berjalan lancar. 

Baca juga artikel terkait HARI PAHLAWAN 
https://tirto.id/q/hari-pahlawan-e5j?utm_source=internal&utm_medium=lowkeyword 
atau tulisan menarik lainnya Petrik Matanasi  
https://tirto.id/author/petrikmatanasi?utm_source=internal&utm_medium=lowauthor
 (tirto.id - pet/zen)

 

Kirim email ke