Patut diperhatikan, dalam rangka “MEMPERINGATI 100Th Kemenangan Revolusi Oktober”, Republik Rakyat Tiongkok pada tgl. 26 September yl. menjelang Kongres 19 PKT, melangsungkan SEMINAR Revolusi Oktober dan Sosialisme Berciri Khas Tiongkok, ... Bertekad teguh meneruskan OBOR Revolusi Oktober yang telah padam di Sovyet terus menyala lebih membawa dibumi Tiongkok! Kenyataan tidak dapat disangkal, setelah Sovyet roboh ditahun 1991, obor Sosialisme telah jatuh dipundak Rakyat Tiongkok dan, PKT dalam 30 tahun terakhir ini menunjukkan KEMAMPUAN memikul TUGAS MULIA Lenin-Stalin yang telah dicampakkan Gobarchove dan mengakibatkan Sovyet roboh dibawah gempuran Budaya dan Finans Kapitalisme! Untuk mengenal lebih baik karya Lenin, PKT kembali menerbitkan Karya Lenin Lengkap dalam bhs. Tionghoa, agar rakyat Tiongkok harus benar-benar bisa memahami Leninisme dari karya langsung Lenin sendiri!
Beberapa tulisan, makalah dan tanggapan dari Seminar yang berlangsung tgl. 26 Sept. itu, yang menurut saya PANTAS diajukan untuk kalian ketahui: adalah, pernyataan keharusan bagi setiap komunis yang mengaku materialisme dan realistis, bisa melihat keberhasilan Lenin-Stalin dengan Revolusi Oktober meembangun negara sosialis pertama didunia ini! Bukan saja berhasil mempertahankan Sovyet menghdapi serangan Hitler dimasa PD-II, tapi juga BERHASIL membawa Sovyet tumbuh menjadi negara industri yang sanggup bersaing dengan imperialisme AS, tidak hanya dibidang ekonomi, pertahanan tapi juga termasuk kemajuan teknologi, peluncuran satelit dan astraunot diruang angkasa sampai ke Bulan! Disaat itu sampai tahun-tahun 60-an kehidupan rakyat Sovyet juga bisa dikatakan telah mencapai kesejahteraan yang lumayan, ... BEBAS dari KEMISKINAN! Ini kenyataan pertama yang harus diakui! Kedua, setiap BANGSA yang besar tidak bisa tidak harus mempunyai pimpinan, Lenin-Stalin itulah Pemimpin BANGSA Rusia yang tidak boleh disangkal! Bangsa Rusia menjadi bangsa yang besar, Sovyet menjadi negara-kuat justru karena ada pemimpin macam Lenin-Stalin! Inilah keritik keras PKT, dan diingatkan kembali dengan TEGAS oleh Deng, pada tahun 1980 atas kesalahan Khruschove yang kebablasan dalam mengkritik kesalahan Stalin yang dikatakan otoriter dengan KEKERASAN itu! Bahwa negara-kuat harus mencerminkan adanya “KEBEBASAN PRIBADI” juga tidak salah! Tapi yang lebih PENTING dan UTAMA adalah adanya PERSATUAN dan KESTABILAN POLITIK untuk bersama-sama melangkah maju dengan derap langkah SEREMPAK! ... Disinilah keunggulan Stalin dalam mengangkat KESATUAN BANGSA, membuat Bangsa Rusia besar dan membawa rakyat Sovyet maju sejahtera, ... KENYATAAN yang tidak boleh disangkal, sekalipun dalam mpelaksanaan disana-sini ada kesalahan! Begitulah penekanan Deng bagi rakyat Tiongkok harus BELAJAR baik dari kesalahan Khruschove tsb! JANGAN sampai Rakyat Tiongkok juga melanjutkan KESALAHAN yang sama! Sebagaimana kita ketahui bersama, ketika itu ada arus keras hendak mengkritik kesalahan Mao, khususnya masa RBKP yang berlebihan! Ada usaha meng-HITAM-kan segala jasa Mao, ...! BERUNTUNG, Deng berhasil mengarahkan perjuangan dan membawa rakyat Tiongkok terus maju melangkah menuju jalan SOSIALISME berciri khas Tiongkok! Dan dalam waktu relatif singkat, 30 tahunan BERHASIL mencapai kemajuan yang dahsyat dan dengan demikian BERKEMAMPUAN menerima TUGAS meneruskan obor Revolusi Oktober yang jatuh diatas pundaknya! Bahkan RRT dengan BAIK menerima tugas pusat perjuangan SOSIALISME didunia ini yang telah beralih ke Tiongkok! Meneruskan perjuangan Sovyet Uni dahulu dalam menghadapi dan melawan IMPERIALISME AS yg hendak menguasai dan mengangkangi dunia, ...! Sedang nenek yang satu ini, masih saja menutup diri dalam tempurung, dan tidak berhasil melihat realitias perjuangan dunia NYATA didunia! Tetap saja tenggelam dalam subjektivisme dalil-dalil DOGMA klasiknya yg dipegang teguh! Masih juga belum bisa menggunakan ajaran Ketua Mao, khususnya Tentang Kontradiksi, untuk menganalisa situasi kongkrit yang dihadapi. Main gempur saja semua jenderal-jenderal yang dihadapi. Tentu saja semua jenderal yg berada dalam jajaran Pemerintah “TIDAK SESUAI” dengan pendapat dan pendiriannya! Bagaimana kita bisa mengharapkan di pemerintah sekarang yang berkuasa itu ada jenderal KOMUNIS??? Kalau toch ada, PASTI juga tidak bisa sama sepenuhnya dengan dirinya! Lalu, dihajar juga dengan alasan MUNAFIK, RENEGAT? Yaa, kalau begitu berjuang saja sendiri didalam tempurung itu! Hehehee, ... Dari sekian banyak jenderal-jenderal yang harus kita hadapi, bukankah kita harus bisa menentukan jenderal mana yg UTAMA digempur dahulu, diblejeti kereaksioneran dan tangannya berlumuran darah pelanggaran HAM! Darimana kekuatan anda untuk sekaligus menyerang dan gempur semua jenderal-jenderal itu??? Bahwa Jenderal Agus masih saja menyalahkan dan memojokkan PKI itu juga wajar-wajar saja! Tapi, bukankah ditahun yl. saat menyelenggarakan Simposium Membongkar Tragedi 1965, itu bisa juga dikatakan merupakan satu usaha jenderal Agus untuk menemkukan atau menjernihkan “SIAPA” sesungguhnya yang membunuh ayah nya itu! Sampai-sampai ketika itu dia dituduh jenderal-KIRI! Tentu kita juga tetap harus melihat kenyataan, masih sangat kuatnya jenderal-kanan yang pemuja Suharto, jadi juga tidak perlu terlalu berilusi simposium macam itu bisa membawakan HASIL baik! Dan kenyataan juga KANDAS, ...! Juga, TIDAK SALAH menyatakan yang membunuh 6 jenderal itu TNI, khususnya pasukan Tjakrabirawa, ...! Tapi kan, TETAP harus dibedakan antara perajurit pelaksana perintah dengan komandan, jenderal yang turunkan perintah! Jangan lalu seluruh pasukan Tjakrabirawa harus dihujat dan di BASMI habis! Usutlah siapa sesungguhnya jenderal dibalik G30S itu! Dan inilah tugas pekerja sejarah anak bangsa ini untuk menjernihkan masalah, ... jangan tergantung Pemerintah yang berkuasa! Dan harus dikerjakan lebih cekatan dan cepat, karena makin tertunda lebih lama, akan makin sulit menemukan data-data akurat yang selama ini sudah cukup banyak dibawa kubur oleh tokoh-tokoh, pelaku yang banyak mengetahui kejadian nyata! Jadi perajurit pelaku kekejaman kemanusiaan yang harus tunduk menjalankan PERINTAH, setelah bertobat dan mengakui kesalahannya, yaa, biarlah diberi kesempatan untuk BERSAHABAT dengan para korban, termasuk segenap keluarganya! Tidak perlu saling bermusuhan, ...! Apalagi bagi anak-anak jenderal yg juga KORBAN itu, yang jelas TIDAK terlibat kekejaman kemanusiaan, tentu TIDAK MASALAH bersahabat dengan anak-anak KORBAN sisi lain, lha mereka kan sama-sama KORBAN kekejaman kemanusiaan! KORBAN-KORBAN konyol yang tidak seharusnya terjadi! Sudah cukup BAGUUUS, anak-anak jenderal yg jadi korban itu sudah bersediaq bersahabat dengan anak-anak KORBAN yg dituduh membunuh ayah-ayah mereka! Tidak meneruskan pertengkaran dan dendam yang tidak ada juntrungnya itu, ... tidak perlu melanjutkan pertengkaran, permusuhan orang-tua mereka! Biarlah mereka, anak-anak KORBAN itu menjadi sahabat, lha memang sama-sama tidak bermasalah, kok! Sekalipun dalam kenyataan melihat masa-lampau itu, dalam melihat siapa sesungguhnya Dalang G30S masih berbeda pendapat! Bukankah yang lebih PENTING adalah menatap kedepan, kehendak MAJU BERSAMA, BEKERJA BERSAMA membangun masyarakat lebih baik dan sejahtera! Jadi, kalau orang sudah mengulurkan tangan bersalaman, tidak perlu ditampik, sekalipun kita juga boleh saja mencurigai motif nya! Biarlah nanti setelah apa yang kita curigai, kemunafikan bersalaman itu muncul, baru dihadapi! Begitulah bersatu dan berjuang didalam kesatuan kontradiksi yang terjadi dalam masyarakat! Setiap saat tetap harus bersiap-siap menghadapi pertempuran dan penghianatan! Pecahnya persatuan dan kerjasama, tanamkan saja kewaspadaan itu, ...! Jangan pula meneruskan kesalahan lama, ...keenakan bekerja sama! Hehehee, ... Jadi, sebaiknya jangan buru-buru dan gampang2an nuduh PKT REMO, renegad! Ingatlah bagaimana PKI dahulu menuduh Tan Ling Djieisme, tapi justru parlementerisme itulah yang dijalankan PKI dengan KONSEKWEN! Yang lebih penting perlu kejernihan apa dan dimana kesalahan, kesalahan dahulu bukan pada kerjasama dengan Pemerintah yang berkuasa, tapi ketidak siapan PKI digebug! Kesalahannya bukan menggunakan parlemen, kesempatan legal yang diberikan pemerintah ketika itu, tapi keenakan gunakan jalan parlementer dan TIDAK siapkan diri kalau digebug! Untuk mengikuti lebih lanjut bagaimana peran Tjakrabirawa bisa klik link dibawah ini: Pengakuan Mengejutkan eks-Cakrabirawa. https://groups.yahoo.com/neo/groups/GELORA45/conversations/messages/214575 Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jenderal! https://www.youtube.com/watch?v=oi0w3Wq1wqQ Salam, ChanCT From: Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45] Sent: Saturday, October 7, 2017 1:04 AM To: GELORA45@yahoogroups.com ; Jonathan Goeij Cc: Yahoogroups ; DISKUSI FORUM HLD ; Daeng ; Gol ; Billy Gunadi ; Rachmat Hadi-Soetjipto ; Ronggo A. ; Oman Romana ; Farida Ishaja ; in...@ozemail.com.au ; Harry Singgih ; Harsono Sutedjo ; Mitri ; Lingkar Sitompul Subject: Re: [GELORA45] (Tiada) Proklamasi Indonesia Tanpa Wikana Saya kenal banyak orang, terutama generai muda, yang sama sekali tidak punya latar belakang keluarga korban 65 dengan jelas dan gamblang menyatakan bahwa yang bunuh 6 jenderal dan 1 kapten adalah Cakrabirawa, artinya TENTARA. Kalau orang mau mengakui bahwa itulah faktanya, maka anak-anak para jenderal itu, seperti Letjen Agus Wijoyo, kalau mau rekonsiliasi, ya SEHARUSNYA dengan anak-anak para PEMBUNUH ayah mereka, yaitu anggota Cakrabirawa yang melakukan serangan, penculikan dan pembunuhan itu, bukan? Mengapa mereka ber"rekonsiliasi" dengan satu dua anak penggede PKI dan anggota Gerwani atau korban pemenjaraan, penyiksaan dan pembuangan rezim Suharto??? Kelihatannya, sementara anak penggede PKI dan sementara korban 65 yang tampil untuk jadi "contoh" rekonsiliasi dengan sementara anak jenderal-jenderal, tidak sadar bahwa mereka digunakan oleh media dan "otak" di belakang etalase rekonsiliasi justru untuk terus memfitnah PKI sebagai "pembunuh" 6 jenderal dan kapten itu. Dan disini masuk peran si remo dan renegad Chan yang membantu pendukung ORBA dengan turut mengorek-ngorek 'kejahatan' PKI untuk "membuktikan" dan menuntut PKI untuk bertanggung jawab atas banjir darah 65-66!!!! Letjen Agus Wijoyo walaupun sudah mengakui dan percaya bahwa keenam jenderal dan kapten itu tidak disiksa atau disayat-sayat badannya dan kemaluannya, tapi TETAP MENGANGGAP PKI MELAKUKAN PEMBUNUHAN DAN MENEROR MASYARAKAT. Dibawah ini kata-katanya: …” PKI harus bertanggung jawab atas kekerasan yang mereka lakukan di tahun 1948, pada 1 Oktober 1965 dan sebelumnya. Mereka melakukan pembunuhan dan meneror masyarakat. Puncaknya adalah membunuh para jenderal di malam kelam tersebut.”. Pandangan Agus Wijoyo ini PADA HAKEKATNYA senafas dengan pandangannya si Remo dan renegad Chan. Kelihatan sekali kebenciannya terhadap PKI. Yah, tidak heran!!! Dan juga kelihatan letjen Agus Wijoyo tidak berbeda dari para jenderal yang sampai sekarang terus mempertahankan pandangan bahwa PKI dalang G30 S dan memberontak!!! Saya ingat dulu si Pelana Kuda alias Atjong dikeluarkan oleh Chan dari milis Gelora 45, disebabkan oleh sikapnya yang sangat membenci PKI dan bersyukur adanya penindasan Suharto yang dianggapnya sebagai penyelamat Indonesia. Saya tidak tahu apa anda ingat itu? Eh....tahu-tahunya secara diam-diam diterima kembali si Pelana Kuda. Bahkan Chan turut mempropagandakan penjualan CD musiknya Pelana Kuda. Saya sama sekali tidak heran melihat tingkah lakunya si Chan. Chan dan Pelana Kuda sama!!!!Karena saya belajar dari pengalaman dan sejarah, orang remo adalah pembantu kaum imperialis dan sudah tentu juga antek-antek lokalnya. Karena remo menghilangkan kontradiksi dan perjuangan kelas yang memudahkannya untuk loncat ke seberang barisan di mana dulu dia berada. On Thursday, October 5, 2017 10:22 PM, "Jonathan Goeij jonathango...@yahoo.com [GELORA45]" <GELORA45@yahoogroups.com> wrote: Saya rasa Wikana menjadi salah satu dari sekian banyak orang yang hilang tidak ketentuan rimbanya dijemput tentara. Si Agus Wijoyo saya rasa sedang berada di-awang2 menikmati sanjungan seakan dirinya orang berjiwa besar yang memaafkan. On Thursday, October 5, 2017, 11:04:27 AM PDT, Tatiana Lukman <jetaimemuc...@yahoo.com> wrote: Dan bagaimana nasib Wikana setelah G30S? Setelah dijemput tentara, lantas hilang tidak diketahui apa yang terjadi....??? Ada yang tahu apa yang terjadi dengan dirinya? KALAU memang benar Wikana hilang, tak diketahui apa yang terjadi dengan dirinya, maka ia hanya satu dari puluhan ribu atau ratusan ribu yang hilang lenyap seperti ditelan bumi.... Bukannya saya tidak merasakan kesedihan dari anak-anak para jenderal yang dibunuh tentara juga..... Tapi jutaan harus mati, dipenjara, disiksa dan dihilangkan untuk "membalas" kematian 6 jenderal dan seorang kapten!!! Seperti banyak terjadi di jaman Nazi, untuk seorang tentara Nazi yang terbunuh, penduduk sekampung harus mati.... Persahabatan, undangan makan, silaturahmi antara anak-anak para jenderal dan keluarga serta korban genosida adalah urusan pribadi. Yang menarik perhatian, Agus tidak henti-hentinya menggunakan kesempatan silaturahmi dan rekonsiliasi untuk "mengingatkan" akan "kejahatan" dan 'hutang darah" PKI baik di aksi sepihak, peristiwa Madiun atau kejadian lain. On Tuesday, October 3, 2017 6:15 PM, "jonathango...@yahoo.com [GELORA45]" <GELORA45@yahoogroups.com> wrote: (Tiada) Proklamasi Indonesia Tanpa Wikana Wikana [Gambar/Sabit] Reporter: Petrik Matanasi 10 November, 2016 a.. Wikana jadi juru bicara dan pemimpin kelompok muda b.. Hatta berkeras tak mau dipaksa untuk segera proklamasi c.. Tanpa Wikana Proklamasi tak akan berjalan lancar terjadi Proklamasi 17 Agustus 1945 tak bisa dilepaskan dari peran Wikana dan pemuda-pemuda lain yang bersamanya mendesak golongan tua yang ragu untuk menyegerakan pernyataan kemerdekaan. tirto.id - Golongan tua, yang kemudian dicap kolaborator Jepang, karena terpaksa bekerjasama dengan Pemerintah Militer Balatentara Jepang, merasa ngeri jika tergesa-gesa untuk proklamasi. Mereka terjepit dalam situasi akhir Perang Dunia: Jepang yang sebentar lagi kalah, namun hanya Jepang yang (pernah) menjanjikan mendukung kemerdekaan. Masalahnya, jika Jepang tak segera memerdekakan, namun pada saat yang sama Sekutu kadung memenangkan Perang Dunia, maka janji Jepang niscaya kasip dan Sekutu belum tentu menyetujui kemerdekaan Indonesia. Jika segera memerdekakan diri secara sepihak, masalahnya Jepang masih eksis sebagai penguasa. Golongan muda, kebanyakan mahasiswa dan pemuda yang tinggal di asrama-asrama sekitar Menteng, pernyataan kemerdekaan harus sesegera mungkin diumumkan. Tak hanya selekas-lekasnya, namun juga mesti dinyatakan tanpa campur tangan Jepang. Jika tidak, kemerdekaan Indonesia hanyalah hadiah dari Jepang. Darah muda mereka yang bergejolak itu bahkan tak peduli dengan berbagai risiko, katakanlah jika Jepang mengamuk karena proklamasi tersebut. Golongan tua, yang punya banyak perhitungan politik, lebih memilih menghindari korban jiwa. Mereka menunggu kepastian. Mencoba mengharapkan Jepang bisa secepatnya memerdekakan Indonesia, sebagaimana dijanjikan oleh petinggi Jepang sepekan sebelumnya di Vietnam kepada Sukarno-Hatta. Tapi waktu tak bisa menunggu. Sjahrir memberitahu bahwa Jepang sudah menyerah kalah. Sekutu sudah pasti akan datang mempertahankan status quo sebagaimana situasi sebelum Jepang masuk. Proklamasi kemerdekaan terancam. Di sinilah angkatan muda, dengan Wikana jadi juru bicara dan pemimpinnya, memainkan peranan. Mereka mengambil langkah yang sebenarnya berbahaya, yaitu membawa Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok. Rencananya: mereka akan memaksa Sukarno-Hatta memproklamirkan Indonesia. Tapi siasat itu gagal. Sukarno-Hatta tetap tidak mau melakukannya. Mereka masih belum yakin dengan kebenaran kabar menyerahnya Jepang. Pada petang 16 Agustus 1945, Sukarno-Hatta kembali ke Jakarta karena situasi sudah kelewat genting. Kabar tentang menyerahnya Jepang sudah nyaris tidak bisa lagi dibantah. Malam 16 Agustus itu juga, Sukarno-Hatta meminta keterangan kepada pihak Jepang dan barulah mereka tahu bahwa berita menyerahnya Jepang memang benar. Justru karena itulah mereka tak bisa lagi menuntut Jepang memenuhi janjinya. Sebab Jepang adalah pihak yang kalah sehingga harus memenuhi permintaan Sekutu untuk menjaga status quo. Jepang sendiri mengklaim mereka bersedia memfasilitasi kemerdekaan Indonesia jika Sukarno-Hatta ada di Jakarta pada pagi sampai sore 16 Agustus 1945 itu. Tapi keduanya masih di Rengasdengklok. Sukarno, dan terutama Hatta, enggan mengakui peranan angkatan muda. Bagi keduanya, jika mereka tak dibawa paksa ke Rengasdengklok, Indonesia bisa merdeka pada siang hari 16 Agustus. Peristiwa Rengasdengklok menunda proklamasi Indonesia. Masalahnya: jika Indonesia merdeka pada 16 Agustus, maka Indonesia sulit menghindar dari dakwaan bahwa proklamasi adalah pemberian Jepang, sekurang-kurangnya berkat perlindungan Jepang. Inisiatif Wikana, dkk., memang gagal mendesak Sukarno secepat-cepatnya mengumumkan kemerdekaan sebagaimana direncanakan. Namun di luar skema itu, Wikana, dkk., justru berhasil mencegah proklamasi kemerdekaan diumumkan dalam kerangka Jepang. Wikana dalam Proklamasi Semuanya terjadi karena sebagian pemuda dan Mahasiswa yang berhasil mendapatkan berita penyerahan Jepang tanpa syarat kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945 di kapal perang USS Missouri. Berita itu menyebar di kalangan terbatas. Tak hanya menyebar, berita itu juga disikapi para pemuda. Mereka segera berkumpul esok harinya, 15 Agustus 1945, di bawah pohon. Masih di sekitar Cikini. Wikana hadir di sana. Rapat sederhana itu memutuskan mengirim delegasi pemuda untuk berbicara pada golongan tua agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Mereka begitu bersemangat. Bahkan ketika itu, Ahmad Aidit, pemuda asal Belitung, mengusulkan Sukarno sebagai Presiden setelah Proklamasi. Mengenai siapa yang akan mereka kirim, telah dipilih Suroto Kunto, Subadio, Wikana dan Aidit untuk bicara para Soekarno yang dianggap wakil angkatan tua. Malam harinya, keempat pemuda tadi menemui Soekarno di kediamannya, Jalan Pegangsaan Timur 56, yang kini menjadi Tugu Proklamasi. Kebetulan, rumah Sukarno sedang ramai oleh orang-orang Golongan Tua. Sukarno dan Hatta ketika itu baru saja pulang dari Saigon menemui Marsekal Terauchi di sana. Seperti rencana rapat di bawah pohon, Wikana mendesak agar kemerdekaan diumumkan secepat-cepatnya. Jika perlu pada 16 Agustus 1945. Sukarno yang tak suka dipaksa, enggan menuruti mau para pemuda itu. Soekarno tak bisa ambil keputusan sendiri. Harus ada pembicaraan dengan golongan tua yang lain dulu untuk proklamasi. Wikana dan kawan-kawan pemuda yang ikut dengannya mempersilakan para golongan tua untuk berunding dan pemuda menunggu di beranda rumah. Mohamad Hatta keluar menemui pemuda-pemuda itu. Hatta berkeras mereka tak mau dipaksa untuk segera proklamasi karena menanti penyerahan kekuasaan dari Balatentara Jepang. Tak lupa Hatta menantang pemuda yang dianggap tak mau mengerti tadi. Yang dimau golongan tua berharap golongan muda bersabar. “Jika saudara-saudara memang sudah siap dan sanggup memproklamasikannya, cobalah! Saya pun ingin lihat kesanggupan saudara-saudara.,” kata Hatta pada para pemuda itu. “Jika besok siang belum juga diumumkan, kami, para pemuda akan bertindak dan menunjukan kesanggupan yang saudara kehendaki,” balas Wikana. Kepada Sukarno, Wikana juga mengancam, “Jika tidak mau memproklamasikan, maka esok akan terjadi pembunuhan dan pertumpahan darah.” Menurut Suhartono Pranoto, dalam Kaigun Angkatan Laut Jepang Penentu Krisis Proklamasi (2007), Sukarno tak mempan dengan ancaman tersebut dan balik menantang, “Ini leher saya, seretlah saya ke pojok itu, sudahilah nyawa saya...” Tekanan proklamasi tak hanya dari golongan muda, tapi juga datang dari Sutan Sjahrir. Sore sepulang Sukarno-Hatta kembali dari Vietnam, ia mendesak Hatta untuk segera mengumumkan kemerdekaan Indonesia. “Sjahrir menjumpai Hatta, menceritakan kepadanya tentang cerita-cerita penyerahan itu, dan mendesaknya supaya membuat Proklamasi Kemerdekaan diluar kerangka Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dengan alasan bahwa sekutu yang menang pasti tidak mau berurusan dengan suatu negara yang disponsori Jepang,” tulis Ben Anderson dalam bukunya Revolusi Pemoeda (1988). Akhirnya, pada 16 Agustus 1945, para pemuda menujukan kesanggupannya. Bukan memproklamasikan sendiri. Tapi untuk mendesak lebih jauh. Dengan cara, Sukarno dan Hatta mereka culik. Begitu juga istri Soekarno, Fatmawati, dan anak yang masih kecil, Guntur, terpaksa jadi satu paket dengan Sukarno. Para pemuda menyebut jika PETA dan Heiho akan berontak, jadi Sukarno-Hatta diamankan para pemuda. Dengan memakai dua mobil, mereka dibawa ke Rengasdengklok , Karawang. Daerah ini dirasa aman, karena komandan PETA di wilayah itu menjamin keamanan Bung Karno dan Bung Hatta. Pemberontakan itu tak pernah terjadi. Ahmad Soebardjo sempat mengira Angkatan Darat Jepang menangkap Sukarno-Hatta. Begitu pun Laksamanan Maeda, yang menjadi wakil Angkatan Laut Jepang di Jakarta. Nishijima, asisten Laksamana Maeda, lalu menemukan Wikana di Asrama Indonesia Merdeka dan memaksa Wikana menunjukan di mana Sukarno-Hatta. Perdebatan emosional sempat terjadi. Perdebatan itu berakhir setelah ada jaminan bahwa Nishijima dan Maeda akan bekerjasama untuk mengumumkan proklamasi. Tanpa menujukkan di mana Sukarno-Hatta, Wikana mengatur kepulangan keduanya ke Jakarta. Subardjo lalu menjemput ke Rengasdengklok sore harinya. Tiba di sana, hari sudah senja. Soebardjo meyakinkan para penjaga bahwa Laksamana Maeda mendukung proklamasi tersebut. Pukul delapan malam, mereka semua kembali ke Jakarta. Malam itu juga, begitu sudah tiba lagi di Jakarta, Sukarno-Hatta begadang bersama yang lain. Di rumah Maeda, naskah Proklamasi pun lahir. Esok paginya, 17 Agustus 1945, dibacakan di rumah Soekarno di Pegangsaan Timur 56. Setelah itu, segalanya telah dicatat oleh sejarah! share infografik Adik Seorang Digulis Wikana bukan pemuda hasil bentukan Jepang. Wikana bahkan tergolong anti-fasis Jepang meski dia bekerja untuk Angkatan Laut Jepang dalam Asrama Indonesia Merdeka yang didirikan pada Oktober 1944. Maeda yang mendirikan asrama tersebut. Diam-diam Maeda agak berseberangan dengan militer Jepang di Indonesia. Soebardjo selaku pimpinan asrama mempekerjakan Wikana karena pengaruhnya di Gerindo. Wikana sepintas terlihat bekerja untuk Jepang. Hal ini membuat Wikana terlindung dari mata-mata Jepang yang benci dengan komunis pengikut Tan Malaka macam dirinya. Dalam pergerakan nasional zaman kolonial Hindia Belanda, menurut Ben Anderson, Wikana adalah anak didik Sukarno dan pernah menjadi anggota Barisan Pemuda Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Wikana adalah ketua pertama Gerindo. Wikana juga dekat dengan Sekolah Taman Siswa di Jawa Barat. Pada 1940, Wikana tertangkap karena menyebarkan buletin komunis ilegal Menara Merah. Pergerakan dan Komunisme memang bukan hal aneh bagi Wikana. Winanta, abangnya, adalah seorang Digoelis yang telah menulis novel Antara Hidup dan Mati atau Buron dari Boven Digul. Winanta dianggap terlibat Pemberontakan PKI 1926. Tidak banyak catatan soal abangnya. Wikana dan Winanta adalah anak dari Raden Haji Soelaiman, pendatang Jawa asal Demak yang tinggal di Sumedang, Jawa Barat. Setelah melewati pendidikan barat di ELS dan MULO, Wikana masuk pergerakan nasional sejak 1930an. Wikana yang kelahiran Sumedang, pada 16 Oktober 1914 itu, tak berbeda jauh dengan abangnya. Keduanya hanya beda zaman dalam bergerak. Di zaman Jepang, menurut Harry Poeze dalam Madiun 1948 PKI Bergerak (2011), meski tak sebebas di zaman kolonial Hindia Belanda, Wikana masih berpolitik. Kali ini dengan resiko besar. Di masa pendudukan Jepang itu, Aidit dan Lukman, bakal pimpinan Central Comite (CC) Partai Komunis Indonesia (PKI), berhasil direkrutnya masuk asrama. Mereka mendirikan Gerakan Indonesia Merdeka (Gerindom). Setelah kemerdekaan Indonesia, ia terlibat dalam peristiwa Madiun 1948 yang diinisiasi oleh Front Demokrasi Rakyat FDR. Sebelum Peristiwa Madiun, Wikana adalah Gubernur Militer di Solo. Di FDR, Wikana diserahi urusan kepemudaan. Setelah peristiwa Madiun 1948, dia menghilang dan baru muncul kembali pada awal 1950-an. Wikana melanjutkan karier politiknya dengan menjadi anggota CC PKI. Meski dulu pernah bersama Aidit dan Lukman di zaman pendudukan Jepang, Wikana kemudian terbuang dari lingkaran kepemimpinan PKI setelah kedua tokoh itu jadi pemimpin besar PKI. Saat meledak peristiwa 1965, Wikana adalah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Dia pernah tinggal di sekitar Jalan Dempo, Matraman Plantsoen. Ketika G30S berlangsung, Wikana sedang menghadiri hari Nasionalis Tiongkok di Beijing. Pulang dari Beijing pada 10 Oktober 1965, Wikana disembut tentara yang kemudian menggiringnya ke KODAM Jaya. Setelah menginap di KODAM dia dibebaskan. Setelah sekian bulan di rumah, pada Juni 1966, dia dibawa lagi oleh tentara. Dan sejak itu ia tak pernah kembali. Wikana sendiri punya keinginan tertentu jika ajalnya tiba. “Kalau harus mati, saya pilih mati di tanah air,” kata Wikana seperti dikatakan cucu menantunya yang dilansir Historia. Abriyanto, cucu menantunya, sedang menyusun biografi Wikana. Wikana jelas sosok yang patut dicatat dalam sejarah Indonesia. Dalam skripsinya Orang-orang Di Persimpangan Kiri Jalan (1969), Soe Hok Gie, mencatat: tanpa Wikana Proklamasi Indonesia tak akan berjalan lancar. Baca juga artikel terkait HARI PAHLAWAN atau tulisan menarik lainnya Petrik Matanasi (tirto.id - pet/zen)