Terungkap! Ini Dia Kesaksian 'Pasukan Elit' Soekarno Dibalik Kejadian G30S/PKI 
http://www.tribunnews.com/nasional/2017/10/31/terungkap-ini-dia-kesaksian-pasukan-elit-soekarno-dibalik-kejadian-g30spki
 

 Selasa, 31 Oktober 2017 12:02 WIB

 

 

 Ishak, bekas anggota pasukan Cakrabirawa.

 

 TRIBUNNEWS.COM - Dalam film propaganda Pengkhianatan G30S/PKI, peristiwa 
penculikan terhadap enam jenderal pada 1 Oktober 1965 oleh pasukan Cakrabirawa, 
membuat gambaran bahwa pasukan elit itu sangat kejam. Apalagi satu bocah berusa 
lima tahun Ade Irma Nasution, turut jadi korban.

 

 Tapi dua bekas anggota pasukan Cakrabirawa; Sulemi dan Ishak, mengatakan yang 
sebaliknya. Seperti apa ceritanya? Berikut kisah lengkapnya seperti dilansir 
dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR) 
http://www.tribunnews.com/nasional/2017/10/31/kbr.id.
 
 Ishak, bekas anggota pasukan Cakrabirawa –pasukan elit pengawal Presiden 
Sukarno mengisahkan ulang apa yang ia lihat dan ketahui ketika mengantar 
Komandan Batalyon Cakrabirawa, Letnan Kolonel Untung ke Lubang Buaya pada 1 
Oktober 1965.
 

 Lelaki kelahiran 1936 ini mengaku sama sekali tak tahu apa yang terjadi pada 
dini hari sebelumnya.
 “Saya berkali-kali mengatakan. Saya tidak tahu masalah itu. Setahu saya, hanya 
diperintah Pak Untung supaya ikut, itu saja. Tahu-tahu dibawa ke Lubang Buaya. 
Di sana adanya ya militer. Angkatan Udara, Angkatan Darat, Brigif, tahu-tahu 
ada perintah, menjemput jenderal-jenderal. Setelah datang, saya kira 
hidup-hidup. Ternyata ada yang mati. Pak Yani mati, Haryono mati, Pandjatian 
mati,” dia mengungkapkan.
 30 September 1965, Ishak – yang merupakan bekas ajudan Untung, mengawal 
Presiden Sukarno menghadiri Musyawarah Nasional Teknik (Munastek) di Istora 
Senayan.
 Esoknya, dia bertugas mengawal Sukarno ke Bogor, Jawa Barat. Tapi, siang hari, 
Ishak diperintahkan atasannya Letkol Untung mengantarnya ke Lubang Buaya.
 “Saya mau mengawal ke Bogor, kan habis Jumat, Musyawarah besar teknisi. Saya 
kan sebagai komandan regu, saya dicegat oleh Pak Untung. Ayo ikut saya. Tanggal 
30 itu. Jadi saya mau mengawal Sukarno ke Pertemuan Nasional Teknik. Tapi di 
jalan, ‘Hei, siapa itu pengawalnya, komandannya? Ishak, ‘Ganti dengan Kahono. 
Ini ikut saya,” Ishak mengisahkan.
 Malam di 1 Oktober 1965, Ishak berangkat bersama Untung ke Lubang Buaya. 
Begitu sampai, ia menunggu di lokasi parkir.
 Menurut Ishak, suasana malam itu berubah suram kala tiga jenderal yang hendak 
dijemput menghadap Presiden Sukarno, sudah tak bernyawa. Seketika, firasat 
Ishak menjadi tak enak. Belum lagi, ia sempat mendengar rentetan tembakan dari 
dalam Lubang Buaya.
 Para jenderal itu oleh Komandan Batalyon Cakrabirawa, Letnan Kolonel Untung 
dan Letnan Satu Dul Arif, disebut-sebut bakal menggulingkan Sukarno pada 5 
Oktober 1965.
 Dasar itulah yang kemudian membuat Untung, memutuskan menggagalkan rencana itu 
dan menyeret para Dewan Jenderal ke hadapan Presiden Sukarno. Aksi ini pun 
turut didukung Panglima Kostrad, Soeharto.
 Dini hari di 1 Oktober 1965, kurang dari 150 prajurit Cakrabirawa dibagi ke 
dalam beberapa kelompok. Mereka diperintah menjemput para jenderal dalam 
keadaan hidup atau mati.
 Di tengah situasi yang kalut itu, Ishak diperintah menembak seorang polisi 
bernama Sukitman. Tapi ia menolak. Sebab Sukitman, hanya polisi yang secara 
kebetulan berpatroli di sekitar rumah Jenderal D.I. Pandjaitan pada dini hari 
itu.
 Maka, ia pun menyuruh Sukitman bersembunyi di jipnya yang terparkir di area 
Lubang Buaya. Sukitman menurut. Ia meringkuk di jip hingga pagi datang. 
Sukitman lantas ikut terbawa ke Istana Negara. Sampai di sana, Sukitman 
buru-buru meninggalkan Istana.
 Sementara Ishak, beberapa jam setelah dari Istana Negara, ditangkap dan 
dijebloskan ke penjara bersama anggota Cakrabirawa lainnya karena dituduh 
pendukung PKI. Belakangan pada 28 Maret 1966, pasukan elit ini dibubarkan.
 Ishak lalu dibui di Rutan Cipinang. Sepekan di Cipinang, Ishak kemudian 
dipindah ke Salemba. Detik itu juga, hidupnya seakan roboh. Ia pun menyanggah 
tudingan tersebut. Sebab sebelum menjadi tentara, Ishak seorang santri dan 
aktif di Muhammadiyah juga Masyumi.
 Di penjara, Ishak diperlakukan tak manusiawi. Makanan yang diberikan terdiri 
dari jagung pipilan yang direbus. Kadang, jagung itu disebar di halaman penjara 
dan para tahanan memunguti satu persatu.
 Agak beruntung, karena Ishak tak disiksa habis-habisan seperti tahanan lain 
lantaran dianggap kooperatif saat ditangkap.
 “Ya saya mengajar agama langsung. Di Salemba juga saya mengajar agama. Jadi 
tidak ada yang mengira. Ini pasti korban fitnah. Orang salut dengan saya. Baik 
dengan saya. Karena saya kaum santri. Sampai sekarang pun saya masih kadang 
mengajar mengaji. Ya tahun 1978, keluar. Jadi di luar, lain dengan orang-orang 
lainnya mungkin ya (Cakrabirawa lain). Jadi waktu keluar, saya pun disambut 
alumni. ‘Aduh, ini Pak Is,” tutur Ishak.
 Hingga di Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub), Ishak dijatuhi hukuman 20 
tahun penjara.
 Selama di bui, tahanan hanya mendapat setengah gelas jagung rebus per hari 
sebagai makanan. Perlakuan semacam ini, berlangsung kurang lebih tiga tahun 
pada 1965-1968. Akibatnya, bobot tubuh Ishak melorot drastis. Dari sebelumnya 
75 kilogram menjadi 40. Persis tulang berbalut kulit.
 “Saya menyadari, bahwa siksaan-siksaan itu pasti menimpa kepada kita, orang 
yang kalah. Saya dikasih makan itu jagung. Disebari. Kemudian kita punguti. 
Kalau mau minum itu ya, air selokan, di situ. Disedot dengan batang daun 
pepaya. Maka, saat itu, zaman antara tahun 1965-1966, mungkin tiap hari ada 
orang yang mati, 15 orang, 15 orang, itu kan orang sipil banyak yang mati, tiap 
hari ada yang mati, kadang 10 orang. Beri-beri, kutu rambut, tinggi, itu sudah 
merambat semua. Bobot tubuh saya yang tadinya 75 itu tinggal 40 kilogram kok,” 
tuturnya.
 Ketika masih di penjara Salemba, Ishak bertemu kembali dengan Sukitman. 
Sukitman pun masih ingat pada Ishak. Tapi Sukitman tak bisa berbuat apapun.
 Sialnya, sang istri yang sedang hamil muda dan tinggal di Purbalingga, 
menggugat cerai. Dia memaklumi keputusan istrinya yang ketakutan jika memiliki 
pertalian dengan anggota Cakrabirawa. Sebab pasukan elit itu sudah terkenal 
beringas dan kejam. Apalagi ada embel-embel terlibat PKI.
 Hingga pada 1978, setelah dipenjara selama 13 tahun, Ishak bebas dan pulang ke 
Kalimanah, Purbalingga. Lebih cepat tujuh tahun lantaran adanya tekanan Lembaga 
HAM PBB.
 “1965 saya pindah ke sana (penjara Salemba). Istri saya, digeledah semua rumah 
saya. Kemudian pulang (ke Purbalingga). Istri saya, hamil muda, baru satu 
bulan. Waktu itu baru menikah. Sewaktu saya pulang, anak saya berumur 13 tahun. 
Anak saya, cintanya ya cinta ke bapaknya. Kalau sama saya malah takut. Pokoknya 
hidupnya terlunta-lunta,” Ishak menuturkan.
 Di kampungnya, Ishak mendapat sangu dari seorang kawan di militer sebesar Rp50 
ribu. Uang itu dipakai untuk membeli peralatan pertanian dan pertukangan. 
Ishak, lantas menjadi buruh lepas selama dua tahun.
 Beruntungnya, karena Ishak dikenal dari kalangan terpelajar, ia mengajar 
mengaji dan membuka bisnis jual-beli sepeda motor.
 Bertahun, Ishak hidup menyendiri. Suatu hari seorang kawan dari Dinas 
Pekerjaan Umum Purbalingga mengenalkan pada adik iparnya, Sri Sumarni. Jadilah 
keduanya kawin.
 Kini, Ishak menghabiskan hari-hari dengan membaca dan berolahraga. Sesekali, 
ia menjual kendaraan; sepeda motor atau mobil.
 
 Ishak dan Sulemi, adalah dua anggota pasukan Cakrabirawa yang tersisa di 
Purbalingga. Tapi stigma pada mereka tak juga luntur selama pemerintah tak 
membuka secara terbuka peristiwa kelam itu.
 

Reply via email to