From: 'j.gedearka' j.gedea...@upcmail.nl [GELORA45] 
Sent: Sunday, February 18, 2018 2:25 AM
  



https://news.detik.com/kolom/d-3870944/tidak-cukup-seorang-buya-ahmad-syafii-maarif?_ga=2.256640782.426526177.1518891221-556031207.1518891221


Jumat 16 Februari 2018, 17:32 WIB
Kolom Kalis
Tidak Cukup Seorang Buya Ahmad Syafii Maarif
Kalis Mardiasih - detikNews
Kalis Mardiasih 

 Kalis Mardiasih (Ilustrasi: Kiagoos Auliansyah/detikcom) 
     Jakarta - Yogyakarta adalah juga Jalan Kaliurang yang masih lengang di 
subuh hari. Ia jadi saksi jamaah muslim selepas salat yang berpapasan dengan 
para suster biarawati yang berangkat ke seminari tinggi St. Paulus mengayuh 
sepeda atau berjalan kaki bersama-sama. Di Yogya, Alm. Gus Dur bersahabat 
dengan Alm. Romo Mangun, menjadi juru selamat tak hanya di kota ini, tapi untuk 
semua yang dilukai.

Pagi ketika tersiar kabar penyerangan di Gereja St. Lidwina pada Minggu (11/2) 
adalah pagi pengecualian yang begitu kelabu. Teman-teman dari Jaringan 
Gusdurian saling bertukar informasi via aplikasi pesan instan. 

"Sedih sekali. Kita kecolongan, justru di rumah sendiri."

Pesan dari Rifqi Fairuz, salah satu pegiat jaringan sangat dimaklumi. Belum ada 
satu pekan acara puncak Haul Sewindu Gus Dur digelar di Yogyakarta yang 
dihadiri oleh tak kurang tiga ribu hadirin lintas iman. Pengisi acara adalah 
para tokoh dan remaja lintas iman, yang membawa pesan bahwa keberagaman adalah 
kekayaan bangsa, yang dapat diperas nilai-nilai luhurnya untuk kebaikan 
bersama. Selama tiga bulan, sejak Desember, rangkaian acara Haul Gus Dur 
digelar di berbagai kota, mulai dalam bentuk tahlilan keliling pesantren, 
pemberdayaan masyarakat, lomba antarsekolah, seminar dan diskusi ilmiah, hingga 
pengajian budaya.

Tak lama, foto Buya Syafii Maarif yang menengok lokasi gereja, lalu dilanjutkan 
dengan menjenguk pelaku dan korban di RS Panti Rapih beredar di media dan 
linimasa. Rupanya, jika kepedulian spontan dilakukan oleh seorang Buya Ahmad 
Syafii Maarif, manusia Indonesia merasa memiliki harapan. Ketakutan akan 
bayangan senjata tajam yang melukai korban dan menghancurkan patung di dalam 
gereja, seakan sirna begitu saja, berubah menjadi kepercayaan kolektif bahwa 
"kami tak takut teror". 

Pesan solidaritas mulai muncul, bahwa semua pihak diharapkan untuk 
mengendalikan diri dan komunitasnya. Bahkan, situasi linimasa sangat 
terkendali. Pesan-pesan marah berlebihan yang berpotensi membangkitkan 
kemarahan lainnya hampir tak ada. Sebentar kemudian, beredar foto viral milik 
Dr Ahmad Muttaqin Alim, memotret istrinya yang berjilbab sedang menyapu di sisi 
patung Bunda Maria. Masyarakat sekitar juga berbondong-bondong datang ikut 
membersihkan gereja dan mengirim simpati. 

Belakangan, diketahui bahwa pelaku yang berusia sangat muda, yakni 22 tahun 
mengakui motif penyerangannya adalah pemahaman yang eksklusif dan sempit dalam 
menginterpretasikan agama. Pertama-tama, kondisi ekonominya lemah. Selanjutnya, 
ia belajar agama pada kelompok yang ingin menukar nyawa manusia dengan bidadari 
surga. Faktor keterbatasan ekonomi yang mempertemukan faktor keyakinan akan 
eksklusivitas agama, konon adalah paduan paling berbahaya yang melahirkan 
seorang ekstremis.

Keyakinan seseorang, sekalipun ia adalah seorang penyembah lampu gantung adalah 
hak pribadi, tapi ketika ia mencederai hak-hak orang lain yang dilindungi 
konstitusi dalam sebuah negara sesungguhnya adalah tanggung jawab hukum.. 
Sayangnya, jejak kasus kekerasan Hak Asasi Manusia di Indonesia tidak cukup 
baik. 

Beberapa peristiwa terakhir, seperti kekerasan yang dialami pemimpin Pondok 
Pesantren di Cicalengka, Kabupaten Bandung, KH Umar Basri hingga Komando 
Brigade PP Persis, Ustaz Prawoto yang meninggal dunia akibat mengalami 
penganiayaan oleh seorang pria. Menarik bagaimana narasi orang gila selalu 
dimunculkan untuk menutup kasus. Awal Februari 2018, muncul video seorang biksu 
Budha yang dipaksa meninggalkan kediamannya di Tangerang. Alih-alih dilakukan 
penyelidikan mendalam terhadap kelompok mana yang terlibat atau menggerakkan 
aksi persekusi, berita hilang seiring terbit rilis berita yang mengabarkan 
semua telah selesai dengan baik-baik.

Menurut Sidney Jones dalam Pelintiran Kebencian karya Cherian George (2017), 
masalah terbesar bagi demokrasi Indonesia bukanlah terorisme, tetapi 
intoleransi yang menjalar dari kelompok radikal yang pinggiran ke arah arus 
utama (mainstream).

Tahun 2018 dan 2019 masih cukup panjang. Tetapi, baru saja kita berharap 
berbagai kebaikan, awal tahun langsung disambut dengan gegap gempita teror di 
berbagai daerah. Entah itu peristiwa yang terjadi begitu saja secara organik 
atau rekayasa kebencian yang sengaja dioperasikan penguasa dalam dinamika tahun 
politik, sebagaimana analisis George, adalah alarm tanda bahaya.

Kemarin, kehadiran Buya Ahmad Syafii Maarif yang menyimbolkan potret toleransi 
mungkin cukup membuat kita mampu menekan kecemasan, mengendalikan emosi dan 
membangun solidaritas swa-rekonsiliasi. Hari esok, jaminan bukan lagi ada pada 
sosok Buya. Kita perlu menjadi Buya. Kita harus membangun kesadaran bahwa 
sejarah kekerasan atas nama politik, agama maupun sentimen ras, tak pernah 
menyenangkan melainkan mewariskan dendam dan trauma yang sulit dicari obatnya 
meskipun puluhan tahun telah terlewati. Sehingga, yang utama adalah prinsip 
membela harmoni kebangsaan dibanding membela hak-hak pribadi maupun kelompok 
kecil.

Mohamad Sobary dalam Spiritualitas Baru, Agama dan Aspirasi Rakyat (2004) 
memunculkan istilah kepemimpinan kultural. Ini adalah sebuah konsep kesepakatan 
bahwa agama apa pun bersetuju pada nilai yang membangun kehidupan yang damai. 
Tanggung jawab berikutnya adalah bagaimana masing-masing agama memunculkan 
tokoh atau sosok yang tidak hanya menjalankan visi misi teologis, namun juga 
misi sosial. Orang Islam punya sosok kiai rakyat, yakni tokoh pemimpin muslim 
yang selama ini dinilai dapat mendampingi masyarakat dalam menghadapi konflik 
sosial yang bersifat horisontal maupun vertikal. 

Ada baiknya jika semakin banyak muncul romo rakyat, biksu rakyat, suster rakyat 
dan lain-lain sebagai simbolisasi mengakarnya kepemimpinan kultural pada level 
grassroots. Tidak cukup seorang Buya Ahmad Syafii Maarif. Oleh karenanya, jika 
terjadi teror, kabarkan kepada keluarga, tetangga, jamaah tempat ibadah, teman 
kantor, dan siapa saja orang yang Anda temui di jalanan, bahwa kita semua tak 
pernah takut. Alih-alih keberagaman ini dikoyak, ikatan justru akan semakin 
rekat dan padat.

Kalis Mardiasih menulis opini dan menerjemah. Aktif sebagai periset dan tim 
media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan 
toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama. Dapat disapa lewat @mardiasih


(mmu/mmu) 
Tulisan ini adalah kiriman dari pembaca detik, isi dari tulisan di luar 
tanggung jawab redaksi. Ingin membuat tulisan kamu sendiri? Klik di sini 
sekarang!









Kirim email ke