Ini yg namanya Fisher Effect atau Fisher Paradox yg tempo hari coba dijelaskan bung Roeslan.Bahasa Indonesianya "gali lubang tutup lubang" sementara lubang yg digali makin besar saja. On Tuesday, March 13, 2018, 5:03:09 PM PDT, Karma, I Nengah [PT. BI-POS] <ineng...@chevron.com> wrote: Kalau tidak salah pemerintah sudah mencicil uang negara sebesar 250 T setiap tahun , tapi hutang negara kok tambah tinggi terus Kalau Pak Jokowi sudah membayar sebesar 750 T selama tiga tahun mesti uang negara sudah menurun tapi kenyataan kok meningkat From: GELORA45@yahoogroups.com [mailto:GELORA45@yahoogroups.com] Sent: Wednesday, March 14, 2018 6:19 AM To: Yahoogroups <gelora45@yahoogroups.com> Subject: [**EXTERNAL**] [GELORA45] Utang RI Dijaga Tak Lebih dari 60% PDB Apakah maksudnya masih akan tambah utang lagi sehingga mencapai 60% GDP? Masih bisa tambah utang sekitar 25% GDP atau US$250 billion (2017 GDP US1 trilliun) lumayanlah. --- Menurut Sri Mulyani, orang yang menganggap utang Indonesia semakin besar hanya menakut-nakuti masyarakat. Dia anggap ketika utang meningkat Indonesia sampai Rp4.000 triliun bisa menghancurkan negara dan sebagainya. “Padahal kalau lihat dibandingkan nominal utang kita dengan negara utang paling tinggi Jepang atau AS yang disebut adidaya. Utang kita itu masih aman dengan pengelolaan yang benar,” tuturnya. Jadi, utang Indonesia dikelola dengantarget tidak boleh melebihi 60% terhadap GDP dan defisit tetap dijaga. .... Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia masih berada dalam batas amandi kisaran 35% dari produk domestik bruto. Meski membengkak, dia tidak merisaukan perekonomian Indonesia. Pasalnya, perekonomian Indo - nesia masih tetap tumbuh dan mampu bersaing dengan negara lain yang juga memiliki ULN tinggi. .... Utang RI Dijaga Tak Lebih dari 60% PDB | | | | | |
| | | | | Utang RI Dijaga Tak Lebih dari 60% PDB : Okezone Economy Okezone Pemerintah meyakinkan masyarakat untuk tidak khawatir terhadap utang Indonesia meski semakin besar - Fiskal & Mo... | | | Koran SINDO, Jurnalis · Senin 12 Maret 2018 11:13 WIB Ilustrasi: Shutterstock YOGYAKARTA – Pemerintah meyakinkan masyarakat untuk tidak khawatir terhadap utang Indonesia, meski semakin besar. Pasalnya, utang tersebut dikelola dengan transparan dan tidak boleh melebihi 60% produk domestik bruto (PDB). Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, jangan melihat utang hanya dari satu sisi, tapi lihat utang di dalam APBN secara keseluruhan. “Dalam mengelola utang negara, kita menggunakannya dengan hati-hati sesuai amanat undang-undang. Seperti kesehatan, kita juga melihat kesehatan keuangan negara seperti apa,” ujar Sri Mulyani dalam dialog nasional “Sukseskan Indonesia ku” di Kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Baca Juga: Pemerintah Lelang SUN 13 Maret, Targetkan Rp25,5 Triliun Menurut Sri Mulyani, orang yang menganggap utang Indonesia semakin besar hanya menakut-nakuti masyarakat. Dia anggap ketika utang meningkat Indonesia sampai Rp4.000 triliun bisa menghancurkan negara dan sebagainya. “Padahal kalau lihat dibandingkan nominal utang kita dengan negara utang paling tinggi Jepang atau AS yang disebut adidaya. Utang kita itu masih aman dengan pengelolaan yang benar,” tuturnya. Jadi, utang Indonesia dikelola dengan target tidak boleh melebihi 60% terhadap GDP dan defisit tetap dijaga. “Lihat apakah keuangan kita sehat apa tidak, kalau rasio utang terhadap PDB dan kemampuan bayar. Jadi, jangan menakut-nakuti dan provokasi masyarakat,” tandasnya. Baca Juga: Utang Luar Negeri Indonesia Masih Batas Aman Sri Mulyani mengajak masyarakat untuk lebih percaya kepada pemerintah. Dengan begitu, Indonesia bisa menjadi negara yang kuat. “Saya tidak senang kalau tidak percaya diri, jangan jadi orang yang hanya menakut-nakuti. Jadi, kita harus menjadi negara yang percaya diri,” tandasnya. Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menilai dampak pelemahan nilai tukar rupiah terhadap utang luar negeri tidak ada masalah. Menurut dia, beban utang Indonesia jika dibandingkan negara lain di dunia tidak terlalu tinggi. “Utang kita gak ada masalah, bahwa utang kita kenaikannya mungkin sedikit lebih cepat dibandingkan masa lalu, iya. Tapi, tetap saja beban utang kita tidak tinggi di antara negara mana pun,” katanya. Baca Juga: Ketua OJK: Tak Perlu Khawatir dengan Utang Luar Negeri Indonesia Darmin melanjutkan, kenaikan utang Indonesia memang terjadi lebih cepat karena pemerintah mempercepat pembangunan infrastruktur.. Penambahan nilai utang ini, menurut Darmin, justru akan membawa dampak positif. “Kita tidak menggunakan utang untuk konsumsi. Kita gunakan utang untuk investasi infrastruktur. Jadi, jangan menakut-nakuti diri,” tuturnya. Darmin menuturkan, penambahan nilai utang Indonesia tetap diiringi indikator fiskal yang baik. “Indikator fiskalnya mulai menunjukkan defisit primer kita sudah mulai habis. Artinya, kita tidak meminjam untuk bayar utang lagi. Dulu sempat begitu karena warisan krisis tahun 1998. Tapi, sekarang mulai mengarah ke positif,” ujarnya. Menurut Darmin, dampak dari upaya pemerintah mendongkrak pembangunan infrastruktur akan mulai terasa pada tahun depan. Hal ini akan berdampak positif pada perekonomian. “Kita bangun infrastruktur di mana-mana, mungkin sebagian besar belum selesai tapi sebagian kecil sudah. Tahun depan semakin banyak yang selesai dan tentunya ekonomi akan menjadi lebih baik. Hasilnya akan lebih banyak dari utangnya,” ungkapnya. Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia masih berada dalam batas aman di kisaran 35% dari produk domestik bruto. Meski membengkak, dia tidak merisaukan perekonomian Indonesia. Pasalnya, perekonomian Indo - nesia masih tetap tumbuh dan mampu bersaing dengan negara lain yang juga memiliki ULN tinggi. Sebagai informasi, Bank Indonesia mencatat ULN Indonesia pada akhir triwulan IV/ 2017 sebesar USD352,2 miliar atau tumbuh 10,1% year on year (yoy). Mengacu kurs rupiah Rp13.500/USD, maka ULN Indonesia mencapai Rp4.752 triliun.. “Utang luar negeri 34-35% dari PDB, ini masih jauh dari angka utang terhadap PDB di negara-negara G20,” kata Wimboh dalam diskusi Forum RSM tentang Perkembangan Industri Keuangan dan Pasar Modal di Jakarta kemarin. Wimboh mengatakan, seperti Turki yang memiliki ULN tinggi tapi selama bertahun-tahun negara tersebut dalam kondisi baik. Hal ini juga terlihat pada China yang memiliki ULN tinggi, baik dari sisi pemerintah maupun swasta, tapi negara itu perekonomiannya terus melaju. “Jadi kita tidak masalah dengan ULN, masih banyak ruang, tidak usah khawatir kalau dana dari luar masuk ke dalam negeri,” ujarnya. (Oktiani Endarwati/Okezone) (kmj)