Artikel bernas berikut ini mengajak kita belajar dari jejak sejarah Islam 
dan
perkembangannya di Indonesia, sejak zaman kolonial sampai kini.
Semoga bermanfaat.
 
Salam,
Arif H.
 
--------------------
----- Weitergeleitete Nachricht -----
Von: Islam Bergerak <donotre...@wordpress.com>
An: "arif_hars...@yahoo.com" <arif_hars a...@yahoo.com>
Gesendet: Donnerstag, 15. März 2018, 07:22:25 MEZ
Betreff: [New post] Mimpi Itu Bernama Sosialisme
 
Muhammad Adrian Gifariadi posted: " Dosen saya, seorang guru besar ilmu 
politik ternama yang malang melintang di kancah perpolitikan nusantara, 
bukan sekali dua kali melontarkan wacana politis yang nyeleneh. “Saya ingin 
bikin partai Islam”, ujarnya pada kami, “tapi Islam-nya yang sosial"
 

New post on Islam Bergerak <http://islambergerak.com/?author=133>

Mimpi Itu Bernama Sosialisme
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/>
by Muhammad Adrian Gifariadi <http://islambergerak.com/?author=133>
<http://islambergerak.com/wp-content/uploads/2018/03/adriangifariadi.jpg>

Sumber: https://www.dawn.com/news/1195863
<https://www.dawn.com/news/1195863>
Dosen saya, seorang guru besar ilmu politik ternama yang malang melintang 
di kancah perpolitikan nusantara, bukan sekali dua kali melontarkan wacana 
politis yang nyeleneh. “Saya ingin bikin partai Islam”, ujarnya pada kami, 
“tapi Islam-nya yang sosialis”.
“Maksudnya pak?”
“Yaaa, Partai Sosialis Islam!”
“Partai Sosis kali pak!”, celetuk teman saya dengan kurang ajar, diikuti 
dengan tawa kami sekelas. Seperti biasa, beliau tertawa terkekeh-kekeh, 
membuai kami dengan cerita nostalgia: Soeharto, Islam, Reformasi dan segala 
diantaranya. Umur, nampaknya, membuat seorang insan lebih santai menanggapi 
problematika dunia.
Tapi saya rasa ada kegetiran yang terselip di antara tawa. Gagasan Partai 
Islam sendiri sudah bangkit, dikritisi, dicaci, dibunuh, dikubur, dan kini 
dibangkitkan kembali. Carut-marut politik Islam kontemporer menyulut sumbu 
nostalgia – kala Islam, nampaknya, sudah sedemikian dekat mewujudkan mimpi 
umat.
Sarekat Islam, Politik Islam
Hampir seabad lalu, Raden Mas Hadji Oemar Tjokroaminoto menerbitkan “Islam 
dan Sosialisme”. Tahun itu – 1924 – adalah kala bumi meronta, menggigil dan 
membara, kala revolusi memutus belenggu para raja dan membidani lahirnya 
bangsa-bangsa. Sejarah mencatat bahwa kaum Bolshevik di Russia telah 
menggilas bala tentara putih di Siberia; Jerman, yang baru saja kalah 
perang, harus menanggung pemberontakan rakyat pekerja, sebagaimana pula 
Hungaria. Dunia Islam diguncang dengan keruntuhan sisa-sisa Kekhalifahan 
Usmaniyah dan pengukuhan rezim republiken yang sekuler tanah Turki. India 
dan segenap Timur Jauh masih terbaring di dipan, belum menggeliat, meliuk, 
menyongsong terbitnya khitah kemerdekaan.
Situasi negeri sendiri sarat darah dan amarah. Lima tahun sebelumnya, 
kegagalan panen dan penyitaan tanah oleh pemerintah kolonial berpucuk pada 
pemberontakan Haji Hasan di Cimareme, Garut. “Peristiwa Afdeling B”, begitu 
nama pembantaian ini, mengantarkan Raden Mas Hadji Oemar Tjokroaminoto ke 
penjara. Kesatuan Sarekat Islam sendiri terancam oleh penyusupan Sneevliet 
dan antek-antek ISDV ke tubuh SI, yang akhirnya menyempal sebagai SI Merah, 
dan kemudian Sarekat Rakyat, di tahun 1921. Tanpa Tjokroaminoto, pengurus 
Central Sarekat Islam kalang kabut menekan agitasi kiri tanpa kehilangan 
muka di depan penguasa Belanda.
Dengan ini kita memperoleh cerminan buram latar sejarah yang menelurkan 
Sosialisme Islam: situasi umat Islam, atau tepatnya situasi politik umat 
Islam, berada di titik nadir. Di Turki sana, harapan meneruskan negara 
Islam ditumpas oleh kemenangan Mustafa Kemal, sementara komunisme 
menggerogoti barisan umat di Indonesia. Kemenangan kaum Bolshevik di Eropa 
memodali lakunya Marxisme di kalangan cendekia, yang kian nekat mengimpor 
ilmu untuk mempelopori agitasi militan di Indonesia. Didesak dari Kiri dan 
ditekan pemerintah kolonial, Tjokroaminoto berpaling pada sosialisme.
Politik Islam, Sosialisme Islam
Namun beralihnya Sarekat Islam ke sosialisme merupakan perkembangan yang, 
sesungguhnya, sulit diterka. Tirto Adhi Soerjo sendiri mencita-citakan 
Sarekat Dagang Islam sebagai koperasi yang mengajak pada swakelola, di mana 
“Islam” dan kaum pedagang batik Surakarta bahu-membahu menghempang pedagang 
Cina yang berhimpun di Siang Hwee. Haji Samanhoedi, yang tercantum dalam 
buku sejarah sebagai pendiri SDI, adalah pedagang batik sukses yang tidak 
pernah mengenyam pendidikan Belanda. Anggota-anggota SDI sendiri berlatar 
sama: borjuasi muslim “pribumi” yang (mencoba) mengejar ketertinggalan dari 
komprador Cina dan Eropa di perempat pertama abad dua puluh.
Hubertus Van Mook, dalam suatu studi mengenai masyarakat Kotagede, mencatat 
bahwa para pedagang ini telah menghayati etika Weberian dengan kentara: 
swadaya, rasional dan mahir berdagang[1]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftn1> . 
Berbalik dengan masyarakat Jawa pada umumnya, yang mengagumi dan meniti 
karir di birokrasi kolonial, para pedagang ini tidak mencari pendidikan 
formal Barat di ELS, MULO atau OSVIA. Karakter borjuis ini pula yang 
mendominasi agenda Sarekat Islam pada masa-masa kelahirannya: memboikot 
pengusaha Cina, membentuk koperasi dagang, dan menjalankan syi’ar agama. SI 
dan Sosialisme Islam, tidak bisa dipisahkan dari rasionale anti-Cina.
“Sosialisme Islam” bikinan Tjokroaminoto menimba pokok-pokok ajarannya dari 
Al Quran dan hadits, namun juga pengalaman praktis SI di bidang swakelola 
ekonomi ala koperasi. Tapi Sosialisme Islam juga dirancang untuk membendung 
perjuangan kelas dan mengukuhkan kuasa kasta cendekia dalam SI. Militansi 
buruh tani dikekang demi kepentingan cendekia dan priyai, yang bersyahwat 
pada kursi Volksraad. Keputusan Central Sarekat Islam untuk mempartaikan 
diri berarti bahwa ia harus bersaing dengan PKI/Sarekat Rakyat, menggelar 
rapat umum, menggalang dana dan menyediakan pelbagai amal untuk umat. 
Pengelolaan Sarekat beralih sepenuhnya pada sarjana-sarjana didikan 
Belanda, yang cukup lama mengenyam pendidikan (sekuler) hingga mahir 
mengurus tata administrasi.
“Kemodernan” organisasi ini pula yang menggerus dukungan pedagang-pedagang 
“pribumi” di Laweyan, Kauman, Pekajangan dan Kotagede[2]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftn2> . 
Apabila kontradiksi proletar-borjuasi dalam tubuh SI berimbas pada konflik 
di kongres keenam dan tindakan “displiner” terhadap anggota-anggota ISDV, 
maka takluknya para pedagang di bawah “Sosialisme Islam”-nya Tjokroaminoto 
malah tidak menimbulkan letupan apa-apa. Abdul Muis dan Agus Salim, yang 
turut menjadi pejabat Central Sarekat Islam bersama Tjokroaminoto, malah 
dikenal sebagai tokoh “kanan” dengan sikap anti-komunis yang kentara – 
walaupun per tahun 1927 “santri menengah” dan “santri pengusaha” 
meninggalkan Sarekat Islam[3]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftn3> 
bersamaan dengan hengkangnya Muhammadiyah.
Maka Mas Marco Kartodikromo tiada salah ketika mengemukakan rasa sesal 
terhadap naiknya Tjokroaminoto[4]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftn4> . 
Tentu, Haji Samanhoedi bukan “wong cilik” – toh beliau seorang kaya yang 
punya alat produksi – namun dalam hirarki kolonial Hindia Belanda 
Tjokroaminoto yang lulusan OSVIA yang tidak beda jauh dengan pemangku kuasa 
di Jawa, yaitu para pamong praja. Kendali perjuangan kembali lagi ke kelas 
priyai, kaum terpelajar yang dilatih untuk menjalankan pemerintahan. 
Surutnya suara pedagang dalam SI berarti bahwa aspirasi-aspirasi borjuasi 
Indonesia yang baru berkecambah itu terbenam dibawah keserakahan birokrasi 
dan. janji manis “sosialis”.
Menjelang tahun 1929, Tjokroaminoto masih punya daya pikat terhadap massa 
muslim papa, namun keretakan antar faksi-faksi cendekia mulai nampak dalam 
tubuh Sarekat Islam. Jalur politik kooperasi yang diambil partai 
melancarkan jalan Tjokroaminoto dan Agus Salim menduduki kursi Volksraad
[5] <http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftn5> 
, namun massa SI sendiri yang lebih militan dan radikal mulai melirik 
aliran-aliran nasionalis yang kian gencar menggelar aksi-aksi militan 
melawan pemerintah kolonial. Pengejawantahan “Sosialisme Islam”, selain 
daripada promosi etika ekonomi yang Islami, tidak mengajukan reforma 
agraria[6]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftn6> 
atau restrukturisasi ekonomi, terkecuali pembentengan usaha pribumi dari si 
Cina.
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) sendiri gagal mempertahankan 
kepeloporan anti-kolonial, yang berakibat pada terbengkalainya struktur dan 
basis massa. Pada 1955, ia hanya meraih 8 kursi, sementara pada pemilu 1971 
ia terhempas jadi penggembira Golongan Karya. Sarekat Islam – organisasi 
besar yang pernah merebut hati dan pikiran masyarakat Indonesia sebagai 
garda depan perjuangan – akhirnya lebur ditelan zaman. Ia kalah massa 
dengan Masyumi, partai besar umat Islam ketika itu, dan NU, yang mengakar 
pada santri dan ulama. Menjelang mati suri, PSII masih sempat diwarnai 
dengan penyelewengan wewenang dan perpecahan partai[7]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftn7> .
Tiga masalah sosialisme Islam: kelemahan program ekonomi-politik, raibnya 
dukungan pengusaha dan kelas menengah Islam, dan dominasi kepentingan kelas 
priyai-cendekia. Masalah-masalah ini bukannya tidak mungkin mengemuka pada 
Islam Progresif-nya kita.
Sosialisme Islam, Islam Progresif
Buku-buku sejarah menggambarkan sejarah Sarekat Islam sebagai kisah 
kegegabahan komunisme yang menyabotase perjuangan kemerdekaan, sementara 
opini-opini yang lebih kiri menunjuk politik kooperasi sebagai bukti 
impotensi Islam dalam melawan imperialisme. Walau begitu, yang luput dari 
narasi perjuangan kelas maupun perjuangan umat adalah muslihat para 
cendekia, dengan mengusung pelbagai warna ideologi dan partai, untuk 
mengukuhkan kepentingan kelasnya sendiri lewat birokrasi dan meraup 
pundi-pundi kemerdekaan Indonesia.
Pemilihan Umum 1955 memenangkan partai dan tokoh yang setidak-tidaknya 
mendambakan Indonesia yang “berkeluargaan”, dimana ekonomi ditata dan 
diatur abdi negara. Panteon republik: Tan Malaka, Sjahrir, Hatta, Natsir, 
dan tentu saja Soekarno adalah priyai-priyai yang membungkus 
keberlangsungan kasta birokrasi dengan panji suci nasionalisme ekonomi. 
Dekrit 5 Juli dan Manipol/USDEK sama-sama mewarisi semangat Sosialisme 
Islam-nya Tjokroaminoto; secara politik, ia memadu tradisi sinkretik dengan 
saintisme ideologi Barat, sementara tugas manajerial abdi negara 
disejajarkan dengan keutuhan suci bangsa dan negara. Soekarno sendiri 
pandai meramu pelbagai mazhab dan ideologi dalam suatu agama negara yang 
sarat pemujaan padanya, sebagaimana Tjokroaminoto tiga puluh tahun 
sebelumnya.
Tentu, kita tidak sedang mengungkit (kegagalan) Sosialisme Islam di masa 
lalu untuk menyerang wacana Islam Progresif kala ini. Islam Progresif 
mengurut tradisi perjuangan dari musuh Tjokroaminoto, H. Misbach[8]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftn8> , 
sementara nasab keilmuannya, antara lain, menilik pada Hassan Hanafi, 
Hussein Murwah, dan Ali Shariati[9]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftn9> . 
Walau demikian, banyak pelajaran yang dapat dipetik dari eksperimen 
keberIslaman khas Indonesia dan sosialisme sebagai wacana mewujudkan 
masyarakat yang berkeadilan. Insyaallah, ada sepercik manfaat dari tulisan 
ini.
Program Ekonomi Islam Progresif
“Islam dan Sosialisme” bukanlah suatu traktat ekopol yang matang. 
Tjokroaminoto tidak menganjurkan cara-cara jitu mengelola sumber daya, 
kebijakan publik, ataupun industri. Arah politik SI sendiri ditentukan oleh 
kelas-kelas yang berkuasa di dalamnya: priyai-cendekia, pedagang, dan massa 
jelata. Namun watak birokratik-priyai pimpinan-pimpinan Sarekat Islam pasca 
1924 bukan berarti bahwa “ekonomi terpimpin” atau “ekonomi berkekeluargaan” 
dapat diwujudkan di masyarakat kolonial. Lagipula, “Sosialisme Islam” 
ketika itu tidak perlu menjawab persoalan “peran negara”, karena 
kontradiksi inheren kolonialisme hanya bisa diselesaikan lewat kemerdekaan.
Program ekonomi Sarekat Islam, tanpa akses ke institusi-institusi negara 
kolonial, membangun layanan sosial paralel terkhusus umat Islam. Bentuknya, 
antara lain, saham koperasi SI, zakat, pendirian masjid dan pagelaran 
budaya yang dibiayai pedagang muslim pribumi dan iuran anggota[10]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftn10> . 
Praktek ekonomi ala SI bertumpu pada agen-agen swasta, di mana alat 
produksi dipegang para pedagang dan urusan distribusi diserahkan ke Sarekat 
Islam. Tradisi ini tidak jauh berbeda dengan gerakan-gerakan Islam 
kontemporer macam Ikhwanul Muslimin, AKP-nya Turki[11]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftn11> , 
hingga wacana koperasi 212[12]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftn12> .
Masalah klasik “ekopol Islam” ini bukannya tidak ditanggapi barisan Islam 
Progresif. Al-Fayyadl[13]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftn13> 
secara akurat menggambarkan kebuntuan ekopol Islam, yang begitu terpaku 
pada distribusi dan mengabaikan pelbagai permasalahan produksi. 
Keterbatasan “ekopol Islam” pula yang membuat sebagian massa Sarekat Islam 
berpaling pada komunisme, yang berani menduduki pabrik, perkebunan dan 
stasiun[14]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftn14> . 
Obatnya, bagi Al-Fayyadl, adalah “keberIslaman yang materialis”, yang 
“didasarkan pada kritik atas ekopol yang ada, sekaligus membangun ekopol 
baru yang memberi pendasaran materialis atas ajaran ekonomi Islam”[15]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftn15> .
Namun ini tidak berarti bahwa Islam Progresif telah menjawab 
pertanyaan-pertanyaan yang membelenggu Sosialisme Islam. Apabila Islam 
Progresif patuh pada nasab aksiologisnya, yaitu marxisme, maka kita dapat 
berasumsi bahwa “perebutan alat produksi” dan komandoisme ekonomi terpimpin 
adalah keseluruhan dari program ekopol barisan Islam Progresif. Dengan kata 
lain, negara (lagi-lagi) dijunjung sebagai agen pelaksana produksi dan 
distribusi, (lagi-lagi) atas nama rakyat. Saya tidak tahu posisi Islam 
Progresif terhadap hak milik pribadi dan pasar, walaupun pada umumnya ia 
teramat kritis terhadap mazhab neoklasik dan agenda neoliberal[16]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftn16> , 
pun pula simpatik terhadap visi keIslamannya H. Misbach dengan “kepemilikan 
alat-alat produksi bersama dan kondisi kerja yang adil”.
Yang menjadi masalah di sini bukan khitah yang sebegitu mulia, melainkan 
lingkup dari misi tersebut yang, secara bersamaan, terlalu luas dan terlalu 
sempit. “Pengelolaan alat-alat produksi secara bersama” bisa merujuk pada 
koperasi (ala Sosialisme Islam), komune otonom (ala aliran-aliran anarko) 
hingga negara-partai Leninis yang memegang kendali kapital dan buruh atas 
nama kemaslahatan umum. Di lain pihak, kerancuan dari cita-cita itu sendiri 
menjadi bumerang yang menjebak Islam Progresif sebagai objek penderita dari 
inisiatif pasar bebas, sebagai arus balik terhadap privatisasi tanpa 
program yang mandiri.
Mudahnya, substansi ekopol menentukan strategi politik Islam Progresif. 
Strategi politik sendiri pada hakikatnya adalah pemerjelasan soal hubungan; 
hubungan Islam Progresif dengan negara, dengan kelas, dengan umat, dengan 
agama. Melampaui pertanyaan-pertanyaan “mengapa” Islam itu progresif sudah 
tentu merupakan kewajiban.
Kapitalisme Islam vs Islam Progresif
Kritik sejenis juga bisa dilayangkan dari kanan; borjuasi muslim yang 
bersandar pada penguasaan alat produksi dan iklim usaha yang kondusif. 
Dalam hal ini, terminologi Kanan mencakup para pemimpin, pengusaha, dan 
cendekia muslim yang menggantungkan keselamatan duniawi umat pada 
kapitalisme dan keberlangsungan sistem pasar. Jaringan Islam Liberal, 
misalnya, menggolongkan kebebasan ekonomi sebagai isu prinsipil, sementara 
kaum tradisionalis mensejajarkan pasar dengan pemberdayaan “pengusaha 
muslim pribumi” dan mobilitas sosial umat. Perkawinan kapitalisme dan 
wacana Islam ini membentuk iklim yang dominan atas kelimuan “ekonomi Islam” 
di Indonesia, yang secara brilian dikritisi Al-Fayyadl[17]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftn17> .
Namun kemunculan wacana kapitalisme Islam sendiri tidak bisa dipisahkan 
dari kondisi sosial-politik yang menjangkiti republik muda. Umat Islam 
tidak bisa melupakan kekalahan-kekalahan di kotak suara: 1955, 1971, 1977, 
1982, 1987, dan 1992[18]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftn18> . 
Kekalahan di kontestasi politik berimbas pada kemandekan karir di 
institusi-institusi pemerintahan, termasuk ABRI dan birokrasi sipil. Oleh 
karena negara yang lalim, umat harus mengais kesejahteraan sendiri, tanpa 
akses ke kredit, pendidikan dan penguasa. Sebaliknya, rezim juga membatasi 
daya ekonomi umat dengan nasionalisasi, monopoli, dan rintangan-rintangan 
birokrasi. Kelas pengusaha-santri yang sudah mapan sebelum kemerdekaan 
harus bersaing (lagi) dengan pengusaha-pengusaha Cina yang diberi 
perlindungan negara. Pun kala jalur politik nyaris dimenangkan umat, 
penguasa berpaling ke moncong senjata: 1959, 1960, 1973, 1984 dan 1985[19]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftn19> .
Maka tidaklah mengagetkan bahwa “Sosialisme Islam”-nya Tjokroaminoto adalah 
reiterasi terakhir Islam politik yang “dekat” atau “menyerupai” wacana 
sosialis. Pasca 1955, jelaslah sudah bahwa para cendekia di PSII, Masyumi, 
dan partai-partai Islam tidak akan mendapat porsi, apalagi kendali, atas 
aparatur negara. Negara “kekeluargaan” kita mempekerjakan priyai 
kebarat-baratan yang berhimpun di partai-partai nasionalis dan sosialis. 
Musuh lama Sarekat Islam, PKI, malah mendapat posisi empat. Sarekat Islam 
dengan “Sosialisme Islam”-nya juga mulai gelagapan setelah ditinggalkan 
pengusaha-pengusaha muslim, yang memicu alur pikir yang ingin SI kembali ke 
khitah organisasi dakwah dan dagang.  Politik, lagi-lagi, mengecewakan 
umat.
Setelah saat itu, gagasan pengelolaan ekonomi oleh negara dipandang umat 
dengan penuh curiga. Akarnya dua: pertama, para santri-pengusaha (dan kaum 
santri pada umumnya) sedari dulu memusuhi priyai[20]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftn20> , 
bahkan dalam tubuh organisasi Islam sendiri. Kedua, umat Islam dihadapkan 
dengan kenyataan bahwa kuasa negara malah memberdayakan yang “bukan Islam”, 
atau yang keber-Islamannya patut dipertanyakan. Kondisi-kondisi ini 
menyuburkan anggapan bahwa  kapitalisme yang Islami (dan tentunya tidak 
Cina) adalah satu-satunya jalan menyejahterakan umat. Mereka yang memanggul 
panji sosialisme menjelma jadi musuh umat, disembelih di tahun 1965.
PR keber-Islaman yang progresif adalah menjawab kegelisahan umat, sekaligus 
mempersiapkan diri terhadap kritik-kritik substantif dari Kanan. Islam 
Progresif biasanya mengandalkan koefisien GINI dan buruknya taraf hidup 
lapisan termiskin masyarakat Indonesia sebagai amunisi retoris melawan 
ekspansi neoliberalisme[21]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftn21> . 
Aksi-aksi yang direstui Islam Progresif, seperti penolakan pembangunan di 
Kendeng dan desa Temon[22]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftn22> 
berangkat dari iman bahwa kemaslahatan umum dirugikan proyeknya para 
pemodal. Namun di luar itu sedikit upaya memerinci tatanan ekonomi yang 
kita kehendaki[23]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftn23> .
Ini berarti bahwa Islam Progresif wajib mengejawantahkan visi ekonomi 
Islami yang tanpa pasar maupun pengusaha muslim, yang memunculkan masalah 
tersendiri. Bagaimanapun juga, sulit menyangkal data bahwa terbukanya 
banyak kesempatan ekonomi pasca reformasi memicu pertumbuhan kelas menengah 
muslim yang, terlepas dari keterikatannya dengan oligarki, mampu membentuk 
sektor UKM yang dinamis dan mampu bersaing. Dalam jangka pendek, sulit 
menggantikan daya ekonomi umat yang bertumpu pada pedagang dan pengusaha 
muslim. Keberhasilan (relatif sebagian) umat di bawah sistem pasar pula 
yang menjadi strategi mewujudkan aspirasi politik Islam, sebagaimana yang 
menjadi anjuran para cendekia[24]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftn24> .
Maka proyek politik Islam Progresif sendiri bergantung pada mekanisme yang 
diajukan untuk mengangkat derajat kesejahteraan umat sebagai ganti 
kapitalisme. Ini membawa kita ke poin sebelumnya, yaitu soal substansi 
program ekonomi dan politik Islam Progresif. Lagi-lagi timbul pertanyaan 
soal peran negara, remeh temeh ekopol manajerial yang masih harus dijawab 
barisan Islam Progresif. Tanpa alternatif yang riil, Islam lagi-lagi 
terkungkung pada khitah perlawanan yang menyiratkan reaksi daripada aksi. 
Melampaui kapitalisme butuh rencana matang yang berdasar fakta.
Islam Progresif Butuh Elaborasi
Keberhasilan kaum cendekia dan priyai “membajak” Sarekat Islam sebagiannya 
bertumpu pada daya pikat ideologi. Tradisi sinkretik khas Jawa tentu 
berperan besar dalam meramu pemikiran hibrida “Sosialisme Islam” yang 
efektif memikat massa dan menjalankan roda organisasi. Lagipula, status 
elit dan literasi melengkapi sarjana-sarjana OSVIA dengan otoritas keilmuan 
yang memfasilitasi reproduksi ideologi dalam tubuh Sarekat Islam yang 
mengukuhkan subordinasi buruh, tani dan pedagang terhadap kepentingan kelas 
para priyai.
Berkebalikan dengan Islam Progresif, Sosialisme Islam era Tjokroaminoto 
secara eksplisit menentang wacana kelas. Tidak ada upaya menyelesaikan 
kontradiksi inheren dalam kelas-kelas yang berhimpun di Sarekat Islam, yang 
akhirnya berbuah pada “tindakan disipliner” dan menyempalnya SI Merah dari 
tubuh partai.  Selain itu, Tjokroaminoto diuntungkan dengan semangat zaman 
pra-kemerdekaan yang mengkhususkan tempat tersendiri buat kaum terpelajar 
dan calon abdi negara. Alhasil, semasa jayanya pun Sosialisme Islam jadi 
kendaraan priyai menuntut sekaligus mengeruk untung dari jabatan-jabatan 
Belanda[25]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftn25> .
Kerancuan dan ketidaktahuan adalah senjata utama intelektual picik pengabdi 
modal dan jabatan. Elaborasi ekopol dan penyelesaian pertanyaan kepentingan 
kelas akan mendatangkan faedah pada proyek Islam Progresif. Selain daripada 
tanggapan dan analisa terhadap isu-isu mendesak, ada baiknya substansi 
perjuangan ekonomi digodok kembali.
Insyaallah
Catatan:
[1]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftnref1> 
Hubertus Van Mook, “Kuta Gede”,  h. 313
[2]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftnref2> 
Kuntowijyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi,  Mizan 1991, h. 144
[3]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftnref3> 
Kuntowijyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi,  Mizan 1991, h. 152
[4]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftnref4> 
Kuntowijyo, Muslim Tanpa Masjid: Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, 
Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental,  Mizan 
2001, h. 245
[5]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftnref5> 
Volksraad adalah  Dewan Rakyat yang dibentuk pemerintah kolonial di tahun 
1918, dengan kapasitas sebagai penasihat  Gubernur-Jenderal
[6]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftnref6> 
Misi reforma agraria kelak diemban Partai Komunis Indonesia, yang sukses 
memobilisasi wong cilik desa – satu hal yang nyaris tidak bisa dilakukan 
partai-partai  lain pada zamannya
[7]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftnref7> 
Valina Singka Subeki. Partai Syarikat Islam Indonesia: Konstestasi Politik 
hingga Konflik Kekuasaan Elite. Yayasan Pustaka Obor Indonesia 2014.
[8]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftnref8> 
Muhammad Al-Fayyadl, “Dua “Islam Bergerak””, islambergerak.com, 22/10/2015
[9]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftnref9> 
Muhammad Al-Fayyadl, “Membangun Keberislaman yang Materialis: Arah 
Perjuangan Ekonomi-Politik Islam Progresif*”, islambergerak.com, 
07/10/2016
[10]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftnref10> 
Kuntowijyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi,  Mizan 1991, h. 146.
[11]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftnref11> 
Balkan, Neşecan, Erol Balkan, dan Ahmet Öncü, eds.,The Neoliberal Landscape 
and the Rise of Islamist Capital in Turkey. Vol. 14. Berghahn Books 2015.
[12]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftnref12> 
Muhammad Al-Fayyadl, “Membangun Keberislaman yang Materialis: Arah 
Perjuangan Ekonomi-Politik Islam Progresif*”, islambergerak.com, 
07/10/2016
[13]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftnref13> 
Muhammad Al-Fayyadl, “Membangun Keberislaman yang Materialis: Arah 
Perjuangan Ekonomi-Politik Islam Progresif*”, islambergerak.com, 
07/10/2016
[14]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftnref14> 
Merebut Alat Produksi
[15]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftnref15> 
Muhammad Al-Fayyadl, “Membangun Keberislaman yang Materialis: Arah 
Perjuangan Ekonomi-Politik Islam Progresif*”, islambergerak.com, 
07/10/2016
[16]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftnref16> 
Muhammad Al-Fayyadl, “Membangun Keberislaman yang Materialis: Arah 
Perjuangan Ekonomi-Politik Islam Progresif*”, islambergerak.com, 
07/10/2016
[17]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftnref17> 
Muhammad Al-Fayyadl, “Membangun Keberislaman yang Materialis: Arah 
Perjuangan Ekonomi-Politik Islam Progresif*”, islambergerak.com, 
07/10/2016
[18]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftnref18> 
Pemilu Legislatif yang tidak pernah dimenangkan Partai Islam
[19]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftnref19> 
Dekrit 5 Juli, pembubaran Masyumi, penggabungan seluruh partai dan golongan 
Islam dalam PPP, pembantaian Tanjung Priok, Asas Tunggal
[20]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftnref20> 
Kuntowijyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi,  Mizan 1991, h. 188. 
189
[21]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftnref21> 
Fazar Ramdhana Sargani, “Wacana Kapitalisme Digital dan Kemungkinan 
Antisipasinya”, 28/03/2016
[22]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftnref22> 
“Santri Nahdliyin Menyikapi Rencana Pembangunan Bandara Internasional Baru 
Yogyakarta (NYIA) Kulonprogo  (Rilis Front Nahdliyin untuk Kedaulatan 
Sumber Daya Alam – FNKSDA)”, daulathijau.org. 08/12/2017
[23]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftnref23> 
Muhammad Nashirulhaq, “Menuju Bela Islam yang Hakiki”, islambergerak.com, 
02/12/2016
Esei ini sekilas menggambarkan visi ekonomi Islami nan Progresif 
“penghapusan upah murah bagi kalangan pekerja; redistribusi lahan bagi 
petani; pembentukan koperasi-koperasi, syirkah-syirkah, dan lembaga 
keuangan & pendanaan, yang bukan hanya sesuai dengan hukum Islam, tapi juga 
sesuai dengan nilai Islam yang berupaya menciptakan keadilan ekonomi”
[24]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftnref24> 
Antara lain, Dawam Rahardjo dan Kuntowijoyo
[25]
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#_ftnref25> 
Iskandar Tedjasukmana, The Political Character of the Indonesian Trade 
Union Movement. Cornell University 1958, h. 51
 



Muhammad Adrian Gifariadi <http://islambergerak.com/?author=133> | March 
15, 2018 at 6:22 am | Tags: Islam Progresif
<http://islambergerak.com/?taxonomy=post_tag&term=islam-progresif> , 
Sosialisme Islam
<http://islambergerak.com/?taxonomy=post_tag&term=sosialisme-islam> | URL: 
https://wp.me/p4Cvrx-Cm <https://wp.me/p4Cvrx-Cm>


 
Comment
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#respond>        
  
 See all comments
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/#comments>
Unsubscribe
<https://subscribe.wordpress.com/?key=5014a2d5f513a587d8a087bf8b150204&email=arif_harsana%40yahoo.com&b=Ya%3Fd%3D%5BwcWMS%3DrcUAg24%3F2FKEyKSt5Ou%26gZfH2M%2BdgMw%3DTwK5Oq>
 
to no longer receive posts from Islam Bergerak.
Change your email settings at Manage Subscriptions
<https://subscribe.wordpress.com/?key=5014a2d5f513a587d8a087bf8b150204&email=arif_harsana%40yahoo.com>
 
..
Trouble clicking? Copy and paste this URL into your browser:
http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/
<http://islambergerak.com/2018/03/mimpi-itu-bernama-sosialisme/>
 


<div style=\"border:0;border-bottom:1px solid black;width:100%;\"> 
Gesendet mit Telekom Mail <https://t-online.de/email-kostenlos> - kostenlos 
und sicher für alle!

Kirim email ke