Baiklah. Saya bantu kasih hint saja karena tidak ada waktu untuk menjelaskan. 
Biar mikir sendiri saja ya. 

 Menurut anda sebagian besar anak usia sekolah di Indonesia ini ada di hirarki 
bawah yang relatif masih kurang sandang/pangan, atau anda merasa sebagian besar 
anak usia sekolah di Indonesia sudah seperti di Amerika dimana kalau buka 
kulkas sudah tersedia orange juice, susu, snack, dll.

 

 



---In gelora45@yahoogroups.com, <jonathangoeij@...> wrote :

 
 Tentang jumlah tepatnya tentu saya tidak tahu, tetapi kalau pembicaraan pada 
pendidikan populasi yg dilihat tentunya mereka yg usia sekolah. Demikian juga 
tergantung yg dibicarakan segmen populasi itulah yg seharusnya diperhitungkan.
 

 

 
 On Wednesday, June 27, 2018, 1:11:56 PM PDT, iqbalsantoso@... [GELORA45] 
<GELORA45@yahoogroups.com> wrote: 
 

 

 "Teori Maslow berlaku untuk individual, sedangkan sebagai negara Indonesia 
terdapat individual2 pada kesemua hirarki". 

 Jadi menurut anda kalau ada 5 hirarki dan penduduk Indonesia ada 260 juta 
orang, maka di masing-masing hirarki ada 52 juta orang?
 

 Menurut anda seperti itu atau bagaimana?

 

 

 
 


---In gelora45@yahoogroups.com, <jonathangoeij@...> wrote :

 Teori Maslow berlaku untuk individual, sedangkan sebagai negara Indonesia 
terdapat individual2 pada kesemua hirarki.
 

 Saya rasa, dalam kaitan mengundang si jenius pulang kampung, perbandingannya 
adalah antara mengirim mahasiswa2 belajar keluar atau mengundang professor dari 
luar untuk mengajar ataupun research.
 

 Mengirim mahasiswa belajar keluar juga tidak murah, saya ambil contoh UC 
Berkeley yg public school (murah) biaya untuk international student 
undergraduates fee and tuition $45,000 untuk 2 semester belum termasuk living 
expenses, ditambah dengan biaya hidup total mungkin berkisar $65,000. Ini belum 
termasuk summer ataupun ticket pesawat. (Kalau summer juga dihitung total bisa 
berkisar $100,000 setahun). Dan itu hanya untuk 1 mahasiswa saja.
 

 Bandingkan dgn gaji sang professor yg diundang Tiongkok dalam artikel itu: 
Sang professor tentu tidak hanya mengajar 1 mahasiswa saja tetapi banyak.
 

 kutipan:
 
 Deng yang mendapatkan gelar doktor dari kampus prestisius di Amerika Serikat, 
Universitas Yale, saat itu merupakan dosen dan peneliti muda di Virginia 
Polytechnic Institute and State University. Karirnya sangat menjanjikan dengan 
gaji lebih dari cukup, sekitar US$ 110 ribu atau sekitar Rp 1,5 miliar per 
tahun. Lebih dari Rp 100 juta per bulan. Amerika Serikat, sudah seperti rumah 
kedua baginya. Dia sudah 15 tahun tinggal di sana dan merasa nyaman.
 Tapi delapan bulan setelah Tiangong terbang ke antariksa, Deng berkemas. 
Setelah memberikan kuliah terakhir, dia segera terbang pulang kembali ke 
kampung halamannya, Tiongkok. Ada tawaran yang sulit dia tolak : bekerja di 
kampung halaman dengan gaji hampir sama besar dan tak perlu pusing lagi mencari 
dana riset. Di kampus barunya, Southern University of Science & Technology 
(SUSTech) di Shenzhen, China, Deng mendapatkan dana riset 9,5 juta Yuan atau 
hampir Rp 21 miliar per tahun selama tiga tahun. 




















 





















 

 ---In GELORA45@yahoogroups.com, <iqbalsantoso@...> wrote :

 

Teori Maslow cocok dan tepat untuk digunakan disini. 

 Itu sebabnya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia rasanya 
kurang tepat menghabiskan banyak uang untuk membayar beberapa "jenius" agar 
pulang kampung, karena level-level dengan hirarki yang lebih rendah belum bisa 
dipenuhi.
 

 



---In gelora45@yahoogroups.com, <djiekh@...> wrote :

 Ada baiknya untuk mengenal teori hirarki kebutuhan dari Maslov. Teori ini 
diajarkan di sekolah guru dan juga di kursus2 dasar management :
 
http://pdftags.com/ptview?t=Teori+Maslow+-+WordPress.com&u=https%3A%2F%2Finoerofik.files.wordpress.com%2F2014%2F11%2Fteori-maslow.pdf
 
http://pdftags.com/ptview?t=Teori+Maslow+-+WordPress.com&u=https%3A%2F%2Finoerofik.files.wordpress.com%2F2014%2F11%2Fteori-maslow.pdf

 Kalau suatu keluarga benar2 luar biasa miskin sampai kelaparan, keluarga itu 
akan berusaha dulu mengatasi
 kelaparannya.
 Waktu lulus SD, ada satu anak perempuan yang termasuk unggun di kelas, tidak 
dapat meneruskan sekolah.
 Harus bantu ibunya jualan es pasrah.
 Waktu lulusan SMP, ada satu teman tidak melanjutkan sekolah, tetapi dia sudah 
ambil Tata buku A. Berhenti 
 sekolah dan kerja.
 Waktu lulusan SMA, ada dua teman berhenti studi, kwerja, karena keuangan orang 
tua tidak mngijinkan.
 Tetapi ada juga yang melihat kemungkinan studi lebih lanjut sambil kerja , 
seperti teman2 waktu di ITB :
 Ada satu , satu jurusan, ternyata dia jadi guru di SMP sore hari.

 Ada satu yang sejak SMA nya, kalau selesai belajar di SMA, pulang, pakai 
celana panjang, ngajar di SMP.
 Dia ngajarnya di sekolah Tionghoa, yang terkenal bayaran gurunya baik. Waktu 
di ITB, dia ngajar di sekolah
 Tsinghua, bisa ngongkosi uang in de kost. Dekat tahun terakhir, dia bisa hidup 
lebih longgar, ambil beasiswa dari AURI.
 Ada satu lagi yang beberapa jam mengajar di SMAK dekat ITB sendiri.
 Mahasiswa arsitektur dapat mencukupi sebagian uang in de kostnya dari 
pekerjaan menggambar.
 Belakangan banyak mahasiswa di ITB ambil beasiswa Angkatan Udara dan Angkatan 
Laut.
 


 
 2018-06-27 2:16 GMT+02:00 ChanCT SADAR@... mailto:SADAR@... [GELORA45] 
<GELORA45@yahoogroups.com mailto:GELORA45@yahoogroups.com>:
   
 Kalau saja pendidikan itu berhasil atau tidak dilihat dari orang perorang, 
maka yang lebih menentukan dan utama adalah faktor intern orang tersebut, 
kemampuan menangkap apa yang diajarkan dan ketekunan belajar, ... Sedang 
pengaruh keluarga dan sekolah hanyalah faktor ekstern yang memberikan 
kemungkinan orang tsb. mengembangkan faktor kejeniusannya lebih baik saja. 

 Jadi kenyataan ada saja anak-anak yg kurang mampu kecerdasannya, dia menjadi 
kewalahan bahkan merasa BERAT mengikuti pelajaran disekolah A, sebeliknya juga 
bisa ditemukan ada anak-anak yang justru selalu merasa terlalu RINGAN 
pelajarannya disekolah B. Itu terjadi karena anak itu kemampuan intelegen nya 
kurang dari rata-rata dan yang lain lebih dari rata-rata, atau bisa juga 
terjadi mutu pelajaran disekolah A lebih tinggi dari sekolah B.
 Pernah terjadi perdebatan, untuk membuat peringkat sekolah I, II, III, untuk 
lebih baik mengajarkan sesuai tingkat kemampuan intelegen anak2 itu. Tentu ada 
masalah komersial disitu, untuk meraup uang sekolah lebih tinggi dan 
meninggalkan sekolah Negeri. Akhirnya tidak diresmikan adanya peringkat 
sekolah, kuatir akan bikin kacau keseimbangan jumlah anak disekolah dan menjadi 
BEBAN BERAT bagi orang-tua anak-anak utk memaksakan diri masukkan anaknya 
kesekolah peringkat-I, sedang kemungkinan juga menjadi BEBAN BERAT bagi anaknya 
sendiri, yang kurang kemampuan mengikuti pelajaran disekolah yg lebih tinggi 
dan cepat, ... Standar penerimaan murid yg dilihat dari nilai-rapor saja yg 
membedakan peringkat sekolah. 

 Lebih 1/2 abad yl, bagaimana Pemerintah Tiongkok menarik masuk mahasiswa di 
Univ. yg saya ketahui, disamping melihat nilai rapor anak itu, juga harus 
melihat asal klas anak itu. Ketika itu Pemerintah berusaha keras membantu 
anak-anak tani-miskin, anak-anak buruh yg sebelum Merdeka tersisihkan dari 
sekolah dan anak-anak suku minoritas (bukan suku-Han) juga mendapatkan 
prioritas, ... Artinya, anak-anak tani miskin didesa-desa dan buruh dikota 
sekalipun sangat MISKIN, tapi mereka yg lolos tersaring masuk Univ. dengan 
nilai rapor sekolah terbaik, yang mempunyai kecerdasan yang heibat, ditambah 
lagi ketekunan belajar yg luarbiasa! Mereka mengerti sudah begitu sulit bisa 
diterima masuk di Univ. rangking I, dan tidak hendak menyia-nyiakan harapan 
orang-tua dan kerabat sekampungnya, ... itulah semangat belajar mengejar 
ketertinggalan yang terjadi ketika itu! Nampak beda dengan kebanyakan 
mahasiswa-asing yang datang dari berbagai negara, nampak lebih suku rekreasi, 
ngobrol, becanda dan jalan-jalan saja. Tentu dengan segala perkecualian yang 
ada, seperti mahasiswa dari Korea-Utara dan Vietnam juga rajin dan tekun 
belajar, ...
 Lalu, setelah Deng jalankan politik "Reformasi dan Keterbukaan" ditahun 1980, 
terjadi kebablasan dalam berlakukan HUKUM PASAR untuk sekolah! Artinya, sekolah 
juga harus menghidupi biaya pengeluaran sekolah, ... mulai menarik uang-sekolah 
dan segala kebutuhan praktikum! Berteriaklah orang-tua murid, ... tidak mampu 
membiayai anak-anak masuk sekolah! Protes keras dan ketidak puasan rakyat pada 
pemerintah memanas, ... lupa tahun berapa akhirnya dirubah, pemerintah kembali 
menjamin anak-anak sekolah, hanya kegiatan tambahan diluar sekolah yg harus 
bayar sendiri. 

 Jadi, ... bagi PEMERINTAH yang baik, sudah seharusnya BISA mengucurkan DANA 
sebanyak mungkin untuk PENDIDIKAN, meningkatkan SDM, menciptakan 
syarat-objektif yang dibutuhkan untuk meningkatkan teknologi dan 
penemuan-penemuan baru dalam usaha meningkatkan produksi kebutuhan hidup 
manusia, ... Dalam usaha investasi SDM harus mengucurkan DANA lebih besar untuk 
usaha peningkatan produksi, bukan sebaliknya lebih mengutamakan dan 
mendahulukan AGAMA yg TIDAK produktif! 

 

 


 Jonathan Goeij jonathangoeij@... mailto:jonathangoeij@... [GELORA45] 於 
27/6/2018 3:48 寫道:

   Yang saya ceritakan sebelumnya berdasarkan data yang ada, yang mungkin 
berlaku secara umum. Pengamatan terbatas yg saya lakukan pada public schools, 
juga kriteria mampu/kayanya simple saja berdasarkan program free lunch atau 
reduce price. Maksud saya walaupun sekolah itu mempunyai keluarga2 yg tidak 
eligile for free lunch ataupun reduce price karena income-nya melewati limit, 
tetapi bukan kaya2 amat seperti billiuner/milliuner.
 

 Saya rasa anak2 dari keluarga yang berpendidikan tinggi mempunyai 
kecenderungan juga mencapai pendidikan tinggi bahkan mungkin lebih lagi, hal 
ini saya rasa karena keluarga itu mempunyai kesadaran pentingnya pendidikan, 
anak2 melihat orang tuanya sebagai contoh dan menjadi faktor pendorong motivasi 
sehingga berusaha sesedikitnya sama dgn orang tuanya bahkan kalau bisa lebih 
tinggi lagi. Keluarga itu umumnya memprioritaskan sekolah sebagai yg utama 
sedang yg lain nomer dua, contoh sederhana misalnya membuat habit anak2 bikin 
PR dulu dan menyelesaikan semua tugas sekolah sebelum mengijinkan mereka 
bermain diluar.
 

 Pendidikan memerlukan biaya yang mungkin tidak sedikit, biarpun pengamatan 
terbatas saya pada public school yg free (dan juga datanya tersedia), tetapi 
bukan berarti kekayaan/dana tidak mempunyai pengaruh. Contoh sederhana kegiatan 
ekstra kurikuler sebagai penunjang yg dengan mudah bisa diikuti, bimbingan 
belajar, SAT preparation, sekolah music, dan masih banyak lagi.
 

 Nah disini seandainya keadaan seperti ini berlanjut terus maka akan seperti 
kasta, mereka yg pada kasta miskin dan bodoh ya tetap miskin dan bodoh, 
sementara yg kaya dan pintar akan semakin kaya dan pintar. 
 

 Diperlukan suatu tindakan dari luar untuk merubah situasi, tentunya bukan 
berarti mereka yg kaya dan pintar dijadikan miskin dan bodoh, tetapi mengangkat 
mereka yang miskin dan bodoh menjadi pintar yg pada akhirnya menjadi kaya juga. 
Dan pada gilirannya tentu negara juga menjadi makmur, income percapita 
bertambah, GDP bertambah, penghasilan pajak juga bertambah.
 

 

 


 On Tuesday, June 26, 2018, 11:52:28 AM PDT, iqbalsantoso@... 
mailto:iqbalsantoso@... [GELORA45]<GELORA45@yahoogroups.com> 
mailto:GELORA45@yahoogroups.com wrote:
 

 

 
Pepatah mengatakan untuk bisa berbahagia diperlukan uang, tetapi uang tidak 
menjamin kebahagiaan. 

 Demikian juga dengan pendidikan. Untuk mendapatkan pendidikan yang baik 
seseorang memerlukan uang, tetapi orang yang memiliki lebih banyak uang 
 tidak berarti akan lebih berprestasi daripada yang kurang banyak uangnya.

 

 Kalau tidak seperti itu, ranking prestasi sekolah anak-anak yang ada di daftar 
orang terkaya dunia akan kurang lebih sama dengan ranking orang-tua mereka.
 


 Mengapa? Karena prestasi pendidikan dan kekayaan tidak berbanding lurus. Ada 
suatu titik dimana bertambahnya kekayaan tidak memiliki efek apa-apa lagi 
terhadap prestasi pendidikan. Dimana letak titik ini sifatnya relatif.
 

 Uang sangat diperlukan untuk mendapatkan pendidikan yang baik. Tetapi uang 
adalah satu dari sekian banyak faktor. Ini yang menyebabkan kekayaan dan 
prestasi pendidikan tidak berbanding lurus.
 

 

 

 

 
---In gelora45@yahoogroups.com mailto:gelora45@yahoogroups.com, 
<jonathangoeij@...> mailto:jonathangoeij@... wrote :

 Tidak perlu disangkal ada cukup banyak anak2 dari keluarga kurang mampu yang 
prestasi pendidikannya lebih bagus dari anak2 orang kaya, tetapi terus terang 
saja hal seperti itu lebih merupakan perkecualian daripada norma. Antara 
pendidikan dan kekayaan mempunyai perbandingan lurus, data statistik 
menunjukkan mereka yang berpendidikan lebih tinggi juga mempunyai 
income/kekayaan yang lebih tinggi juga. Data seperti ini bisa didapat dengan 
mudah di internet dari berbagai macam survey ataupun bahkan census. Ada memang 
yg berpendidikan rendah menjadi kaya bahkan superkaya seperti Liem Sioe Liong 
misalnya tetapi hal seperti ini bersifat exception, 1 diantara sekian juta. 
Demikian juga kekayaan keluarga berbanding lurus dengan pendidikan anak2nya.
 

 Saya melakukan pengamatan terbatas sekolah2 disekitar tempat saya, di US sini 
kita bisa dengan gampang melihat data setiap sekolah bahkan demographic 
sekalipun. Disana ada data berdasarkan ethnicity, pendidikan orang tua seperti 
berapa persen dengan graduate degree, college degree etc, tidak ada data 
kekayaan/income keluarga tetapi kita bisa memutar sedikit dengan melihat data 
persentase mereka yg mengambil free lunch ataupun reduce price. Ada juga data 
nilai standarized test scores seperti math dan english dibandingkan dengan 
sekolah2 didalam district, state, ataupun nasional. Juga berbagai data yang 
lain.
 

 Pengamatan terbatas saya mendapati sekolah dengan persentase tinggi orang tua 
mempunyai college degree keatas dan persentase rendah free lunch dan reduce 
price mempunyai test scores yang lebih tinggi dibandingkan sekolah2 di district 
itu sendiri, state, ataupun nasional. Hal ini menunjukkan pengaruh jenjang 
pendidikan orang tua dan kekayaan keluarga berbanding lurus terhadap pendidikan 
anak2
 

 Melihat adanya cukup banyak anak2 dari keluarga tidak mampu berprestasi dalam 
pendidikan, saya berpendapat salah satu cara effective memberantas kemiskinan 
atau meningkatkan pendapatan keluarga dan nasional adalah dengan meningkatkan 
tingkat pendidikan masyarakat baik secara kwantitas ataupun kwalitas. 
 

 

 ---In GELORA45@yahoogroups.com mailto:GELORA45@yahoogroups.com, 
<iqbalsantoso@...> mailto:iqbalsantoso@... wrote :

 

BPPT, Bappenas, dan institusi-institusi lainnya telah memiliki banyak PhD 
lulusan luar negeri. Belum lagi yang bekerja di universitas dan institut. 
Mereka pasti telah memiliki pemikiran seperti ini. 

 Tetapi pembangunan negara bersifat multi-dimensi dimana uang dan fasilitas 
hanya salah satu dari sekian banyak faktor.
 

 Sebagai ilustrasi, pindah ke dunia mikro yaitu dunia keluarga. Jika uang 
adalah solusi dan bisa membeli segalanya, maka anak-anak dari keluarga kaya 
akan selalu lebih berprestasi (secara pendidikan) daripada anak-anak yang 
berasal dari keluarga kurang kaya.
 

 Kenyataannya kan tidak. Banyak anak miskin yang memiliki prestasi lebih baik 
daripada anak orang kaya. Mengapa bisa begitu? Dimana masalahnya?
 

 Atau pindah ke dunia yang sedikit lebih kompleks yaitu dunia olah-raga. 
Mengapa jumlah atlit Indonesia yang bisa berprestasi di dunia internasional 
relatif sedikit?
 

 Fasilitasnya kurang? Bagaimana dengan Catur yang tidak memerlukan fasilitas 
canggih. Di tahun 80an ada PT. Enerpac yang bersedia mengucurkan semua dana 
yang diperlukan bagi pecatur yang berprestasi. Uang saku diberikan. Ongkos tur 
ke luar negeri diberikan. Pembinaan dilakukan sejak anak-anak dipimpin oleh 
Utut Adianto sendiri. Tetapi toh sampai saat ini tidak ada pecatur yang 
ratingnya bisa melebihi dirinya yang telah pensiun......
 

 

 



---In gelora45@yahoogroups.com mailto:gelora45@yahoogroups.com, <bhjo@...> 
mailto:bhjo@... wrote :

 Seperti yg saya tulis di posting saya 226505. Indonesia harus berani membayar 
gaji yg. tinggi utk. menarik profesor/dosen LN kelas wahid utk. mengajar di 
Indonesia. Gaji yg. ditawarkan oleh Indonesia adalah cuma setinggi
 gaji dari tukang ledeng/plumber di Amerika Utara. Tetapi yg. lebih penting 
dari gaji utk. profesor kelas 
 wahid adalah harus ada infrastrukter/laboratorium riset yg hebat seperti di 
Tiongkok yg. lebih baik dari 
 AS. 
 

 
---In GELORA45@yahoogroups.com mailto:GELORA45@yahoogroups.com, 
<jonathangoeij@...> mailto:jonathangoeij@... wrote :

 Pada dasarnya dibawah ini cara Tiongkok menarik kembali para orang pintar, 
gaji yang tinggi setidaknya setara dan fasilitas/dana riset. Indonesia 
sebenarnya sdh cukup bagus berusaha menarik orang2 pintar, sayangnya umpan yg 
diberikan terlalu kecil, lha paling yg datang hanya ikan2 kecil.
 

kutipan: Deng yang mendapatkan gelar doktor dari kampus prestisius di Amerika 
Serikat, Universitas Yale, saat itu merupakan dosen dan peneliti muda di 
Virginia Polytechnic Institute and State University. Karirnya sangat 
menjanjikan dengan gaji lebih dari cukup, sekitar US$ 110 ribu atau sekitar Rp 
1,5 miliar per tahun. Lebih dari Rp 100 juta per bulan. Amerika Serikat, sudah 
seperti rumah kedua baginya. Dia sudah 15 tahun tinggal di sana dan merasa 
nyaman.
 Tapi delapan bulan setelah Tiangong terbang ke antariksa, Deng berkemas. 
Setelah memberikan kuliah terakhir, dia segera terbang pulang kembali ke 
kampung halamannya, Tiongkok. Ada tawaran yang sulit dia tolak : bekerja di 
kampung halaman dengan gaji hampir sama besar dan tak perlu pusing lagi mencari 
dana riset. Di kampus barunya, Southern University of Science & Technology 
(SUSTech) di Shenzhen, China, Deng mendapatkan dana riset 9,5 juta Yuan atau 
hampir Rp 21 miliar per tahun selama tiga tahun. 


---In GELORA45@yahoogroups.com mailto:GELORA45@yahoogroups.com, 
<j.gedearka@...> mailto:j.gedearka@... wrote :

 

 

 https://x.detik.com/detail/ intermeso/20180622/Agar-Para- 
Jenius-Mau-Pulang-Kampung/ index.php 
https://x.detik.com/detail/intermeso/20180622/Agar-Para-Jenius-Mau-Pulang-Kampung/index.php

 AGAR SI JENIUS PULANG KAMPUNG “Orang-orang bertanya, mengapa aku pulang 
kampung. Jawabannya sederhana, aku masih muda dan aku mau mengejar mimpiku”



 Foto-foto: Getty Images
Sabtu 23 Juni 2018



 Saat laboratorium antariksa Tiangong-2 terbang ke langit didorong roket 
Longmarch 2F dari pangkalan peluncuran di tengah Gurun Gobi, China, pada 
pertengahan September 2016, Deng                                                
           Weiwei hanya bisa menonton videonya di internet dan mengikuti kabar 
lewat sosial media. Dia hanya bisa menyimpan iri mendengar kabar beberapa teman 
sekolahnya dulu terlibat dalam proyek bersejarah bagi tanah air itu.
 Deng yang mendapatkan gelar doktor dari kampus prestisius di Amerika Serikat, 
Universitas Yale, saat itu merupakan dosen dan peneliti muda di Virginia 
Polytechnic Institute and State University. Karirnya sangat menjanjikan dengan 
gaji lebih dari cukup, sekitar US$ 110 ribu atau sekitar Rp 1,5 miliar per 
tahun. Lebih dari Rp 100 juta per bulan. Amerika Serikat, sudah seperti rumah 
kedua baginya. Dia sudah 15 tahun tinggal di sana dan merasa nyaman.
 Tapi delapan bulan setelah Tiangong terbang ke antariksa, Deng berkemas. 
Setelah memberikan kuliah terakhir, dia segera terbang pulang kembali ke 
kampung halamannya, Tiongkok. Ada tawaran yang sulit dia tolak : bekerja di 
kampung halaman dengan gaji hampir sama besar dan tak perlu pusing lagi mencari 
dana riset. Di kampus barunya, Southern University of Science & Technology 
(SUSTech) di Shenzhen, China, Deng mendapatkan dana riset 9,5 juta Yuan atau 
hampir Rp 21 miliar per tahun selama tiga tahun. 




                                                             Penelitian virus 
HIV di Shanghai Xuhui District Central Hospital pada Desember 2006






 “Selama tiga tahun, aku bisa mengerjakan apa pun yang aku mau, tanpa perlu 
bersusah-susah                                                           
membuat proposal penelitian,” kata Deng, dikutip Nature, beberapa waktu lalu. 
Tak cuma gaji besar dan dana riset berlimpah yang membuat Deng tak ragu pulang 
kampung. Lingkungan akademis di kampusnya tak beda jauh dengan kampus lamanya 
di Amerika.
 Selama tiga tahun, aku bisa mengerjakan apa pun yang aku mau, tanpa perlu 
bersusah-susah membuat proposal penelitian,” Dia sama sekali tak kekurangan 
teman diskusi dan peneliti yang punya kemampuan, pengalaman dan pengetahuan 
yang setara dengannya. Beberapa seniornya di SUSTech juga alumni dari kampus 
dan lembaga penelitian di Amerika. Bosnya di Departemen 

(Message over 64 KB, truncated)



































 








 
 


Kirim email ke