PadaWilayah Kesenjangan Sosial Ekonomi: Peristiwa 10 Mei 1963 (1)
MAY 10, 2010 BY SOCIOPOLITICA “Kekecewaan masyarakat secaravertikal kepada pemerintah yang tak mampu menghindarkan rakyat dari siksaanekonomi, dan kecemburuan horizontal kepada mereka yang lebih nyaman kehidupanekonominya, mencipta bom waktu di tengah masyarakat yang hanya menunggu suatupemicu bagi suatu letupan”.. INDONESIA 47 tahun yang laludi tahun 1963 adalah negara dengan keadaan ekonomi sehari-hari yang amat buruk.Kebutuhan makan-minum sehari-hari naik dua kali lipat dari setahun sebelumnya,dan dibandingkan dengan tahun 50-an, kenaikannya adalah lima sampai sepuluhkali lipat. Beras bukan sajamengalami kenaikan harga terus menerus setiap hari, tetapi seringkali jugalangka. Untuk mengisi kekosongan, pemerintahan Soekarno mengimpor beras, antaralain dari RRT (Republik Rakjat Tjina), namun kualitasnya amat jelek. Minyaktanah lebih langka lagi. Kelangkaan minyak tanah beberapa tahun terakhir hinggatahun 2010 ini, masih belum seburuk tahun 1960-an itu, karena sedikitnyasekarang ini masih ada solusinya dengan bahan bakar gas sebagai pengganti. Pada tahun 1963 itu, di seluruh Indonesia, demikian pula di Bandung,untuk memperoleh minyak tanah tiga-empat liter, masyarakat mulai harus antri diRT-RT dengan membawa kartu keluarga –suatu keadaan yang akan berlangsung dengantingkat lebih parah lagi hingga tahun 1964, 1965 dan 1966. Begitu pula caranyauntuk memperoleh gula, tepung terigu dan juga bahan sandang berupa kain citadan kain drill murahan buatan RRT. Di toko-toko, kalau ada, kebutuhan-kebutuhanitu amat mahal dan berat untuk dijangkau oleh masyarakat yang pada waktubersamaan pendapatannya makin tak berarti, tenggelam oleh inflasi. Kenaikanupah yang tiga kali lipat pun tak berharga oleh kenaikan harga kebutuhan pokokyang sepuluh kali lipat. Seorang aktivis mahasiswa1960-an Hasyrul Moechtar mencatat dalam bukunya, Mereka Dari Bandung, bahwadalam keadaan ekonomi seperti itu, justru masyarakat etnis china yang sejakdulu menguasai beberapa mata rantai kegiatan ekonomi tidak begitu merasakankesulitan ekonomi seperti kebanyakan rakyat pribumi. Sehingga timbulkecemburuan. “Apalagi dengan sikap-sikap sebagian dari mereka, khususnyagenerasi muda china yang suka pamer dan rendah kesetiakawanan sosialnya,semakin meningkatkan kecemburuan dan sentimen masyarakat terhadap mereka”. Kekecewaan masyarakat secaravertikal kepada pemerintah yang tak mampu menghindarkan rakyat dari siksaanekonomi, dan kecemburuan horizontal kepada mereka yang lebih nyaman kehidupanekonominya, mencipta bom waktu di tengah masyarakat yang hanya menunggu suatupemicu bagi suatu letupan. Suasana yang mengarah ketegangan antar etnis seperti itu pun terbawamasuk ke kampus. Mahasiswa-mahasiswa etnis china yang masih berusia muda danjuga masih naif dalam menghadapi situasi di masyarakat, tak bisa diharapkanterlalu memahami dan ambil peduli apalagi bertenggang rasa dalam interaksi di kampus. Mereka cenderung mengelompokdan menggalang kebersamaan di antara sesama mereka saja, termasuk dalam urusanperkuliahan. Kala itu, yang sudah merupakan kebiasaan, setiap kali pergantian matakuliah, mahasiswa harus berpindah ruangan. Kadangkala, ruang kuliah satu denganyang lainnya, berjarak cukup jauh di kampus yang lumayan luas itu. Adakebiasaan yang tercipta di antara kelompok-kelompok mahasiswa –terutama dikalangan mahasiswa tahun pertama, kedua dan ketiga– yakni adanya satu atau duamahasiswa ‘piket’ dari satu kelompok yang lebih dulu dengan cepat menuju ruangkuliah berikut dan setibanya di sana meletakkan buku-buku dan benda-bendalainnya di bangku-bangku barisan depan sebagai tanda ‘booking’. Dengan demikianteman kelompoknya yang datang kemudian dengan tenang dapat mendudukikursi-kursi barisan depan, sementara mahasiswa lain di luar kelompok harusmengisi tempat duduk bagian belakang. Kebiasaan ‘booking’ itu secara menonjoldipraktekkan oleh sebagian mahasiswa-mahasiswa etnis china itu, dan umumnyaunggul dalam ‘perebutan’ tempat, karena piket-piket pelopor mereka, yang punyafasilitas lebih berupa sepeda motor, pasti akan lebih dulu tiba di tujuanketimbang mahasiswa lain yang umumnya berjalan kaki. Kisah Djoko Santoso yang kalah‘tarung’ Memang, mahasiswa-mahasiswa etnis china yang lebih mapan tingkatekonomi orangtuanya, umumnya dan terbanyak memiliki sepeda motor. Keadaan yangberlangsung tiap hari ini jelas menjengkelkan para mahasiswa ‘pribumi’ yangkalah mapan. Di jurusan Sipil, salah seorang piket pelopor yang palingdiandalkan kelompoknya sebagai ‘pendekar’ adalah Barnabas alias Sie Tay Tjwan.Ia ini digambarkan berbadan besar dan seorang judoka kelas berat, juara ditingkat Bandung dan menjadi bintang judo Jawa Barat. Dengan badan besar, tinggi190 sentimeter dan kemampuan judo, rasa percaya dirinya juga besar dan taksegan menegur keras mahasiswa lain yang berani mencoba mengganggu kursi-kursi‘booking’. Kalau perlu, unjuk gigi seolah-olah siap menghajar sang ‘pelanggar’. Mahasiswa-mahasiswa lain yang jengkel pada praktek ‘booking’ ini, suatuketika memilih seorang di antara mereka yang juga berukuran tubuh ‘terbesar’ diantara kelompoknya, bernama Djoko Santoso, dan menugaskannya maju ‘menjajal’otoritas Barnabas. Ketika tiba D-Day, pada awal Maret 1963, bertepatan denganmata kuliah Geologi, Djoko datang pada saat akhir menjelang kuliah berlangsung,menduduki salah satu kursi paling depan yang pemesannya belum datang denganterlebih dulu memindahkan tanda booking yang ada. Kelompok mahasiswa etnischina memarahi dan mencoba mengusir Djoko ke luar ruang kuliah. Barnabasmengepalkan tinju di depan Djoko sambil membentak-bentak. Kemudian terjadiperjanjian tarung sehabis jam kuliah. Pada waktunya, usai jam kuliah Djokoharus menghadapi Barnabas, tapi kalah tarung. Pertarungan kedua terjadi didekat gedung jurusan Sipil sendiri, dan menurut pandangan mata saksi, Djokodipiting dan dapat ‘dikunci’ mati oleh Barnabas. Djoko ‘terpaksa’ mengeluarkansatu jurus inkonvensional, ia mencekal ‘alat vital’ Barnabas, sehingga ia initerpaksa melepaskan ‘kunci mati’ atas Djoko. Djoko lolos, meskipun dinyatakankalah. Peristiwa ‘kalah tarung’nya Djoko, menyebabkan terjadinya peningkatansolidaritas. Seorang teman dekat Djoko di jurusan sipil ITB, Siswono Judohusodoyang di luar kampus adalah anggota GMNI, dan pernah pula masuk PMB, kemudianmelakukan penggalangan ‘lintas jurusan’ dan bahkan ‘lintas organisasi’. Iamenghubungi Dedi Krishna mahasiswa Kimia Teknik yang anggota PMB dan setahunsebelumnya adalah Ketua Umum PMB, dalam rangka penggalangan solidaritas. Dediselanjutnya melakukan kontak dengan mahasiswa Kimia Teknik lainnya, Abdul QoyumTjandranegara. Dalam perundingan tiga mahasiswa ini, disepakati untuk menyusunsuatu rencana ‘pembalasan’ yang bertujuan untuk memberi pelajaran kepadamahasiswa-mahasiswa etnis china itu. Melalui Qoyum, kontak penggalangan berlanjutke mahasiswa lain, Muslimin Nasution dari jurusan Mesin ITB, Soewarno, TheoPieterz, Kombar Sinulingga dan Iwan Zoechra, keluar pagar ITB ke ParlinMangunsong dari Universitas Padjadjaran. Setelah itu terjadi sejumlah pertemuandi luar kampus. Dari satu pertemuan ke pertemuan, peserta makin bertambah denganmahasiswa lain dari beberapa kampus dan mungkin juga dari kalangan aktivislainnya. Pada akhirnya bergabung antara lain Soeripto, mahasiswa Fakultas HukumUnpad dan anggota Gemsos, Tari Pradeksa, serta beberapa orang lainnya sehinggajumlahnya menjadi jauh lebih banyak. Hasil dari suatu proses komunikasiberantai, teman membawa teman dan kemudian teman itu membawa lagi teman lainnyadan seterusnya. Lebih dari itu, sebagian dari yang hadir, membawa lagi masalah itu kekelompoknya masing-masing. Sebagai akibatnya, bila kelompok pemrakarsa semulahanya merencanakan suatu ‘agenda’ internal ITB untuk memberi ‘pelajaran’ kepadamahasiswa kelompok etnis china, tanpa sepengetahuan mereka lagi kemudian tersiapkanpula sejumlah rencana lain di luar pagar kampus ITB. Menurut rencana, pemberianpelajaran di ITB, akan dilaksanakan 5 Mei, namun karena ada ‘kebocoran’informasi, diundur menjadi 10 Mei. Dalam ‘skenario’, aksi pembalasan yangberupa pemberian pelajaran ‘mengenai tata cara hidup bermasyarakat diIndonesia’ akan dilakukan 10 Mei 1963, hari Sabtu pukul 09.00 di ruang VI, saatselesainya kuliah tingkat dua Sipil, karena orang-orang yang jadi sasaran utamadiperhitungkan akan ada di sana. “Pada pukul 08.00 pagi telah berkumpulbeberapa orang yang kami kenal di muka gerbang ITB. Akan tetapi menjelang pukul09.00 pagi makin banyak orang yang datang dan kebanyakan ternyata tidak lagikami kenal”, tutur Qoyum Tjandranegara kepada Hasyrul Moechtar. Qoyum dan kawan-kawan menjadi was-was dankuatir rencana mereka telah bocor ke mana-mana. Mereka berunding dan memutuskanuntuk membatalkan rencana. Tapi waktu telah begitu sempit, tinggal beberapamenit lagi menuju H-Hour. Ketika mereka tiba di depan Gedung VI, ternyata kuliah usai sedikitlebih cepat dan telah terjadi benturan. Barnabas sedang mengalami penghadangandari beberapa mahasiswa, namun ternyata ia ini ibaratnya masih sanggup‘mengempos lweekang’ –menghimpun tenaga dalam, menurut bahasa cerita silat yangpopuler pada masa itu– membuat penghadang-penghadangnya terpental satu persatu.Maka, ia bisa melepaskan diri dan merat mengggunakan jurus langkah seribu lalumeloncat ke sepeda motornya yang lalu dipacu kencang ke luar kampus. Barnabasyang kabur dengan jurus langkah seribu ini meninggalkan teman-temansekelompoknya, sehingga mereka inilah yang kemudian menjadi sasaran. Pemukulanmenjalar ke seluruh bagian kampus. Sejumlah mahasiswa etnis berbeda itudipukuli, bahkan kejadian serupa tanpa pilih bulu menimpa pula beberapa dosenyang beretnis sama. Beberapa sepeda motor dibakar. Berlanjut ke Bagian 2 https://socio-politica.com/2010/05/10/pada-wilayah-kesenjangan-sosial-ekonomi-peristiwa-10-mei-1963-1/